سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Fiqh Praktis Puasa
FIQIH PRAKTIS PUASA RAMADHAN
Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dan Abu Abdillah Syahrul Fatwa[1]
Semua kita memahami betapa agungnya kedudukan ibadah puasa, maka sudah semestinya bagi kita untuk berusaha mencontoh Nabi kita Muhammad dalam berpuasa. Hal itu karena memang mencontoh petunjuk Nabi dalam setiap ketaatan adalah kunci diterimanya amal shalih seorang hamba bersama dengan kunci lainnya yaitu ikhlas karena Allah. Dua syarat tersebut (ikhlas dan mencontoh Nabi) seperti dua sayap burung yang tidak sempurna tanpa kedua-duanya.
Hanya saja mengetahui petunjuk Nabi di bulan puasa Romadhan bukanlah hanya dengan angan-angan belaka tetapi dengan ilmu yang bermanfaat yang membuahkan amal shalih.[2]
Berikut pembahasan ringkas, padat, jelas, seputar puasa Romadhan dengan berpijak pada dalil-dalil yang valid dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta penjelasan para ulama terkemuka. Semoga bermanfaat.
Definisinya
Puasa secara bahasa diambil dari bahasa arab –يَصُوْمُ-صَوْمًا وَصِيَامًامصَا yang artinya adalah menahan dari sesuatu.[3]
Adapun menurut terminologi syariat adalah ibadah kepada Allah dengan menahan diri dari makan, minum dan seluruh perkara yang membatalkan puasa dengan niat beribadah kepada Alloh sejak terbit fajar yang kedua hingga terbenamnya matahari bagi orang-orang tertentu dengan syarat-syarat tertentu.[4]
Hukumnya
Puasa hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim yang baligh, berakal dan tidak memiliki udzur. Tidak ada perselisihan tentang wajibnya[5]. Dalam sejarahnya, kewajiban puasa Ramadhan jatuh pada tahun kedua hijriah, tatkala Rasulullah wafat, beliau sudah mengalami sembilan kali puasa Ramadhan.[6]
Kewajiban ini berdasarkan dalil-dalil berikut:
- Dalil Al-Qur’an
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah: 183)
- Dalil Hadits
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ.
Dari Ibnu Umar dari Nabi bersabda: Islam itu dibangun di atas lima perkara: Syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan menunaikan haji.[7]
- Dalil Ijma’
Para ulama telah bersepakat wajibnya puasa Ramadhan. Barangsiapa yang mengingkari kewajibannya atau meragukannya maka dia kafir, berarti dia telah mendustakan Alloh dan Rasulnya. Dalam masalah ini tidak ada udzur, kecuali orang yang jahil baru masuk Islam sehingga belum tahu kewajibannya, maka dia perlu diajari.
Adapun orang yang tidak berpuasa tetapi mengakui kewajibannya maka dia berdosa besar namun tidak kafir.[8]
Hikmah Dan Manfaat Puasa
Semua syariat Islam menyimpan hikmah-hikmah yang sangat indah. Adapun hikmah dan manfaat puasa adalah sebagai berikut;
- Melatih jiwa untuk taat kepada Alloh
Jiwa seorang muslim harus dilatih dan dibiasakan untuk mengerjakan ketaatan. Karena jiwa sifatnya seperti anak kecil yang perlu dilatih. Salah satu bentuk pelatihan agar jiwa terbiasa dalam mengerjakan ketaatan adalah dengan puasa.[9] Karena dalam puasa seseorang akan meninggalkan sebagian kenikmatan yang asalnya halal, dari menahan makan, minum, berkumpul dengan isteri, yang semuanya ini ditinggalkan demi mencari ridho dan pahala Alloh.
