سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Haruskah Anak Mencium Tangan Guru dan Orang Tua…?
Mencium tangan Kiai, Tuan Guru, Ustadz maupun Guru di sebagian pondok atau sekolah di Indonesia seolah merupakan suatu keharusan. Di sisi yang lain pada pondok-pondok Salafi hal ini tidaklah dianjurkan, bahkan sebagian Ustadz atau Guru merasa “risih” apabila tangannya dicium oleh murid-muridnya.
Lalu bagaimana sebenarnya pandangan Islam dalam masalah ini…? Mari kita simak penjelasan para ulama tentang hukum seputar mencium tangan.
- DALIL- DALIL YANG MEMBOLEHKAN MENCIUM TANGAN
- Para sahabat mencium tangan Rasulullah ﷺ.
Dari Zari’ al-‘Abdi –utusan Abdu Qais- ia berkata:
لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا، فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ
“Tatkala kami tiba di Madinah, kami bersegera dari kendaraan kami kemudian kami cium tangan dan kaki Nabi…” (HR. Abu Dawud 4/375, al-Baihaqi 7/102 dan dihasankan oleh al-Albani)
Dari Usamah Ibnu Syarik a\ ia berkata:
قُمْنَا إِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ
“Kami beranjak kepada Nabi ﷺ dan kami mencium mencium tangannya.” (Diriwayatkan oleh al-Muamili dalam al-Amali 1/256, Abu Bakr Ibnul Muqri’ dalam TaqbilulYad 1/58, sanadnya kuat menurut al-Hafizh dalam Fathul Bari 11/57)
- Mencium tangan tidak khusus kepada Nabi ﷺ, tetapi juga orang-orang mulia lainnya.
Berkata Abdurrahman Ibnu Razin:
مَرَرْنَا بِالرَّبَذَةِ، فَقِيلَ لَنَا: هَا هُنَا سَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ، فَأَتَيْنَاهُ فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: بايعتُ بِهَاتَيْنِ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَخْرَجَ كَفًّا لَهُ ضَخْمَةً كَأَنَّهَا كَفُّ بَعِيرٍ، فقمنا إليها فقبلناها
“Kami pernah melintasi Rabadzah. Ada yang berkata kepada kami,‘Di sinilah Salamah Ibnul Akwa’.’ Maka kami mendatanginya dan mengucapkan salam padanya. Kemudian ia mengeluarkan kedua tangannya seraya berkata,‘Dengan dua tangan inilah aku pernah berbaiat kepada Nabi.’ Ia mengeluarkan telapak tangannya yang besar seperti telapak unta lalu kami bangkit dan mencium tangannya.” (HR. al-Bukhari dalam al–Adabul Mufrad 1/338, ath-Thabrani dalam al–Ausath dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al–Adab al–Mufrad)
Dari Tamim Ibnu Salamah ia berkata:
لَمَّا قَدِمَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الشَّامَ اسْتَقْبَلَهُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَقَبَّلَ يَدَهُ
“Tatkala Umar a\ tiba di Syam, ia disambut oleh Abu Ubaidah Ibnul Jarrah a\ lantas ia mencium tangan Umar.” (HR. al-Baihaqi dalam as–Sunan al–Kubra 7/101)
- Orang tua mencium tangan anaknya dan anak mencium tangan orang tuanya.
Dari Ummul Mukminins\ ia berkata, “Aku tidak melihat orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam akhlak, cara berjalan dan berkatanya daripada Fatimah…(lalu IbundaAisyah melanjutkan):
وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا وقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِي مَجْلِسِهِ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ وَأَجْلَسَتْهُ فِي مَجْلِسِهَا
“Jika Fatimah mengunjungi Nabi ﷺ maka Nabi berdiri menyambutnya lalu mengambil tangannya lalu menciumnya dan mendudukkannya di tempat duduknya. Nabi ﷺ pula jika mengunjunginya, Fatimah akan bangkit menyambutnya kemudian memegang tangan beliau dan menciumnya sertamemberikan duduk di tempat duduknya.” (HR. Abu Dawud 4/355, at-Tirmidzi 5/700 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Misykatul Mashabihno. 3689)
- Dalil- Dalil yang Tidak Membolehkan
Dari Abdurrahim Abul Abbas asy-Syami ia berkata: “Sulaiman bin Harb berkata:
تَقْبِيْلُ يَدِ الرَّجُلِ السَّجَدَةُ الصُّغْرَى
“Mencium tangan seseorang termasuk sujud kecil.”(Al–Wara’,Imam Ahmad 1/144)
Berkata al-Qurthubi:
“Adapun mencium tangan termasuk perbuatan orang ‘Ajam (non-Arab) dan jangan ikut-ikutan dengan perbuatan yang mereka ada-adakan tersebut sebagai bentuk mengagungkan pembesar mereka.” (Tafsir al–Qurthubi9/266)
- Komentar Para Imam Madzhab
- Madzhab Imam Abu Hanifah.
