سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…

Menjadi Ayah: Sebuah Peran yang Nyaris Terabaikan
Oleh, Ummu Muhammad Widyastuti Husadani, S.Psi
Dalam sebuah acara yang diselenggarakan di masjid Abu Bakar ash-Shiddiq, Jakarta (9 Desember 2015), psikolog dra. Elly Risman menyampaikan kepada segenap hadirin tentang pentingnya perhatian ayah terhadap keluarga. Beliau juga menjabarkan bahaya yang mengancam anak-anak apabila ayah kurang berperan secara langsung dalam pendidikan anak, terlebih lagi pada anak laki-laki. Psikolog yang mengkhususkan diri dalam bidang parenting ini menjelaskan bagaimana kesalahan dalam pola asuh, kurangnya kedekatan dengan ayah, dan interaksi anak dengan gadget tanpa pengawasan, pada akhirnya akan menyeret anak kepada kecenderungan untuk mengikuti gaya hidup LGBT (Lesbian Gay Bisexual dan Transgender).[1]
Kehadiran Ayah: Dulu dan Sekarang
Pada generasi kakek nenek kita, para ayah belum sesibuk ayah-ayah zaman sekarang. Karena kondisi masa itu, seorang ayah umumnya hanya memegang satu atau dua peran dalam kesehariannya. Sementara saat ini, seorang ayah bisa jadi berperan sebagai manajer di kantor, sekaligus pedagang, anggota takmir masjid, pengurus organisasi sosial, dan turut aktif dalam klub olah raga.
Keadaan menjadi semakin rumit ketika ayah beranggapan bahwa mengurus anak, termasuk pendidikan mereka di rumah, semata-mata tugas ibu. Sementara sang ayah mencukupkan dirinya dengan berbagai peran di luar rumah, dengan alasan, yang penting dapat memenuhi nafkah seluruh keluarga. Anak pun seolah tumbuh tanpa memiliki ayah.
Ketika Ayah Ada = Tidak Ada
Sebagai pencari nafkah, kebanyakan ayah bekerja di luar rumah. Semakin tinggi posisinya di tempat kerja, semakin besar pula beban tanggung jawabnya. Sayangnya, setelah sampai di rumah, sebagian ayah masih memikirkan pekerjaan. Ayah hadir bersama anak-anak, namun perhatiannya tertinggal di tempat kerja.
Dengan sikap seperti ini, seorang ayah cenderung sulit menjalankan perannya. Ayah lupa bermain dengan anak, lalai dalam memberi bimbingan akhlak, untuk sekadar mengobrol pun enggan, karena sudah terlalu lelah fisik maupun mentalnya. Tidak mustahil, anak-anak akan memandang ayah sebagai sosok yang dingin, kurang peduli, bahkan tidak suka kepada anak-anaknya sendiri.
Dapatkah Ibu Menggantikan Ayah?
Seorang ibu bisa saja mengambil alih tugas-tugas ayah, namun ia tidak mungkin menirukan segala ciri yang dimiliki umumnya ayah. Dalam bermain, misalnya. Kita dapat melihat bahwa cara ibu bermain dengan anak tidaklah sama dengan ayah. Ibu lebih suka mengajak bermain yang melibatkan instruksi verbal seperti bermain peran (contohnya, rumah-rumahan). Sementara ayah cenderung lebih suka mengajak bermain yang sifatnya fisik dan mengandung unsur timbal-balik (misalnya, bermain sepak bola).[2] Dari cara bermain ini saja, kita akan menyadari bahwa ada hal-hal yang hanya akan dipelajari anak dari seorang ayah, dan tidak dari ibunya.
Yang Dibutuhkan Anak dari Seorang Ayah
Jeffrey Rosenberg dan W. Bradford Wilcox, PhD. dalam tulisannya menyebutkan tujuh kriteria ayah yang efektif.[3] Berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan, bahwa ada tujuh hal yang dibutuhkan anak dari ayahnya.