- Menumbuhkan sifat sabar
Imam Ibnu Rojab berkata; “Sabar itu ada tiga macam; sabar dalam mengerjakan ketaatan kepada Alloh, sabar dalam meninggalkan larangan Alloh dan sabar dalam menerima takdir Alloh yang menyakitkan. Semua jenis sabar ini terkumpul dalam ibadah puasa. Karena dalam puasa terdapat sabar dalam mengerjakan ketaatan kepada Alloh, sabar dalam meninggalkan apa yang Alloh haramkan dari kelezatan syahwat, dan sabar untuk menerima apa yang dia dapat berupa rasa sakit dengan kelaparan dan haus, lemasnya badan dan jiwa”.[10]
- Mensyukuri nikmat Alloh
Termasuk hikmah puasa adalah mengingatkan kepada seluruh hamba akan besarnya nikmat Alloh. Karena seorang hamba akan menyadari betapa besarnya nikmat kenyang, dan puas dalam makan dan minum ketika dia merasa lapar dan haus. Ketika dia kenyang setelah sebelumnya merasa lapar, atau hilang dahaganya ketika sebelumnya kehausan maka hal ini akan mendorong untuk bersyukur kepada Alloh. Sadarilah hal ini wahai saudaraku, jadikanlah puasamu sebagai media untuk lebih meningkatkan rasa syukur kepada Alloh.[11]
- Solidaritas antar sesama
Inilah hikmah dari sisi kemasyarakatan. Sesungguhnya merasakan lapar dan haus demi menjalankan perintah agama, akan menumbuhkan solidaritas dan perasaan persamaan dengan orang-orang miskin yang kesehariannya sering merasakan kelaparan dan kehausan. Hal ini akan menumbuhkan sifat peka dan peduli terhadap saudaranya yang kurang mampu. Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: “Puasa akan mengingatkan keberadaan orang-orang yang kelaparan dari kalangan orang-orang miskin”.[12]
Ibnu Humam berkata; “Sesungguhnya tatkala orang yang puasa itu merasakan sakitnya rasa lapar pada sebagian waktu, maka hal itu akan mengingatkannya pada seluruh keadaan dan waktu. Yang akan membawanya bersegera untuk peduli kepada orang yang kurang mampu”.[13]
- Sebab meraih derajat takwa
Puasa adalah sebab untuk meraih derajat takwa. Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS.al-Baqoroh: 183).
Karena sesunguhnya orang yang puasa itu diperintahkan untuk mengerjakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Dengan demikian, bila orang yang sedang puasa terbetik di dalam hatinya untuk mengerjakan maksiat, dia akan menahan dan meninggalkannya.
- Sehat dengan puasa
Hal ini telah diakui dalam dunia kedokteran. Bahwa puasa dapat menyehatkan tubuh manusia. Menyembuhkan dari berbagai penyakit ganas.[14] Dengan sedikit makan, anggota pencernaan dapat istirahat, cairan-cairan dan kotoran yang membahayakan dapat keluar dan hilang. Semua ini adalah hikmah dan keutamaan dari Alloh. Tidak ada satupun perintah Alloh kecuali di dalamnya terdapat kebaikan bagi para hambanya.[15]
Inilah sebagian hikmah yang dapat kita ketahui. Mungkin masih banyak lagi hikmah-hikmah lainnya yang belum kita ketahui.[16]
Akan tetapi perlu diketahui bahwa manfaat puasa ini tidak akan tercapai kecuali bagi orang yang berpuasa secara sempurna dari segala yang diharamkan Alloh. Puasa dari makan, minum, berhubungan intim dengan isteri, puasa dari mendengar yang haram, melihat yang harom, ucapan yang harom dan usaha yang harom. Dia senantiasa menjaga waktunya dan selalu memanfaatkan kesempatan bulan puasa dengan ketaatan kepada Robbnya. Maka orang semacam inilah yang dapat meraih manfaat dari ibadah puasanya.[17]
Keutamaan Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan mempunyai kedudukan yang sangat agung. Ada keutamaan dan ganjaran yang sangat besar. Diantara keutamaan puasa Romadhan adalah:
- Termasuk Rukun Islam
Islam itu dibangun di atas lima perkara, tidak sempurna keislaman seseorang kecuali dengan mengerjakan lima perkara tersebut. Puasa Ramadhan termasuk rukun Islam. Berdasarkan hadits;
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
Dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhumaa, ia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ‘Islam itu dibangun di atas lima perkara: Persaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.[18]
- Menghapus Dosa Yang Telah Lalu
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda;
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena keimanan dan mencari pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.[19]
- Merupakan Sebab Masuk Surga
Berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ.فَقَالَ: أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الْمَكْتُوبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: نَعَمْ
Dari Abu ‘Abdillah Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari Radhiyallaahu ‘anhumaa, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Ba-gaimana pendapatmu jika aku melaksanakan shalat-shalat fardhu, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan aku ti-dak menambah sedikit pun atas hal itu; apakah aku akan masuk Surga?” Beliau menjawab, Ya.[20]
- Doanya Terkabulkan
Rasulullah bersabda;
إِنَّ لِلَّهِ عُتَقَاءَ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لِكُلِّ عَبْدٍ مِنْهُمْ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ
Sesungguhnya Alloh mempunyai orang-orang yang akan dibebaskan (dari neraka) setiap hari dan malam. Setiap hamba dari mereka punya doa yang mustajab.[21]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yaitu pada bulan Ramadhan”.[22] Ini merupakan keutamaan yang besar bagi bulan Romadhan dan orang yang berpuasa, menunjukkan keutamaan doa dan orang yang berdoa.[23]
- Pahala Yang Berlipat Ganda Tanpa Batas
Berdasarkan hadits
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ, قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
Seluruh amalan bani Adam akan dilipat gandakan, satu kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan semisalnya hingga tujuh ratus kali lipat. Alloh berfirman: Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untukku, dan aku yang akan membalasnya.[24]
Golongan Yang Diberi Keringanan
Alloh mewajibkan puasa Ramadhan dan Dia memberi kemudahan pula. Alloh tidak membebani kecuali sesuai kemampuan para hambanya. Kemudahan ini adalah keutamaan dari Alloh. FirmanNya;
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS.al-Baqarah: 185).
