RAPORT MERAH AKSI DEMONSTRASI

RAPORT MERAH AKSI DEMONSTRASI

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

 

MUQODDIMAH

Demonstrasi adalah kata yang tidak asing lagi pada zaman ini, hampir setiap saat media mengekspos berita tentang demo, baik dalam negeri atau luar negeri. Seakan-akan tak ada hari tanpa demonstrasi.

Bila BBM naik, demonstrasi…

Bila seorang tokoh kalah dalam pemilihan, demonstrasi…

Bila gaji tak kunjung naik, demonstrasi…

Bila keputusan pemerintah dianggap kurang tepat, demonstrasi…

Demikian seterusnya…

Berita aktual sekarang adalah demonstrasi besar-besaran di negeri sungai Nil, Mesir yang dilakukan oleh rakyat Mesir yang menuntut lengsernya Presiden Muhammad Husni Mubarok dari kursi kepresidenan. Tak cukup sekadar demonstrasi, tragedi ini merupakan tragedi berdarah yang menelan banyak korban, suatu hal yang mengingatkan penulis pada sejarah lengsernya Presiden kedua Indonesia.

Aneh memang, banyak kalangan menilai bahwa demonstrasi adalah obat alternatif yang jitu dan solusi tepat untuk mengatasi seabrek  problematika yang menyelimuti umat manusia. Masalahnya, benarkah demonstrasi adalah solusi? Ataukah demonstrasi adalah polusi yang membawa kerusakan dan petaka?!! Bagaimanakah hukum demonstrasi dalam pandangan Islam? Bagaimana juga dengan sejarahnya? Di sinilah, kami mengajak pembaca sekalian untuk mengkaji masalah ini dengan lapang dada dan niat mencari kebenaran.

 

DEFENISI DEMONSTRASI

Dalam sebuah Kamus Indonesia, demonstrasi diartikan sebagai pengungkapan kemauan secara beramai-ramai baik setuju atau tidak setuju akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk/panji-panji, poster dan lain sebagainya yang berisikan tulisan yang menggambarkan tujuan demonstrasi tersebut. [1]

Jadi, demonstrasi adalah suatu metode untuk mengungkapkan aspirasi para demonstran terhadap negara atau atasan dengan menuntut terwujudnya tuntutan mereka dari aksi tersebut

 

 

SEJARAH DEMONSTRASI

Bila kita telusuri sejarah, demonstrasi bukan berasal dari Islam, tidak dikenal pada zaman Nabi dan para sahabat, tetapi dilakukan oleh orang Khowarij yang ingin menggulingkan Utsman dan Ali bin Thalib.

Kemudian seiring dengan bergolaknya revolusi Prancis, demonstrasi dihidupkan oleh orang-orang kafir Perancis bersama dengan induknya yang bernama demokrasi.  Oleh karena itu, negara Perancis secara resmi memasukkan demokrasi dalam undang-undang mereka dengan lebel Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1791. Disebutkan dalam pasal tiga: “Rakyat adalah sumber kekuasaan, setiap badan dan individu berhak mengatur hukum, hukum dan hak diambil dari mereka”. Ini adalah penegasan bahwa kekuasaan adalah milik rakyat yang tidak dapat dipenggal-penggal lagi serta tanpa kompromi dan tidak akan  dapat diubah-ubah.

Kemudian tatkala Perancis menjajah dunia, diantaranya adalah negara-negara Arab seperti Mesir, Tunisia, al-Jazair, Maroko dan negara-negara muslim lainnya, maka secara bersamaan masuklah sistem demokrasi tersebut ke negeri-negeri jajahan”.[2]

 

 

HUKUM DEMONSTRASI DAN ARGUMENTASINYA

 

Demonstrasi merupakan masalah kontemporer yang belum dikenal sebelumnya di zaman Nabi, namun hal itu bukan berarti dia tidak memiliki hukum dalam kaca mata syari’at, sebab agama Islam merupakan agama yang sempurna dan mampu menjawab segala permasalahan dengan dalil-dalil umum dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dijelaskan para ulama. Alangkah bagusnya ucapan Imam Syafi’i tatkala mengatakan: “Tidak ada suatu masalah baru apapun yang menimpa seorang berpengetahuan agama kecuali dalam Al-Qur’an telah ada jawaban dan petunjuknya”.[3]

Tidak diragukan lagi bagi seorang yang mau menimbang suatu hukum berdasarkan cahaya Al-Qur’an dan Sunnah serta kaidah-kaidah fiqhiyyah bahwa demonstrasi hukumnya tidak boleh, berdasarkan beberapa argumen sebagai berikut:

