Siraman Kalbu untuk Para Ibu

Oleh: Ust. Abu Ammar al-Ghoyami

www.alghoyami.wordpress.com

 

 

Di zaman ini para ibu dan calon ibu begitu sangat butuh terhadap nasihat dan siraman kalbu. Mengingat zaman semakin mundur dan tidak meninggalkan kecuali generasi yang didominasi kaum ibu dan calon ibu, mereka ialah kaum wanita umat ini. Sehingga di saat mereka seluruhnya mulia, akan mulia pula umatnya. Bi’idznillah.

 

Belajar ilmu syar’i

Kaum hawa umat ini harus memiliki perhatian terhadap ilmu syar’i yang berasaskan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Karena tanpa keduanya suatu ibadah yang wajib maupun yang sunnah tidak akan dapat dilakukan. Ini bukan berarti seorang istri atau ibu boleh mengorbankan kewajiban yang harus ia kerjakan, seperti mengurus suami dan anak-anak, serta mengatur rumah tangga. Hal-hal ini termasuk hal yang wajib yang tidak boleh ia tinggalkan.

Adapun hal-hal yang wajib dipelajari kaum hawa ialah memahami tauhid dan segala hal yang bertentangan dengannya dari perkara syirik yang termasuk pembatal agama. Kemudian masalah-masalah yang dapat membetulkan shalat mereka, masalah thaharah untuk wanita, ilmu tentang kapan harus shalat dan puasa serta kapan harus berhenti shalat dan puasa misalnya. Demikian juga perlu mempelajari hal-hal yang menjadikan mereka mengerti soal pendidikan anak-anaknya dan juga kiat mengurus suami dengan baik.

Jadi, seorang wanita muslimah harus mempelajari segala ilmu dengan skala prioritas yang benar di setiap kesempatan. Mereka mulai dari hal yang paling wajib terlebih dahulu, kemudian hal yang wajib berikutnya secara keseluruhan dan berkesinambungan.

Tinggalkan perdebatan

Sebagai kaum muslimah hendaknya meninggalkan perdebatan dalam masalah agama dan membuka pintu berbantah-bantahan yang menjadikan mereka disibukkan dari menuntut ilmu. Misalnya si Fulanah ini membuka majelis berbantahan di sana dan sini, atau Fulanah yang di sini menulis bantahan untuk Fulanah yang di sana dan seterusnya. Sampai-sampai seorang dari muslimah menulis bantahan kepada si Fulan muslim. Maka mereka sibuk dan disibukkan sehingga meninggalkan perkara wajib yang justru mereka kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.

Wahb bin Munabbih Rahimahullah Ta’ala berkata: “Tinggalkan perbuatan berbantah-bantahan dan saling mendebat dalam urusan (agama)mu. Karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat melemahkan salah satu dari dua orang berikut ini: (pertama) orang yang lebih berilmu darimu. Bagaimana engkau akan mendebat dan berbantahan dengan orang yang lebih berilmu darimu? (Kedua) orang yang kamu lebih berilmu darinya. Bagaimana kamu akan mendebat dan berbantahan dengan orang yang kamu lebih berilmu darinya dan dia tidak mau menurutimu? Maka putuskanlah (hubunganmu dengan) hal-hal seperti itu.”

Al-Abbas bin Ghalib al-Warraq Rahimahullah Ta’ala berkata: “Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal: ‘Wahai Abu Abdillah ketika aku berada di suatu majelis yang tidak ada seorang pun yang mengetahui sunnah kecuali aku, kemudian ada seorang ahli bid’ah yang berbicara, apakah aku (boleh) membantahnya?’ Imam Ahmad berkata: ‘Jangan kamu pasang (perhatian)mu untuk orang (seperti) ini. (Namun) beritahukan yang sunnah dan jangan kamu mendebatnya.’ Maka aku ulangi lagi perkataanku itu kepadanya. Lalu ia berkata: ‘Aku memandangmu tidak lain hanyalah seorang pendebat (semata, yang tidak baik).’”