Siapa saja yag diberi dispensasi boleh untuk tidak puasa?
1 dan 2. Musafir dan orang yang sakit, berdasarkan ayat di atas.
3.Wanita Haidh dan nifas
Hal ini berdasarkan hadits:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
Bukankah wanita jika sedang haidh dia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah bentuk kurang agamanya.[25]
Para ulama juga telah bersepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak boleh berpuasa dan tidak sah puasanya[26].
4,5 Wanita hamil dan menyusui serta Orang yang telah lanjut usia
Allah berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (QS.al-Baqoroh 184).
Ibnu Abbas mengatakan: “Lelaki renta dan wanita renta yang berat berpuasa, bagi mereka untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari”[27]
Pembatal-pembatal Puasa
Ada beberapa pembatal-pembatal puasa yang harus dihindari, diantaranya apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tatkala mengatakan: “Telah diketahui bersama bahwa dalil dan ijma’ menetapkan bahwa makan, minum, jima’ dan haidh membatalkan puasa”.[28]
1.Jima (bersetubuh)
Ketahuilah, berdasarkan dalil-dalil diatas bahwa orang bersetubuh dengan isterinya pada siang hari bulan Romadhan, terkena lima hukum[29];
- Puasanya batal
- Mendapat dosa
- Tetap menahan diri untuk tidak makan dan minum sampai berbuka puasa serta tidak mengulanginya.
- Wajib membayar kafarot dengan urutan sebagai berikut
Pertama; Membebaskan budak.
Kedua; Bila tidak mendapati budak maka wajib berpuasa dua bulan berturut-turut.
Ketiga: Bila tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut maka memberi makan enam puluh orang miskin.
- Wajib mengqodho puasa.
2.Makan dan minum dengan sengaja
Barangsiapa yang makan dan minum secara sengaja dan dalam keadaan ingat bahwa ia sedang puasa, maka puasanya batal. Alloh berfirman
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ
Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS.al-Baqoroh: 187).
Para ulama telah sepakat bahwa makan dan minum membatalkan puasa.[30] Adapun jika makan dan minumnya karena lupa, maka puasanya sah, tidak kurang sedikitpun, tidak ada dosa, tidak ada qodho dan tidak ada kafarot. Berdasarkan hadits Abu Hurairoh bahwasanya Rosulullah bersabda;
مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهْوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
Barangsiapa yang lupa bahwa dirinya sedang puasa kemudian makan dan minum, maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya. Karena sesungguhnya Alloh telah memberinya makan dan minum.[31]
3.Muntah dengan sengaja
Muntah dengan sengaja membatalkan puasa. Sedangkan muntah dengan tidak sengaja tidak membatalkan puasa, tetap sah, tidak ada qodho dan kafarot. Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasululloh bersabda;
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
Barangsiapa yang muntah sedangkan ia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho baginya. Dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka hendaklah ia mengganti puasanya.[32]
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang puasa bila muntah dengan sengaja maka puasanya batal. Inilah pendapat mayoritas ulama.[33] Hikmahnya adalah karena muntah dengan sengaja akan melemahkan dan membahayakan kondisi badan.
Adapun jika muntahnya tidak sengaja, keluar tanpa kehendaknya, maka puasanya sah, tidak ada qodho baginya.[34] Imam al-Khottobi mengatakan: “Saya tidak mengetahui ada perselisihan dikalangan ahli ilmu dalam masalah ini”.[35]
4.Keluarnya darah Haidh dan Nifas
Barangsiapa yang haidh atau nifas walaupun hanya sedetik dari akhir siang hari atau awalnya, maka puasanya batal, dan dia wajib mengganti hari tersebut dengan puasa pada hari yang lain berdasarkan kesepakatan para ulama, sebagaimana dalam pembahasan yang lalu.
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Ini merupakan ijma’ bahwa wanita haidh tidak puasa ketika masa haidhnya, dia harus mengganti puasanya dan tidak mengganti sholatnya. Tidak ada perselisihan tentang hal itu alhamdulillah. Dan apa yang menjadi kesepkatan ulama maka itu adalah pasti benar”.[36]
- Segala sesuatu yang semakna dengan makan dan minum
Seperti menggunakan cairan infus yang berfungsi menggantikan makan dan minum. Maka hal tersebut membatalkan puasa. Inilah pendapat Syaikh Abdurrahman as-Sa’di[37], Ibnu baz[38], Ibnu Utsaimin[39] dan keputusan Majma’ al-Fiqhi[40].
