Allah ﷻ Telah Mengampuni Dosa al-Kifli

Allah Telah Mengampuni Dosa al-Kifli 

Oleh: Ust. Mukhlis Abu Dzar al-Batawi

Al-Kifli adalah seorang pemuda bani Isra’il yang tak pernah lepas dari dunia maksiat.  Suatu ketika ia tertarik dengan kecantikan seorang wanita. Ia pun memberikan uang kepada wanita itu sebanyak 60 dinar.

Ketika dalam posisi sebagaimana seorang suami menggauli istrinya, tiba-tiba wanita itu gemetar. Al-Kifli bertanya, “Apakah aku memaksamu melakukan ini?” Wanita itu menjawab, “Tidak, hanya saja perbuatan ini belum pernah aku lakukan seumur hidupku. Aku lakukan ini semata-mata demi memenuhi kebutuhan hidupku.”

Al-Kifli berkata, “Berarti kamu takut kepada Allah untuk memenuhi ajakanku ini, sementara aku tidak takut kepada-Nya.” Kemudian al-Kifli meninggalkan wanita tersebut dan menghadiahkan uang itu kepadanya seraya berkata, “Al-Kifli tidak akan pernah bermaksiat lagi kepada Allah!” Pada malam hari itu ia mati, sementara keesokan harinya di pintu rumahnya terdapat tulisan bahwa Allah telah mengampuni dosa al-Kifli.[1]

Abu Hurairah dan sebuah kurma untuk ibundanya

Dari Abu Hurairah , ia mengatakan, “Suatu ketika, aku keluar dari rumahku menuju masjid. Aku tidak keluar kacuali karena lapar. Beberapa saat kemudian aku bertemu dengan shahabat Rasul. Mereka mengatakan, ‘Wahai Abu Hurairah, apa yang mendorongmu keluar saat seperti ini?’ Aku jawab, ‘Tiada yang mendorongku keluar kecuali karena kelaparan.’ Lalu kami berdiri dan menghadap kepada Rasulullah. Melihat kedatangan kami, beliau bertanya, ‘Apakah yang mendorongmu keluar sekarang ini?’ Kami jawab, ‘Wahai Rasul, kami datang karena lapar.’

Lalu Rasulullah meminta sepiring kurma, kemudian memberikan dua buah kurma kepada masing masing shahabat  yang hadir seraya mengatakan, ‘Makanlah kedua buah kurma ini, kemudian minumlah air sesudahnya. Karena keduanya akan mencukupi kebutuhan kalian pada hari ini.’ Abu Hurairah mengatakan, ‘Lalu aku memakan sebuah. Sedangkan yang satunya kutaruh di pangkuanku. Melihat sikapku, maka Rasul menegur, ‘Abu hurairah, mengapa kau sisakan kurma itu?’ Aku menjawab, ‘Aku menyisakannya untuk ibuku.’ Lalu Rasulullah memerintahkan, ‘Makanlah sisanya. Aku akan memberimu dua buah kurma lagi untuk ibumu.’”[2]

Malaikat menaungi Abdullah bin Haram a\ dengan sayap mereka

Jabir berkata, “Ketika ayahku terbunuh dalam perang Uhud, aku membuka wajah ayahku lalu aku menangis. Para sahabat melarangku menangis, sementara Rasulullah ﷺ sendiri tidak berkomentar atas tangisanku itu. Bibiku juga menangisi kematian ayahku.

Pada saat itu, Nabi n\ bersabda (yang artinya), ‘Engkau tangisi dia atau tidak, Malaikat tetap akan menaungi dengan sayap-sayapnya hingga kalian mengangkatnya.’”

Dalam riwayat lain, Jabir berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku (yang artinya), ‘Maukah kamu aku beritahukan bahwa Allah ﷻ berbicara langsung kepada ayahmu?’ Allah berfirman (yang atinya), ‘Inilah hamba-Ku! Mintalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan permintaanmu!’ Jasad itu menjawab, ‘Aku ingin sekiranya Engkau mengembalikan aku ke dunia (menghidupkan aku) lagi, sehingga aku mempunyai kesempatan untuk ikut berperang lagi dan terbunuh yang kedua kali.’ Allah ﷻ menjelaskan (yang artinya), ‘Telah aku gariskan, bahwa mereka yang telah meninggal tidak akan kembali.’ Jasad itu berkata, ‘Kalau demikian, sampaikan hal ini kepada orang-orang setelahku.’ Lalu Allah menurunkan ayat,

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتًا ۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَۙ

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan, mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rezeki.’” (QS. Ali ‘Imran: 169)[3]

 Ashim bin Amir at-Tamimi dan Pasukan Berani Mati

Tatkala Sa’d telah memutuskan niatnya untuk menyeberangi sungai dengan menaiki kuda dan mengerahkan seluruh kekuatannya dalam menaklukkan wilayah Madain, ia pun sadar bahwa dia harus mempunyai persiapan kekuatan energi yang super demi menguasai jembatan yang terletak di seberang sungai tersebut. Dengan demikian sebagian besar pasukan muslimin yang menyeberang akan terlindungi dan selamat.

Sa’d berkata, “Siapakah yang akan memulai dan menjamin keselamatan kami semua dari serangan yang dilancarkan dari al-Firadh –nama tempat di arah seberang sungai– sehingga kita bertemu dengan musuh, agar mereka tidak mencegahnya keluar?”

Dengan suka rela Ashim mengajukan diri dan diikuti oleh 600 orang pasukan. Sa’d lalu menjadikan Ashim pemimpin mereka. Pasukan tersebut mulai bergerak, sehingga tiba di tepi sungai Dijlah (Tigris).

Ashim berkata kepada pasukannya, “Siapa yang merasa tertantang bersamaku untuk menjadi orang pertama yang menaklukkan air ini, sehingga kita mampu menyelamatkan al-Firadh dari seberang sana?”

Kemudian 60 pasukan berkuda itu bangkit, mereka inilah yang diberi nama Pasukan Berani Mati. Ashim membagi pasukan berkuda menjadi dua bagian; pasukan berkuda betina dan pasukan berkuda jantan. Ashim menuju pinggir sungai, kemudian menyeru kepada mereka yang masih ragu menyeberang, “Apakah kalian merasa takut menyeberangi air yang setetes ini?” Kemudian beliau membaca firman Allah ﷻ,

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تَمُوْتَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ كِتٰبًا مُّؤَجَّلًا ۗ

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. (QS. Ali ‘Imran: 145)

Ashim memacu kudanya dan membelah sungai, disertai pasukannya. Tatkala ia melihat pasukan berkuda musuh juga menerjuni sungai, maka mereka bertanding di tengah sungai. Ashim menyeru, “Pasukan tombak, majulah, bidiklah mata!” Mereka bertempur dan saling menikam. Pasukan berkuda menguasai wilayah Persia, lalu kaum muslimin mengikuti mereka dan berhasil membunuh sebagian besar tentara musuh. Sementara jika di antara musuh ada yang selamat maka mata mereka buta karena terkena tikaman.[4]


[1] Nurul Iqtibas: 36.

[2] Ath-Thabaqat al-Kubra 4/329.

[3] (HR. Ahmad: 3/298; al-Bukhari: 1244)

[4] Tarikh ath-Thabari, 3/120.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.