سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Penyucian Jiwa (bagian pertama)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Penyucian Jiwa (bagian pertama)
Oleh: Ust. Abdulloh Taslim al-Buthoni, M.A.
Sebagaimana dengan selalu menjaga kebersihan badan dan pakaian merupakan salah satu modal utama dalam rangka hidup sehat, demikian pula masalah tazkiyatun nafsi atau penyucian jiwa, merupakan hal pokok yang harus dijaga dan diusahakan oleh setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia.
Sudah tidak samar lagi, bahwa penyucian jiwa merupakan masalah yang sangat penting dalam Islam. Tak hanya penting, bahkan ia merupakan salah satu tujuan utama diutusnya Nabi kita, Muhammmad Shallallahu ‘alaihi was salam ke alam dunia. ([1]) Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hal ini dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya ialah yang tertera dalam firman Allah:
Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, dan mensucikan(diri)mu, dan mengajarkan kepadamu al-kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah), serta mengajarkan kepadamu apa saja yang belum kamu ketahui. (QS. al-Baqarah: 151)
Juga dalam firman-Nya:
Sungguh, Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Āli ‘Imrān: 164)
Makna firman-Nya, “mensucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkannya dari keburukan akhlak, kotoran jiwa, serta perbuatan-perbuatan jahiliah, juga mengeluarkan mereka dari banyaknya kegelapan menuju cahaya (petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala).([2])
PENTINGNYA TAZKIYATUN NUFUS DALAM ISLAM
Pentingnya tazkiyatun nufus ini akan semakin jelas kalau kita memahami bahwa makna takwa yang hakiki adalah penyucian jiwa itu sendiri.([3]) Artinya, bahwa ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya tidak akan mungkin dapat dicapai kecuali dengan berusaha mensucikan dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang menghalangi seorang hamba untuk dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya:
Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan ketakwaan), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan). (QS. asy-Syams: 7-10)
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam dalam doa beliau yang terkenal (artinya), “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkaulah sebaik-baik Yang mensucikannya, (dan) Engkaulah Yang menjaga serta melindunginya.”([4])
Imam Maimun bin Mihran([5]) berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa sehingga dia melakukan muhasabatun nafsi (introspeksi terhadap keinginan jiwa untuk mencapai kesucian jiwa) yang lebih ketat daripada seorang pedagang yang selalu mengawasi sekutu dagangnya (dalam masalah keuntungan dan persaingan dagang). Oleh karena itu ada yang mengatakan, bahwa jiwa manusia itu ibarat sekutu dagang yang suka berkhianat, maka kalau Anda tidak selalu mengawasinya, dia akan pergi membawa hartamu (sebagaimana jiwa akan pergi membawa agamamu).”([6])
Ketika menerangkan pentingnya perkara tazkiyatun nufus ini, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala, meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan), bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allah Subhanahu wa Ta’ala, (sehingga) seorang hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allah kecuali setelah dia (berusaha) menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus).”([7])
MANHAJ (METODE) AHLUL BID’AH DALAM PENYUCIAN JIWA
Karena pentingnya kedudukan tazkiyatun nufus dalam agama Islam inilah, tidak mengherankan kalau kita mendapati orang-orang dari kalangan ahlul bid’ah berlomba-lomba mengatakan, bahwa merekalah yang paling perhatian terhadap masalah tazkiyah ini. Bahkan sebagian mereka telah berani mengklaim bahwasanya hanya dengan mengamalkan metode merekalah seorang hamba bisa mencapai kesucian jiwa yang utuh dan sempurna.