Demikian pula yang termasuk dalam kategori minum adalah merokok. Barangsiapa yang merokok dalam keadaan puasa, maka puasanya batal, karena merokok termasuk minum[41]. Adapun jarum suntik/injeksi yang tujuannya untuk pengobatan dan tidak berfungsi sebagai pengganti makan dan minum maka tidak membatalkan puasa.[42]
HAL-HAL YANG TIDAK MEMBATALKAN PUASA
Orang yang memahami agama ini dengan baik, pasti tidak akan ragu bahwa agama ini memberi kemudahan kepada para hambanya dan tidak menyulitkan. Islam telah membolehkan beberapa perkara bagi orang yang puasa. Bila perkara-perkara ini dikerjakan, puasanya sah dan tidak batal. Apa saja perkara-perkara tersebut?
- Memasuki pagi hari dalam keadaan junub
Barangsiapa yang tidur ketika puasa, kemudian mimpi basah maka puasanya tidak batal, bahkan hendaknya dia meneruskan puasanya berdasarkan kesepakatan ulama.[43] Demikian pula barangsiapa yang mimpi basah pada malam harinya, kemudian ketika bangun pagi hari masih dalam keadaan junub dan hendak puasa, maka puasanya sah, sekalipun dia tidak mandi kecuali setelah fajar.[44] Berdasarkan haditsnya Aisyah dan Ummu Salamah;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلاَمٍ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُومُ
Adalah Rasulullah pernah memasuki fajar pada bulan Romadhan dalam keadaan junub sehabis berhubungan badan dengan isterinya bukan karena mimpi. Kemudian beliau berpuasa.[45]
Demikian pula masuk dalam masalah ini adalah wanita yang haidh dan nifas apabila darah mereka terhenti dan melihat sudah suci sebelum fajar, maka hendaknya ikut puasa bersama manusia pada hari itu sekalipun belum mandi kecuali setelah terbitnya fajar. Karena ketika itu dia sudah menjadi orang yang wajib puasa.[46]
- Berciuman dan berpelukan bagi suami isteri jika aman dari keluarnya air mani
Boleh bagi suami isteri untuk berpelukan dan berciuman[47] pada siang hari Romadhan jika dirinya mampu menahan syahwat hingga terjaga dari keluarnya air mani dan tidak terjatuh dalam perbuatan haram berupa jima’. Berdasarkan haditsnya Aisyah, dia berkata;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لإِرْبِهِ.
Dahulu Nabi pernah mencium dan memeluk padahal beliau sedang puasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya diantara kalian.[48]
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata: “Ciuman terbagi menjadi tiga macam;
Pertama: Ciuman yang tidak diiringi dengan syahwat. Seperti ciuman seorang bapak kepada anak-anaknya yang masih kecil. Maka hal ini boleh, tidak ada pengaruh dan hukumnya bagi orang yang puasa.
Kedua: Ciuman yang dapat membangkitkan syahwat. Akan tetapi dirinya merasa aman dari keluarnya air mani, menurut pendapat madzhab Hanabilah ciuman jenis ini dibenci, akan tetapi yang benar adalah boleh tidak dibenci.
Ketiga: Ciuman yang dikhawatirkan keluarnya air mani, maka jenis ciuman ini tidak boleh, haram dilakukan jika persangkaan kuatnya menyatakan bahwa air maninya akan keluar jika berciuman. Seperti seorang pemuda yang kuat syahwatnya dan sangat cinta kepada isterinya.[49]
- Mandi, Mendinginkan badan Dan Berenang
Dari Abu Bakar bin Abdirrahman dari beberapa sahabat nabi, ia berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ أَوْ مِنَ الْحَرِّ.