- Waktu bersama. Sebuah studi menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan ayah bersama anak-anak dalam rutinitas harian, seperti makan dan bermain bersama, lebih penting daripada pergi berlibur bersama. Kebersamaan sehari-hari itulah yang membuat keluarga menjadi semakin dekat dan merasakan kepuasan lebih.[4]
- Di antara bentuk kepengasuhan ayah adalah dengan menjadi contoh yang sehat, bagaimana bersikap sebagai seorang lelaki (maskulinitas), serta mencegah anak gadis agar tidak mencari perhatian romantis dari laki-laki sebelum waktunya.
- Para ayah tampak lebih sukses dalam mendisiplinkan anak laki-laki. Secara umum ayah mempunyai ketegasan yang khas dalam masalah kedisiplinan, yang berbeda dengan gaya ibu. Keduanya berfungsi saling mengimbangi.
- Bimbingan dalam mengenal dunia luar. Ayah cenderung mendorong anak untuk mandiri dan berani mencoba hal baru. Kebersamaan ayah dengan anak-anak akan memungkinkannya untuk mengajari atau memberi wawasan tentang berbagai hal yang ada di luar rumah.
- Perlindungan dan pemenuhan kebutuhan. Ayah adalah sosok yang identik dengan kekuatan. Karena itu dia diharapkan mampu menciptakan rasa aman bagi anak dari gangguan anak atau orang dewasa lainnya.
- Teladan yang baik. Baik ayah maupun ibu harus sama-sama memberi teladan yang baik. Namun ada hal-hal tertentu yang hanya dapat dicontohkan oleh seorang ayah, yaitu bagaimana menjadi ayah yang baik. Bagi remaja laki-laki, hal ini akan membantunya dalam membentuk ciri-ciri peran gender yang positif. Sementara bagi remaja perempuan, contoh yang baik dan perhatian dari ayah akan membuatnya memiliki pandangan yang positif tentang kaum laki-laki, sehingga memiliki sikap yang lebih baik dalam berurusan dengan mereka.[5]
- Hubungan baik dengan sang ibu. Ketika ayah memperlihatkan sikap yang baik terhadap ibu dari anak-anaknya, dan mampu bersikap bijak dalam menghadapi konflik dengannya, dia telah memberi contoh kepada anak-anak (khususnya anak lelaki) untuk bersikap baik terhadap keluarganya kelak setelah menikah.
Manfaat Keterlibatan Ayah
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan para ahli, Jeffrey Rosenberg dan W. Bradford Wilcox dalam manual yang disusun untuk para pekerja Layanan Perlindungan Anak di AS pada tahun 2006 menyimpulkan, bahwa keterlibatan dan perhatian ayah dalam kepengasuhan anak berhubungan dengan berbagai hasil yang positif,[6] yaitu:
- Kemampuan kognitif dan prestasi akademik. Anak-anak tersebut cenderung memiliki tingkat IQ yang lebih tinggi, lebih siap untuk masuk sekolah, lebih sabar, serta mampu menghadapi stres dan rasa frustrasi yang berhubungan dengan sekolah. Ketika tumbuh remaja, mereka pun mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mencapai nilai rata-rata yang tinggi.
- Kesejahteraan psikologis dan perilaku. Anak-anak tersebut memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk mengalami depresi, berperilaku mengganggu, atau berbohong. Mereka cenderung menunjukkan perilaku prososial, mempunyai kesehatan fisik dan emosional yang lebih bagus, serta menghindar dari narkoba, kekerasan, dan kenakalan.
- Mencegah penganiayaan dan penelantaran anak. Dari laporan para pekerja Layanan Perlindungan Anak di AS, diperoleh data bahwa ibu mempunyai kecenderungan hampir dua kali lebih besar dibanding ayah untuk melakukan tindak penganiayaan dan penelantaran terhadap anak. Kedekatan dan kasih sayang ayah terhadap keluarganya dapat mencegah terjadinya hal tersebut, terlebih lagi bila ayah terlibat langsung dalam perawatan anak sejak bayi (misalnya mengganti popok).