Akan tetapi, kalau kita mengamati dengan saksama metode-metode yang mereka pakai itu, kita akan dapati bahwa semua metode tersebut tidak bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi hanya bersumber dari pertimbangan akal dan perasaan, atau ciptaan pimpinan-pimpinan kelompok mereka, bahkan hanya berdasarkan khayalan atau mimpi yang kemudian mereka namakan dengan mukasyafah (tersingkapnya tabir).([8]) Inilah sebab utama yang menjadikan setan mampu menyesatkan mereka dengan sejauh-jauhnya dari jalan yang benar, karena berpalingnya mereka dari petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga dengan manerapkan metode-metode mereka tersebut, seseorang tidak akan dapat mencapai kesucian jiwa dan kebersihan hati yang sebenarnya. Bahkan justru sebaliknya, hati orang tersebut akan semakin jauh dari Allah, karena mereka telah mengikuti jalan-jalan setan. “Barangsiapa yang berpaling dari dalil (al-Qur’an dan Sunnah) maka jalannya akan tersesat.”([9])
Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk tipu daya setan, adalah apa yang dilontarkannya kepada orang-orang ahli tasawuf yang bodoh, berupa asy syathahat (ucapan-ucapan dari bawah alam sadar/ igauan) dan penyimpangan besar, yang ditampakkannya kepada mereka sebagai bentuk mukasyafah (tersingkapnya tabir hakikat) dari khayalan-khayalan. Maka setan (dapat leluasa) menjerumuskan mereka dalam berbagai macam kerusakan dan kebohongan, serta membukakan bagi mereka pintu pengakuan-pengakuan (dusta) yang sangat besar. Setan membisikkan kepada mereka, bahwa sesungguhnya di luar ilmu (syariat yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah) ada sebuah jalan (lain), yang jika mereka menempuhnya maka jalan itu akan membawa mereka kepada tersingkapnya (hakikat dari segala sesuatu) secara jelas dan membuat mereka tidak butuh lagi untuk terikat dengan (hukum dalam) al-Qur’an serta as-Sunnah (?!!)… Maka ketika (mereka menempuh jalan yang) jauh dari bimbingan ilmu yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam, setan pun menampakkan kepada mereka berbagai macam kesesatan sesuai dengan keadaan mereka, dan membisikkan khayalan-khayalan ke (dalam) jiwa mereka, kemudian menjadikan khayalan-khayalan tersebut seperti benar-benar nyata sebagai penyingkapan (hakikat dari segala sesuatu) secara jelas…(?!!)”([10])
Senada dengan ucapan di atas, Imam Ibnul Jauzi ketika menjelaskan perangkap setan dalam menjerumuskan orang-orang tasawuf, beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya awal mula talbis (pengkaburan/perangkap) Iblis untuk (menjerumuskan) manusia (ke dalam kesesatan) adalah (dengan) menghalangi (memalingkan) mereka dari ilmu (agama) yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah), karena ilmu (agama) itu adalah cahaya (yang menerangi hati), maka jika Iblis telah (berhasil) memadamkan lampu-lampu cahaya mereka, dia akan (mampu) mengombang-ambingkan dan menyesatkan mereka dalam kegelapan (kesesatan) sesuai dengan keinginannya.”([11])
MANHAJ AHLUS SUNNAH DALAM PENYUCIAN JIWA
Adapun manhaj Ahlus Sunnah dalam hal ini, adalah metode yang paling selamat dan terjamin kebenarannya, karena metode tersebut benar-benar bersumber dari wahyu Allah Yang Mahamenguasai hati manusia dan Mahamampu membersihkan jiwa mereka. Mengenai gambaran secara rinci tentang bagaimana manhaj Ahlus Sunnah dalam masalah penyucian jiwa, akan kita sambung penjelasannya dalam rubrik yang sama pada volume mendatang
([1]) Kitab Manhajul Anbiya’ fi Tazkiyatin Nufus (hal. 21).
([2]) Tafsir Ibnu Katsir 1/267.
([3]) Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fi Tazkiyatin Nufus (hal. 19-20).
([4]) HSR. Muslim dalam Shahih Muslim (no. 2722).
([5]) Beliau adalah Abu Ayyub al-Jazari al-Kufi, seorang ulama tabi’in yang terpercaya (dalam meriwayatkan hadits) dan berilmu tinggi. Beliau wafat tahun 117 H, sebagaimana biografinya tertera dalam kitab Taqribut Tahdzib, tulisan Imam Ibnu Hajar (hal. 513).
([6]) Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighatsatul Lahfan (hal. 147- Mawaridul Aman).
([7]) Kitab Ighatsatul Lahfan (hal. 132 – Mawaridul Aman).
([8]) Maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.
([9]) Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Miftahu Daris Sa’adah (1/83).