Di Arj, saya melihat Rasulullah mengguyurkan air ke atas kepalanya dan beliau sedang puasa. Beliau ingin mengusir rasa dahaga atau panasnya.[50]
Imam Bukhari dalam shohihnya berkata: “Bab mandinya orang yang sedang puasa”. Kemudian beliau menyebutkan bahwa Ibnu Umar pernah membasahi sebuah baju kemudian memakainya dan beliau sedang puasa.[51]
- Berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung tanpa berlebihan
Dari Laqith bin Sobiroh bahwasanya Rasulullah bersabda:
وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
Bersungguh-sungguhlah kalian ketika memasukkan air ke dalam hidung, kecuali jika kalian sedang puasa.[52]
Bolehnya berkumur-kumur bagi orang yang sedang puasa hukumnya sama saja baik ketika berwudhu, mandi atau selain itu. Puasanya tidak batal walaupun sisa-sisa basahnya air masih ada di dalam mulut. Demikian pula jika sisa berkumur tertelan bersama air liur, maka tidak membatalkan puasa, karena hal itu sulit dihindari.[53]
- Mencicipi makanan untuk kebutuhan selama tidak masuk kerongkongan
Ibnu Abbas berkata:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ اْلخَلَّ أَو الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidak mengapa mencicipi cuka atau sesuatu apapun selama tidak sampai masuk tenggorokan dan dia sedang puasa”.[54]
Syaikhul Islam berkata: “Mencicipi makanan bisa jadi dibenci bila tidak ada kebutuhan, akan tetapi tidak membatalkan puasa, adapun jika ada kebutuhan maka dia seperti berkumur-kumur”.[55]
- Berbekam bagi yang tidak khawatir lemah
Bekam adalah mengeluarkan darah kotor dari tubuh dengan menorehkan silet atau sejenisnya pada titik tertentu dari badan. Berbekam termasuk pengobatan nabawi yang ampuh dan mujarrab. Akan tetapi apakah hal ini dibolehkan bagi orang yang sedang puasa? Sahabat mulia Ibnu Abbas mengatakan:
احْتَجَمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ صَائِمٌ
Adalah nabi berbekam padahal beliau sedang puasa.[56]
Hadits ini adalah dalil yang sangat jelas akan bolehnya berbekam bagi orang yang sedang puasa. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya imam yang tiga; Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I, dan pendapat ini adalah pilihan imam Bukhari serta dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm.[57] Termasuk dalam hal ini juga masalah donor darah, para ulama kontemporer menyamakan status hukumnya dengan hukum berbekam. Dengan demikian donor darah hukumnya tidak membatalkan puasa sebagaimana berbekam. Demikian halnya dengan tes darah. Wallahu A’lam.[58]
- Bersiwak, celak, tetes mata
Menurut pendapat terkuat bahwa memakai celak mata bagi orang yang sedang puasa dibolehkan. Karena celak mata tidak mempengaruhi orang yang puasa, sama saja dia mendapati rasanya di tenggorokan atau tidak. Ini adalah pendapatnya Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim.[59]
Imam Bukhari berkata dalam Shohihnya: “Anas, Hasan dan Ibrohim berpendapat bahwa celak mata bagi orang yang puasa tidak mengapa”.[60]
Adapun obat tetes mata, kebanyakan ulama kontemporer mengatakan bahwa penggunaan obat tetes mata tidak membatalkan puasa.[61]
- Menelan ludah
Menelan ludah tidak membatalkan puasa, karena perkara ini termasuk sesuatu yang sulit dihindari. Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Tidak apa-apa menelan ludah ketika puasa. Saya tidak mendapati perselisihan ulama tentang bolehnya, sebab hal itu sulit untuk dihindari”.[62]
SUNNAH-SUNNAH SAAT PUASA
Bulan Ramadahan merupakan bulan yang penuh dengan keutamaan, bulan panen pahala, bulan yang merupakan sekolahan iman bagi kita semua. Oleh karenanya, maka sangat merugi bila kita tidak pandai-pandai mengisi waktu dan kesempatan emas tersebut dengan baik.
Orang yang beruntung adalah yang dapat memanfaatkan dan mengisi hari-hari Romadhon dengan amalan-amalan yang mulia dan menghiasinya dengan adab-adab terpuji. Adab-adab apa sajakah yang harus diperhatikan oleh orang yang sedang puasa?
- Makan sahur
Berdasarkan hadits:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السُّحُوْرِ بَرَكَةً
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda: “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan“.[63]
Hadits ini berisi anjuran untuk sahur sebelum puasa, karena didalamnya terdapat kebaikan yang banyak dan membawa berkah. Barokah sahur banyak sekali, di antaranya:
- Akan merasa kuat dalam melakukan aktifitas ibadah di siang hari, sebab orang yang lapar biasanya malas untuk beraktifitas.
- Membendung perbuatan-perbuatan jelek yang ditimbulkan oleh rasa lapar.
- Mencontoh perbuatan Nabi yang mulia.
- Menyelisihi perangai ahli kitab yang kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka.
- Menjadikan seorang bangun akhir malam dan bisa menggunakannya untuk ibadah sholat, doa’, dzikir dan sebagainya karena saat itu adalah saat-saat yang istimewa.