Mengakali Kesibukan, Meningkatkan Kualitas Kehadiran
Setelah memahami kebutuhan anak akan kebersamaan dengan ayahnya, tidak ada pilihan lagi bagi kita selain berupaya agar ayah terlibat aktif dalam kepengasuhan anak. Kehebatan ayah yang super sibuk justru terlihat dari kemampuannya berbagi waktu dengan keluarga. Yang Anda butuhkan adalah tekad yang kuat untuk menjadi ayah yang baik, dan sedikit tips untuk mengatur waktu, seperti berikut:
- Menjalin kerjasama dengan guru di sekolah. Menurut Maureen Black, PhD., seorang profesor di Universitas Maryland AS, para guru berkomunikasi lebih sering dengan orang tua yang pernah bertemu dengan mereka secara langsung. Karena itu para orang tua hendaknya meluangkan sedikit waktu untuk mengenal guru di sekolah anak. Sehingga meski sangat sibuk, mereka dapat selalu memonitor perkembangan putra-putrinya di sekolah.[7]
- Menyempatkan 5 menit untuk berkomunikasi. Gunakan tiap kesempatan yang ada untuk berkomunikasi, walaupun hanya 5 menit. Ketika sedang sarapan, membersihkan kendaraan, atau menyiapkan perlengkapan kerja, Anda dapat mengerjakannya sambil berbincang ringan.
- Memperpendek jarak ke tempat kerja.[8] Upayakan untuk mencari tempat tinggal yang lebih dekat dengan tempat kerja, agar Anda mempunyai lebih banyak waktu untuk melakukan kegiatan bersama keluarga di rumah.
- Komitmen terhadap jadwal kegiatan. Jadwalkan semua kegiatan Anda, termasuk kegiatan bersama keluarga. Pada mulanya keberadaan jadwal akan dirasakan seolah membatasi gerak. Namun dengan bertambahnya komitmen Anda terhadap jadwal yang telah direncanakan, Anda akan mendapatkan lebih banyak kesempatan bersama keluarga.
- Meninggalkan laptop. Jamie Rosen, pendiri situs kesehatan WayBetter, adalah salah satu wirausahawan yang sangat sibuk. Dia menyarankan agar para ayah yang bekerja di kantor tidak membawa laptop pulang. Maksudnya, tentu saja agar mereka tidak tergoda untuk melanjutkan pekerjaan kantor di rumah. Anak-anak pun dilarangnya menggunakan laptop kecuali untuk mengerjakan PR. Dengan demikian waktu yang ada di rumah akan mereka manfaatkan untuk kegiatan bersama, bukan kegiatan individual.
Pulangkan Ayah ke Rumah
Demikianlah pesan psikolog dra. Elly Risman. Sesibuk apa pun seorang ayah, dia memiliki tugas yang tak bisa dialihkan kepada siapa pun. Dia harus pulang dan menjadi ayah bagi anak-anaknya, pemimpin bagi keluarganya. Seorang ayah hendaknya selalu ingat bahwa Allah yang menentukan rezeki setiap orang, dan bahwa dia masih memiliki kewajiban lain yang jauh lebih penting. Yaitu menyelamatkan diri dan keluarganya dari api neraka. Wallahu a’lam.
[1] https://www.youtube.com/watch?v=z1Zturue5NA
[2] http://theallianceforec.org/library.php?c=5&news=77
[3] https://www.childwelfare.gov/pubPDFs/fatherhood.pdf
[4] http://www.parenting.com/article/why-kids-need-their-dads
[5] https://www.psychologytoday.com/blog/the-long-reach-childhood/201106/the-importance-fathers
[6] https://www.childwelfare.gov/pubPDFs/fatherhood.pdf
[7] http://www.menshealth.com/guy-wisdom/parenting-tips-for-busy-dads
[8] http://www.inc.com/edward-cox/five-ways-even-super-busy-people-can-bond-with-family.html