 

  1. Demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama

Demonstrasi dianggap oleh para pembelanya sebagai salah satu sarana dakwah dan dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam, padahal demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama dan tidak dikenal oleh Islam, serta tidak pernah dicontohkan dan dipraktekkan oleh Nabi yang mulia. Tidak pernah Rosulullah  beserta para sahabatnya berdemonstrasi dengan memasang sepanduk, meneriakkan yel-yel dan sebagainya ke rumah Abu Jahal atau lainnya, padahal faktor pendorong untuk melakukannya sudah ada pada zaman beliau, karena beliau dan para sahabatnya telah dizhalimi dengan sangat mengenaskan, mereka disiksa, dibunuh, dibaikot dan lain sebagainya. Namun, sekalipun demikian beliau tidak menggunakan metode ini, maka hal itu menunjukkan bahwa metode ini tidak membawa kebaikan sedikitpun.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan sebuah kaidah penting tentang maslahat dan mafsadah, beliau berkata :

فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِيْ لِفِعْلِهِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِr  مَوْجُوْدًا لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يَفْعَلْ, يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ

     Setiap perkara yang faktor dilakukannya ada pada zaman Nabi r, yang nampaknya membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan Nabi, maka jelas bahwa hal itu bukanlah maslahat.[4]

Beliau kemudian memberikan contoh, seperti adzan pada hari raya. Adzan itu sendiri pada asalnya adalah maslahat. Dan faktor dilakukannya juga ada, yaitu mengumpulkan jama’ah sholat, tetapi Nabi tidak melakukannya pada hari raya. Berarti adzan pada hari raya bukanlah maslahat. Kita menyakini hal itu sesat sebelum kita mendapatkan larangan khusus akan hal tersebut atau  sebelum kita mendapaakan bahwa hal tersebut membawa mafsadah.

Demikian juga apabila kita terapkan kaidah ini dalam masalah demonstrasi. “Tidak ragu lagi bahwa faktor pendorong demonstrasi dan sejenisnya adalah suatu kedhaliman atau suatu hak atau hukum yang tidak ditegakkan. Semua itu sudah ada pada zaman Nabi dan para salaf, namun mereka tidak menerapkannya, maka hal ini menunjukkan bahwa demonstrasi tidak disyari’atkan dan bahwa meninggalkannya merupakan metode salaf”.[5]

 

  1. Demonstrasi termasuk tasyabbuh terhadap orang-orang kafir.

Tidak diperselisihkan lagi oleh siapapun juga bahwa demonstrasi adalah hasil produk orang-orang kafir dan munafiq yang sejak dahulu kala ingin membuat kerusakan di muka bumi.

Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: “Menumbuhkan kebencian kepada pemimpin dalam hati rakyat merupakan usaha para perusak yang ingin membuat kekacauan di muka bumi.  Orang-orang munafiq sejak dulu telah berusaha melakukan hal ini ketika mereka ingin memisahkan kaum muslimin dari Rasulullah untuk membuat kekacauan pada masyarakat seraya mengatakan:

Ÿw (#qà)ÏÿZè? 4’n?tã ô`tB y‰YÏã ÉAqߙu‘ «!$# 4_®Lym (#q‘ÒxÿZtƒ 3

“Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).” (QS. Al-Munafiqun: 7)

Maka setiap usaha untuk membuat permusuhan antara pemimpin dengan rakyat adalah usaha kaum munafiq dan perusak di muka bumi  yang bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kalian membuat kerusakan, mereka menjawab: Kami adalah orang-orang yang memperbaiki”.[6]

Pikirkanlah, bukankah syari’at Islam telah melarang kita sebagai umat Islam untuk meniru orang-orang kafir?! Nabi r bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.[7]

Lantas, kenapakah kita meninggalkan petunjuk Nabi dan malah mengambil produk manusia kafir?! Apakah petunjuk mereka lebih benar dan utama?! Celaka, tidakkah mereka berpikir dahulu dari mana asal mula demonstrasi ini sebelum melakukannya?! Adakah Islam mengajarkannya ataukah ajaran orang-orang kafir yang telah mereka praktekkan dan perjuangkan ?!! Hanya kepada Allah kita mengadu semua ini.