- Menjadikan seorang giat sholat berjama’ah shubuh di masjid. Oleh karena itu, biasanya jumlah orang yang sholat shubuh jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.[64]
Dan termasuk sunnah ketika sahur adalah untuk mengakhirkannya. Zaid bin Tsabit berkata: “Kami sahur bersama nabi, kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh. Anas bertanya: “Berapa lama jarak antara selesai sahurnya dengan adzan? Zaid menjawab: “Lamanya sekitar bacaan lima puluh ayat”.[65]
- Menyegerakan berbuka
Bila matahari telah terbenam atau adzan maghrib telah dikumandangkan maka segerahlah berbuka, karena hal itu adalah sunnah Nabi kita yang mulia. Rasulullah bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ
Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.[66]
Inilah sunnah Rasululloh yang banyak dilalaikan manusia. Padahal jika ummat Islam seluruhnya menyegerakan berbuka, sungguh mereka telah berpegang dengan sunnah rasul dan jalannya salaf as-Sholih, mereka tidak akan tersesat dengan izin Alloh selama berpegang dengan hal itu.[67]
- Berbuka dengan Kurma dan Berdoa
Adalah Rasulullah mengutamakan berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma beliau berbuka dengan minum air. Berdasarkan hadits:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُفْطِرُ عَلىَ رُطُبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيْ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطُبَاتٍ فَعَلىَ تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Adalah Rasulullah berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat. Apabila tidak ada kurma basah, beliau berbuka dengan kurma kering, apabila tidak ada kurma kering, beliau berbuka dengan air.[68]
Doa yang paling utama adalah doa yang diajarkan Rasulullah. Adalah beliau ketika berbuka puasa membaca doa[69];
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
Telang hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan dan mendapat pahala insya Alloh.[70]
- Memperbanyak sedekah
Bulan Ramadhan adalah bulan kasih sayang dan kedermawanan, karena bulan itu adalah bulan yang sangat mulia dan pahalanya berlipat ganda. Marilah kita contoh pribadi Nabi kita Muhammad dalam hal ini, beliau adalah orang yang paling dermawan dan lebih dermawan lagi apabila di bulan Ramadhan, sehingga digambarkan bahwa beliau lebih dermawan daripada api yang kencang. Ibnu Abbas berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ
Adalah Rosululloh manusia yang paling dermawan. Beliau sangat dermawan jika bulan Romadhan.[71]
- Membaca al-Qur’an
Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an, maka sudah semestinya kita memuliakannya dengan banyak membaca, mentadabburi dan memahami isinya pada bulan ini. Rasulullah sebagai teladan kita beliau selalu mengecek bacaan al-Qur’annya pada malaikat jibril pada bulan ini.[72]
Cukuplah keutamaan membaca dan mempelajari al-Qur’an sebuah hadits yang [73]berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ آلمَ حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ
Dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan, setiap satu kebaikan dilipat gandakan hingga sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan Aliif Laam Miim satu huruf, akan tetapi Aliif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.[74]
- Shalat tarawih[75]
Ketahuilah, bahwa seorang mukmin pada bulan Romadhan terkumpul dua jihad dalam dirinya. Jihad pada siang hari dengan puasa dan jihad pada malam hari dengan shalat malam.[76]
Sungguh mengerjakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan pahalanya sangat besar. Rasulullah bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang mengerjakan shalat malam di bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala Alloh, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.[77]
Dan hendaklah mengerjakan shalat tarawih bersama imam, jangan pulang sebelum imam selesai, karena Rasulullah bersabda:
مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai selesai, ditulis baginya shalat sepanjang malam.[78]
Adapun kaum wanita, jika mereka ingin shalat taraweh di masjid, maka hendaknya memperhatikan adab-adab pergi ke masjid, seperti memakai pakaian syar’I, tidak memakai parfum, tidak bercampur baur dengan lelaki dan lain-lain.[79]
- Perbanyaklah berdo’a
Termasuk keberkahan bulan Romadhan, Alloh memuliakan kita semua dengan jaminan terkabulkannya doa.[80] Keadaan berpuasa merupakan saat-saat waktu terkabulkannya do’a. Sebagaimana Rosululloh bersabda;
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ : دَعْوَةُ الوَالِدِ وَ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
Tiga do’a yang tidak tertolak; do’a orang tua, do’a orang yang puasa dan do’a orang musafir (bepergian).[81]
Maka pergunakanlah kesempatan berharga ini dengan banyak doa dengan penuh menghadirkan hati dan kemantapan. Janganlah sia-siakan waktu istimewa ini dengan hal-hal yang tiada guna, lebih-lebih saat akan berbuka puasa.
Demikianlah penjelasan singkat tentang fiqih ibadah puasa. Semoga Allah menerima amal ibadah puasa kita semua. Amin.
[1] Disarikan dari buku “Panduan Lengkap Puasa Ramadhan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah” cetakan Pustaka Al Furqon. Bagi yang ingin mengetahui penjelasan lebih detail, silahkan membaca buku tersebut.