Berkata Ibnu ‘Abidin: “Tidak mengapa mencium tangan Hakim (pemimpin) yang taat beragama dan penguasa yang adil. Ada yang berpendapat itu termasuk sunnah dan mencium kepala orang alim lebih diutamakan….. Adapun untuk mendapatkan bagian dunia (dari mereka) maka tidak diperbolehkan.” (Ad–Durul Mukhtar 6/383)
- Madzhab Imam asy-Syafi’i.
Berkata Imam an-Nawawi: “Adapun mencium tangan, apabila itu karena zuhudnya orang yang dicium atau karena keshalihannya, ilmu, keutamaan, kemuliaan, keistiqamahannya dan selainnya dari urusan agama maka dianjurkan. Adapun karena dunianya semisal kekayaannya, kekuasaan, kedudukan dan selain itu maka hukumnya sangat dimakruhkan.” (Raudhahath-Thalibin 10/236)
- Madzhab Imam Ahmad.
Berkata Abu Abdillah Imam Ahmad: “Apabila mencium tangan itutadayyunan (karena agama seseorang) maka tidak mengapa, seperti Abu Ubaidah mencium Umar. Adapun karena dunia maka tidak diperbolehkan, kecuali jika seseorang yang ditakutkan pedang dan cemetinya (apabila tidak dicium tangannya).” (Kitabul Wara’, Abu Bakar al-Mirwazi 1/144)
- Madzhab Imam Malik.
Berkata Abul Hasan al-Maliki: “Imam Malik memakruhkanmencium tangan orang lain, baik itu orang alim, bapak, tuan atau suami, sebagaimana pendapat Madzhab, karena itu adalah perbuatan orang ‘Ajam dan akan membuat orang sombong serta bangga diri…” (Kifayah ath-Thalib 2/620)
- Pendapat Terkuat –Insya Allah–
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar: “Imam Malik memakruhkan (tidak menyukai) mencium tangan kalau itu dilakukan karena kesombongan (bagi yang dicium) dan pengagungan (orang yang mencium). Adapun kalau itu adalah bentuk pendekatan kepada Allah karena agama seseorang, ilmu dan kemuliaannya maka dibolehkan.” (Fathul Bari 11/56-57).
- Jaga Hati…
Berkata Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin: “Mencium tangan sebagai bentuk penghormatan orang yang pantas dihormati seperti bapak, orang-orang tua dan guru tidaklah mengapa kecuali kalau dikhawatirkan adanya dampak negatif seperti munculnya ‘ujub (bangga diri) dalam diri orang yang dicium tangannya dan merasa dirinya lebih tinggi dari orang yang mencium tangannya, maka menjadilah terlarang karena hal tersebut.” (Liqa’ul Bab al-Maftuh 30/177)
Berkata Syaikh al-Albani: “Kami berpendapat bolehnya mencium tangan dengan beberapa syarat:
- Tidak boleh dijadikan kebiasaan seperti kebiasaan orang alim yang menyodorkan tangannya untuk dicium kepada para muridnya dan mereka (para murid) beranggapan itu adalah untuk mencari berkah. Meskipun Nabi ﷺ dicium tangannya, namun itu hanyalah kadang-kadang.Maka tidak boleh dijadikan sunnah yang terus-menerus sebagaimana yang dimaklumi dalam kaidah fikih.
- Tidak boleh membuat orang alim tersebut menjadi sombong dan bangga diri, sebagaimana yang banyak menjangkiti para guru di zaman ini.
- Tidak boleh membuat ditinggalkannya sunnah yang telah dimaklumi, seperti berjabat tangan. Jangan sampai yang sunnah (berjabat tangan) ditinggalkan gara-gara perkara yang mubah (mencium tangan).” (As-Silsilah ash-Shahihah 1/252-253)
Berkata Syaikh Ibnu Jibrin: “Diperbolehkan mencium tangan kedua orang tua, para ulama, orang-orang mulia dan tua, baik itu kerabat maupun yang lainnya…Mencium tersebut adalah penghormatan, bukan penghinaan diri bukan pula pengagungan. Kami menyaksikan para guru kami mengingkari dan melarang (tangan mereka dicium) dan hal ini sebagai bentuk tawadhu’, bukan karena mereka mengharamkannya.” (Fatwa beliau dari situs http://islamqa.info/ar/207107).
Wallahulmuwaffiq.