 

  1. Kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi lebih banyak.

Al-Hafizh Ibnul Qoyyim berkata: “Apabila seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadah (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya. Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari’at Islam memerintahkan atau memperbolehkannya bahkan keharamannya  merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Allah dan Rasul-Nya baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh, seorang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya.”[8]

Dengan bercermin kepada kaidah yang berharga ini marilah kita bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil, apakah yang kita dapati bersama?!! Kita akan mendapati dampak negatif dan kerusakan-kerusakan akibat demonstrasi, di antaranya: Hilangnya keamanan pada negara, hilangnya wibawa pemimpin, kerusakan bangunan dan jalan, penjarahan, kemacetan kendaraan, keluarnya kaum wanita di jalan-jalan, aksi mogok makan[9] yang sangat mengkhawatirkan, bahkan tak jarang nyawa manusia melayang.[10] Kemudian, tanyakan pada dirimu: Bukankah demosntrasi sudah seringkali digelar, lantas apa hasilnya?!! Pikirkanlah!!

 

 

  1. Menyelisihi Sunnah Nabi dalam Menasehati Pemimpin

Pemimpin suatu negara adalah manusia biasa seperti kita, mereka juga terkadang salah, maka kewajiban bagi setiap muslim adalah saling memberikan nasehat dan mengingatkan. Ini adalah suatu kewajiban agama dan amalan ibadah yang sangat utama.

Namun, tentu saja cara menasehati pemimpin tidak sama dengan menasehati orang biasa, sebagaimana tidak sama cara seorang anak menasehati orang tua dengan cara orang tua menasehati anak. Dari sinilah, Islam memberikan rambu-rambu tentang etika menasehati pemimpin agar tidak malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Rasulullah bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أََدَّى الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهِ لَهُ

Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya, kemudian menyepi. Apabila penguasa itu mau menerima, maka itulah yang dimaksud. Apabila tidak menerima, sungguh dia telah menunaikan kewajibannya.[11]

Inilah cara yang syar`i dan selamat, yaitu menasehati pemimpin secara tersembunyi empat mata, atau melalui surat, atau melalui orang dekat pemimpin dan sebagainya, bukan dengan membeberkan kesalahan pemimpin di mimbar-mimbar bebas, di tempat umum, koran, majalah, termasuk juga dengan cara demonstrasi. Maka kami nasehatkan pada dirimu janganlah engkau tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh cara-cara keliru seperti itu walaupun niat pelakunya baik, karena cara yang demikian jelas menyelisihi sunnah.

 

  1. Jembatan Menuju Pemberontakan

Imam Bukhori 7053 dan Muslim 1849 telah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِليَّةً

Barangsiapa yang membenci sesuatu pada pemimpinnya[12] maka hendaknya dia bersabar, karena seorang yang keluar dari pemimpin satu jengkal saja maka dia mati sepertinya matinya orang di masa jahiliyyah[13].

Kalau keluar satu jengkal saja tidak boleh, lantas dalam aksi demonstrasi berapa jengkal?! Bukankah biasanya aksi demonstrasi dijadikan alat untuk membrontak dan menggulingkan kursi kepemimpinan?! Ibnu Abi Jamrah berkata: “Maksudnya keluar dari pemimpin yaitu berusaha untuk melepaskan ikatan bai’at yang dimiliki oleh sang pemimpin dengan cara apapun. Nabi menggambarkan dengan satu jengkal, karena usaha tersebut bisa menjurus kepada tertumpahnya darah tanpa alasan yang benar”.[14]

Perlu kami tegaskan di sini bahwa menghujat dan memberontak pemimpin tidak harus dengan pedang, tetapi mencakup juga segala sarana menuju kepadanya seperti mencela pemimpin, menyebarkan kejelekan pemimpin, dan termasuk juga melakukan aksi demonstrasi, sebab manusia tidak akan memberontak pemimpin dengan pedang tanpa ada yang menyalakan api kebencian di hati mereka walaupun dengan dalih menegakkan pilar amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini ditegaskan secara bagus oleh Abdullah bin ‘Ukaim bahwa menyebarkan kejelekan pemimpin adalah kunci untuk menumpahkan darahnya, beliau mengatakan: “Saya tidak akan membantu untuk menumpahkan darah seorang khalifah selama-lamanya setelah Utsman. Ditanyakan padanya: Wahai Abu Ma’bad! Apakah engkau membantunya? Dia menjawab: “Saya menilai bahwa menyebutkan kejelekannya adalah kunci untuk menumpahkan darahnya”.[15]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Faktor utama terbunuhnya Utsman adalah celaan kepada para gubernurnya, yang secara otomatis kepada beliau juga yang mengangkat mereka sebagai gubernur”.[16]

Perhatikanlah hal ini baik-baik wahai saudaraku, janganlah kita tertipu dengan godaan syetan dan pujian manusia bahwa kita adalah seorang pemberani dan lantang bicara kebenaran, berani mengkritik pemerintah…dan lain sebagianya, karena semua itu adalah tipu daya Iblis semata!!