[2] Ma’a Nabi Fii Romadhon hlm. 7-8 oleh Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr.
[3] Majaz al-Qur’an 2/4, Abi Ubaid, Lisaanul Arob 12/350, Ibnu Manzhur
[4] At-Ta’riifaat hal.139, Ali al-Jurjani, Syarh Umdah, Ibnu Taimiyyah 1/23-24, As-Syarah al-Mumti’ 6/310, Ibnu Utsaimin
[5] Bidayah al-Mujtahid 2/556, Ibnu Rusyd, al-Ifshoh 1/241, Ibnu Hubairoh, al-Iqna’ Fi Masail al-Ijma’ 1/226, Ibnu al-Qotthhon
[6] Zaadul Ma’ad 2/29.
[7] HR. Bukhori 8 dan Muslim 16.
[8] Lihat Al-Mughni Ibnu Qudamah 4/324, Marotibul Ijma’ Ibnu Hazm hlm. 70, Al-Ijma’ Ibnul Mundzir hlm. 52 dan at-Tamhid Ibnu Abdil Barr 2/148.
[9] Al-Fawaid at-Tarbawiyyah Fi Shoum hal.151, Ibrohim bin Abdulloh as-Samari
[10] Lathoiful Ma’arif hal.284, Ibnu Rojab.
[11] As-Shiyam Fil Islam hal.28, DR.Sa’id bin Ali al-Qohtoni
[12] Zaadul Ma’ad 2/27, Ibnul Qoyyim
[13] Fathul Qodir 2/42, Ibnu Humam
[14] Ash-Shoum Fi Dhoil Kitab wa as-Sunnah hal.10, Umar Sulaiman al-Asyqor
[15] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 28/8.
[16] Lathoif al-Ma’arif hal.290-291, Ibnu Rojab, ar-Riyadh an-Nadhiroh hal.22-24, Abdurrahman as-Sa’di, as-Shiyam Fil Islam 27-30, DR.Sa’id bin Ali al-Qohthoni.
[17] Minhatul ‘Allam hal.6, Abdulloh bin Sholih al-Fauzan
[18] HR. Bukhari: 8, Muslim: 16
[19] HR. Bukhari: 38, Muslim: 860
[20] HR. Muslim: 15
[21] Ahmad 12/420. Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shohih al-Jami’ no.2169
[22] Athrof al-Musnad 7/203, sebagaimana dalam as-Shiyam Fil Islam hal.34, DR.Sa’id bin Ali al-Qohthoni, hal senada dikatakan pula oleh Imam al-Munawi dalam Faidhul Qodir 2/614.
[23] Faidhul Qodir 2/614, al-Munawi
[24] HR. Muslim: 2763.
[25] HR. Bukhari: 304, Muslim: 132
[26] Marotibul Ijma’ hlm. 40 oleh Ibnu Hazm, Al-Ijma’ hlm. 43 oleh Ibnul Mundzir, Al-Muhalla 2/238 oleh Ibnu Hazm, Al-Mughni 4/397 oleg Ibnu Qudamah.
[27] HR. Bukhori : 4505.
[28] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 25/244
[29] Lihat Fatawa Ibnu Utsaimin fi Zakat wa Shiyam hlm. 710-714 dan As-Shiyam Fil Islam hal.171
[30] Al-Mughni 4/349
[31] HR.Bukhari: 1923, Muslim: 1155
[32] HR.Abu Dawud: 2380, Tirmidzi: 720, Ibnu Majah: 1676, Ahmad 2/498, Hakim 1/427, dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Irwaa: 923
[33] Minhatul Allam 5/54.
[34] Majalis Syahri Romadhan hal.163, Ibnu Utsaimin
[35] Ma’alim as-Sunan 3/261, al-Khotthobi. Lihat pula al-Ifshoh 1/242, Ibnu Hubairoh
[36] At-Tamhid 22/107.
[37] Al-Irsyad 4/472, as-Sa’di
[38] Majmu Fatawa Ibnu Baz 15/258
[39] Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/220-221
[40] Majalah al-Majma al-Fiqhi thn.10 juz 2 hal.464
[41] Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu 3/1709, Wahbah az-Zuhaili, Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin 19/202-203
[42] Mufatthiroot as-Shoum al-Mu’ashiroh hal.65, DR.Ahmad al-Kholil
[43] al-Mughni 3/341, al-Majmu’ 6/370
[44] Imam Ibnu Hubairoh dan Imam an-Nawawi telah menukil kesepakatan ulama dalam masalah ini. Al-Ifshoh 1/244, Syarah Shohih Muslim 7/231
[45] HR.Bukhari: 1926, Muslim: 1109
[46] Ahadits Shiyam Ahkam Wa Adab hal.107, Abdullah Bin Sholih al-Fauzan
[47] Lihat atsar-atsar para sahabat dan tabi’in yang membolehkan hal tersebut dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 3/63, Ma Sohha Min Aatsari as-Shohabah Fil Fiqh 2/647-652, Zakaria bin Ghulam Qodir al-Bakistani.
[48] HR.Bukhari: 1927, Muslim: 1106
[49] As-Syarah al-Mumti’ 6/427
[50] HR.Abu Dawud: 2365, Ahmad 5/376. Sanad hadits ini hasan sebagaimna ditegaskan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 6/347. Lihat pula Sifat Shoum an-Nabi hal.56
[51] Shohih al-Bukhari hal.310
[52] HR.Abu Dawud: 2366, Tirmidzi: 788, Ibnu Majah: 407, Nasai: 87, Ahmad 4/32, Ibnu Abi Syaibah 3/101. Dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Irwaa no.935. lihat pula Sifat Shoum an-Nabi hal.54, Salim al-Hilaly dan Ali Hasan bin Abdil Hamid
[53] Roddul Mukhtar 2/98, Ibnu Abidin, al-Uddah Fi Syarh al-Umdah 1/223, Bahauddin Abdurrahman al-Maqdisi
[54] HR.Ibnu Abi Syaibah 3/47, Baihaqi 4/261
[55] Majmu’ Fatawa 25/266, Ibnu Taimiyyah
[56] HR.Bukhari: 1939
[57] Al-Muhalla 6/204, Bada’i Shona’i 2/107, al-Kassani, Bidayah al-Mujtahid 2/154, al-Majmu’ 6/349
[58] Lihat Al-Mufthiroth al-Mu’ashiroh hlm 94 oleh Syaikh Ahmad al-Kholil dan
[59] Al-Majmu’ 6/348, Haqiqotus Shiyam hal.37, Majmu’ Fatawa keduanya oleh Ibnu Taimiyyah 25/242, Zaadul Ma’ad 2/60, Sifat Shoum an-Nabi hal.56
[60] Shahih Bukhari hal.310.
[61] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/260, Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/206, Majalah al-Majma’ thn.10 juz.2 hal.378
[62] Majmu Fatawa wa Maqalat 5/313
[63] HR.Bukhari 1923, Muslim 1095
[64] Ahadits Shiyam hlm. 76-77 oleh Abdullah al-Fauzan.
[65] HR.Bukhari 1921, Muslim 1097
[66] HR.Bukhari 1957, Muslim 1098
[67] Sifat Shoum an-Nabi hal.63, Salim al-Hilali dan Ali Hasan
[68] HR.Abu Dawud: 2356, Tirmidzi: 696, Ahmad 3/163, Ibnu Khuzaimah 3/227, Hakim 1/432, Dihasankan oleh al-Albani dalam al-Irwaa no.922
[69] Pada tanggal 27 Ramadhan 1425 H, kami bertemu al-Allamah al-Muhaddits Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad -Semoga Allah menjaganya- menjelang shalat tarawih di masjid Nabawi. Kami bertanya kepada beliau tentang waktu doa berbuka puasa di atas, apakah ketika akan berbuka atau ketika sedang berbuka?! Beliau menjawab dengan singkat: “Kedua-duanya boleh, adapun setelah berbuka maka bukanlah waktunya”.
[70] HR.Abu Dawud 2357, Nasai dalam Amal Yaum wal Lailah no.299, Ibnu Sunni: 480, Hakim 1/422, Baihaqi 4/239. Dihasankan oleh ad-Daroquthni dalam sunannya no.240. disetujui oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis 2/802, al-Albani dalam al-Irwaa no.920.
[71] HR.Bukhari: 6, Muslim: 2308
[72] HR.Bukhari 1/30, Muslim 3308
[73] Ta’liqot Syaikhina Sami bin Muhammad ala Bulughul Marom.
[74] HR.Tirmidzi 2910, Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam as-Shahihah: 660
[75] Lihat masalah ini lebih lengkap dalam Qiyam Romadhon oleh al-Albani.
[76] Lathoif al-Ma’arif hal.319
[77]HR.Bukhari 4/250, Muslim 759
[78] HR.Abu Dawud 4/248, Tirmidzi 3/520, Nasai 3/203, Ibnu Majah 1/420. Dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwaa’ no.447
[79] Lihat lebih luas dalam Ahkam Hudhur al-Masjid hal.275-281, Abdulloh Bin Sholih al-Fauzan
[80] Ruh as-Shiyam Wa Ma’aniihi hal.114, DR.Abdul Aziz Musthofa Kamil
[81] HR.Baihaqi 3/345 dan lain-lain. Dicantumkan oleh oleh al-Albani dalam as-Shohihah no.1797