Dari sinilah kita mengetahui kebenaran fatwa para ulama kita Ahlussunnah wal Jama’ah semisal Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syaikh Shalih al-Fauzan yang menegaskan bahwa aksi demonstrasi adalah tidak boleh dan terlarang dalam tinjauan agama.[17]  Adapun syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh sebagian kalangan yang melegalkan demonstrasi maka semua ituadalah argumen yang snagat rapuh dalam timbangan syari’at.[18]

 

DEMONSTRASI DAMAI

 

           Sebagian kalangan mencoba untuk memperindah demonstrasi dengan label “demonstrasi damai”, “demonstrasi aman” dan sebagainya untuk melegalkan aksi demonstrasi, yaitu dengan melakukan aksi demonstrasi secara tertib, rapi, menjaga emosi dan sebagainya.

Aduhai, siapakah yang bisa menjamin para demonstran dari emosi mereka saat aksi tersebut?!! Bukankah kita harus membendung segala sarana menuju kerusakan?! Alangkah miripnya keadaan mereka dengan ucapan penyair:

أَلْقَاهُ فِي الْيَمِّ مَكْتُوْفاً وَقَالَ لَهُ               إِيَّاكَ إِيَّاكَ أَنْ تَبْتَلََّ بِالْمَاءِ

Dia melemparnya ke laut dalam keadaan terikat

           Lalu berkata: “Awas, hati-hati jangan  sampai basah kena air.

Kemudian, apakah kemunkaran demonstrasi hanya terbatas pada kerusakan saja?! Bukankah di sana ada kemunkaran lainnya, seperti tasyabbuh dengan orang kafir, bid’ah, menyelisihi metode Nabi dalam nasehat, menjurus kepada pemberontakan dan lain sebagainya.

Syaikh Abi Ishaq pernah ditanya: “Kalau faktor terlarangnya demonstrasi adalah kerusakan yang ditimbulkan darinya, lantas bolehkah mengadakan aksi demonstrasi damai untuk menyampaikan aspirasi rakyat tanpa membuat kerusakan?

Beliau menjawab: “Yang saya yakini bahwa demonstrasi tetap tidak boleh sekalipun dilakukan secara damai. Demonstrasi berasal dari barat. Demonstrasi di negeri mereka bisa merubah keputusan politik. Adapun demonstrasi di negeri Islam tidak merubah sedikitpun. Kemudian anggapan bahwa demonstrasi damai, itu tidak terjamin. Buktinya, demonstrasi yang diatur oleh negera kita (Mesir) tetap terjadi pengerusakan dan aksi bentrok antara para demonstran dan polisi padahal negara sendiri yang mengatur demonstrasi”.[19]

            Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya: “Bila ada seorang pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah membolehkan kepada rakyatnya untuk mengadakan aksi demonstrasi damai dengan undang-undang yang dibuat oleh pemimpin, lalu para demonstran menjalankannya, sehingga apabila diingkari mereka menjawab: Kami tidak menentang pemimpin, kami melakukan sesuai undang-undang pemimpin, apakah hal ini dibolehkan secara syar`i padahal jelas menyelisihi dalil?

Beliau menjawab: “Ikutilah jalan para salaf, kalau memang ini dilakukan oleh salaf maka itu baik dan bila tidak dilakukan oleh mereka maka itu jelek. Tidak ragu lagi bahwa demonstrasi adalah jelek, karena menyebabkan kekacauan, bentrokan, dan kedhaliman baik kehormatan, harta dan badan, karena manusia saat aksi tersebut kadang seperti orang mabuk yang tidak mengerti apa yang dia katakan dan perbuat. Maka demonstrasi semuanya adalah jelek, baik pemerintah memberikan izin atau tidak. Izin sebagian pemerintah hanyalah sekedar penampilan luar saja, karena seandainya engkau mengetahui isi hatinya tentu dia akan sangat membencinya, tetapi dia secara politik mengatakan: “Saya harus demokratis dan memberikan kebebasan untuk rakyat”. Semua ini bukanlah manhaj salaf.[20]

 

PENUTUP

Inilah untaian kata yang dapat kami goreskan dalam lembaran, sebagai bentuk nasehat dan penjelasan kepada kaum muslimin seluruhnya. Tidak ada kepentingan pribadi atau politik dalam tulisan ini sama sekali, tetapi tulus kebenaran yang kami yakini harus dijelaskan kepada umat.

Dan di akhir tulisan ini, kami menghimbau kepada seluruh kaum muslimin untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang suci berdasarkan Al-Qur’an dan hadits sesuai pemahaman salaf shalih, marilah kita semua bertaubat kepada dan memperbaiki diri kita agar segala krisis, fitnah, dan problematika segera diangkat oleh Allah, karena hanya Islam-lah solusi untuk mengatasi semua itu, bukan dengan metode-metode barat.

 

Daftar Referensi

  1. Al-Mudhoharat wal I’tishomat wal Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah, Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, Darul Fadhilah, KSA, cet pertama 1427 H
  2. Hukmu Al-Idhrob ‘an Tho’am fil Fiqhi Al-Islami, Abdullah bin Mubarok bin Abdillah Alu Saif, Jami’ah Imam Ibnu Su’ud, KSA, cet pertama 1427 H.
  3. Demonstrasi Solusi Atau Polusi? Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Pustaka Darul Ilmi, Bogor, cet pertama 1430 H

 

 

      [1] Kamus Istilah Populer hal. 62.

[2] Lihat Tanwir Zhulumat bi Kasyfi Mafasid Al-Intikhobat oleh Muhammad al-Imam dan Al-Mudhoharat wal I’tishomat wal Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah hlm. 19-20 karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais.

[3] Ar-Risalah hlm. 20.

     [4] Iqtidho’ Sirothil Mustaqim 2/594.

[5] Haqiqotul Khowarij fi Syar’i wa ‘Abri Tarikh oleh Faishol al-Jasim hlm. 147-148.

[6] Al-Ajwibah Mufidah ‘an As’ilah Manahij Jadidah hlm. 132-133.

[7] HR. Abu Dawud 4002, Ahmad dalam Musnadnya 2/50, dihasankan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar, dan dishahihkan oleh  Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.

[8] Madarijus Salikin (1/496).

[9] Lihat buku khusus tentang aksi mogok makan yang berjudul Hukmu Al-Idhrob ‘an Tho’am fil Fiqhi Al-Islami karya Dr. Abdullah bin Mubarok bin Abdillah Alu Saif.

[10] Lihat perinciannya dalam buku kami “Demonstrasi Solusi atau Polusi”? hlm. 67-74.

[11] HR. Ibnu Abi Ashim 2/507, Ahmad 3/403, Hakim 3/290, hadits ini dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Zhilalil Jannah hal. 507.

[12] Ash-Shona’ni berkata: “Maksudnya adalah pemimpin setiap negara (bukan khalifah sedunia), karena sejak pertengahan masa daulah Abbasiyah manusia sudah tidak berkumpul dalam satu pemimpin lagi, tetapi setiap negara memiliki pemimpin masing-masing. Seandainya hadits ini dibawa kepada khalifah umat Islam seluruh dunia, maka sedikit sekali faedahnya”. (Subulus Salam 4/72).

[13] Karena orang-orang Jahiliyyah tidak memiliki pemimpin, tetapi masing-masing kelompok membantai lainnya. (Lihat Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/487 dan Subulus Salam karya Ash-Shon’ani 4/72).

[14] Fathul Bari Ibnu Hajar 13/7.

[15] Dikeluarkan Ibnu Sa’ad 6/115, Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh 1/213.

[16] Fathul Bari 13/115.

[17] Lihat perincian fatwa mereka dalamAl-Mudhoharat wal I’tishomat wal Idhrobat hlm. 85-106, Al-Fatawa Syar’iyyah fil Qodhoya ‘Ashriyyah hlm. 181-188 kumpulan Muhammad bin Fahd al-Hushoin, Majalah Al-Asholah edisi 30/Th. 5 Syawal 1421 hlm. 59-60,  buku kami “Demonstrasi Solusi Atau Polusi?” hlm. 53-64.

[18] Lihat Al-Mudhoharat wal I’tishomat wal Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah hlm. 54-76 oleh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais dan buku kami Demonstrasi Solusi atau Polusi? Hlm. 91-111.

[19] Fatawa Syaikh Abi Ishaq al-Huwaini 1/38/Maktabah Syamilah.

[20] Liqo’ Bab Maftuh 179/18/Maktabah Syamilah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.