Jangan perturutkan kabar burung

Di antara yang patut ditinggalkan kaum hawa ialah perbuatan mengabarkan suatu berita tertentu tentang sesuatu yang masih “katanya-katanya”. Hal demikian tidak boleh dilakukan. Bila harus melakukan maka janganlah dilakukan sehingga didapatkan kepastian beritanya dengan tastabbut (klarifikasi) terlebih dahulu. Dan hendaknya bertanya dulu kebolehan melakukannya kepada seorang ulama atau para thalabatul ilmi (penuntut ilmu) yang dikenal istiqamah di atas manhaj salaf dan termasuk orang yang memiliki keteguhan dan pertimbangan sehat serta bukan termasuk orang-orang yang tergesa-gesa. Hal demikian agar tidak sampai terjadi perselisihan hati dan perpecahan dan agar tidak menghukumi seseorang dengan sesuatu yang ia tidak berhak dihukumi dengannya.

Jadilah da’i kebaikan

Hendaknya seorang ibu muslimah dan kaum hawa umumnya menjadikan dirinya sebagai da’i yang mengajak menuju takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam dakwahnya. Sehingga ia menjadi da’i yang baik, menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Di antaranya, ia akan berhias dengan kesabaran terhadap orang yang menyelisihi juga terhadap orang yang jahil. Dan tidak ada senjata menuju sabar selain ilmu, yaitu ilmu tentang hal-hal yang ingin ia sampaikan dan ia dakwahkan serta bagaimana ia akan menyampaikan dan kepada siapa ia menyampaikannya. Karena berilmu sebelum berkata dan berbuat adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana dikatakan oleh al-Bukhari.

Kemuliaan ibu, kemuliaan anak-anaknya

Bila para wanita, khususnya para ibu memiliki semua yang telah disebutkan di atas; bersungguh-sungguh menuntut ilmu, tidak teperdaya oleh perdebatan, berbantah-bantahan, tidak mudah termakan isu, da’i menuju kebaikan, maka ia akan mendapatkan kemuliaan pada dirinya dan anak-anak keturunannya, insya Allah. Dan kemuliaan itu hanya bisa diraihnya bila ia peduli untuk memiliki semua kebaikan.

Abul Fadhl an-Naisaburi menyebutkan salah satu peribahasa: “Ma wara`aka ya ‘Isham?” Beliau berkata: “Orang yang pertama kali mengucapkan perkataan ini adalah al-Harits bin ‘Amr, raja Kindah ketika ia mendapatkan kabar tentang kecantikan, kesempurnaan dan kecerdasan putri ‘Auf bin Mahlim asy-Syaibani. Ia memanggil seorang wanita Kindah yang dipanggil ‘Isham; yang berarti seorang wanita cerdas, pandai berbicara serta tinggi budi bahasa dan sastranya.

Sang raja berkata: ‘Pergilah sampai engkau dapat memberitahuku tentang hal ihwal putri ‘Auf ini.’ ‘Isham pun pergi menemui ibu gadis itu, yaitu Umamah bintu al-Harits dan memberitahukan maksud kedatangannya. Maka Umamah memberikan pesan kepada putrinya dan berkata: ‘Anakku, inilah bibimu, telah datang untuk melihatmu. Maka janganlah kamu tutupi kalau ia ingin melihat wajah atau perilakumu. Dan bicaralah kalau ia mengajakmu bicara.’

‘Isham pun masuk menemuinya. Maka ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Setelah itu ia keluar seraya berkata, ‘Tarakal khida’ man kasyafal qana’’ (artinya: orang yang sudah menyingkap topeng, tidak akan tertipu). Ia membuat perkataan ini sebagai sebuah peribahasa. Lalu ia pergi menemui al-Harits.

Ketika al-Harits melihatnya datang, ia berkata: ‘Apa yang ada di belakangmu wahai ‘Isham?’ (maksudnya: kabar apa yang engkau bawa, wahai ‘Isham?). Kemudian ‘Isham menyifatkan fisik dan akhlak putri ‘Auf dengan ungkapan-ungkapan sastra yang jelas dan lengkap.[1]

Lalu sang raja mengutus seorang utusan kepada ayah gadis itu dan menyampaikan lamarannya. Sang ayah menikahkan putrinya dengan sang raja. Maskawin pun dikirimkan. Putri ‘Auf dipersiapkan hingga ketika ia hendak dibawa kepada suaminya, ibunya berkata: ‘Wahai putriku, kalaulah suatu wasiat tidak diberikan karena orang yang diberi wasiat sudah sempurna akhlaknya, maka tentu wasiat ini tidak akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi, ini sekadar pengingat orang yang lupa dan penguat orang yang ingat. Kalaulah seorang wanita bisa tidak membutuhkan seorang suami karena kekayaan orang tuanya dan ia juga sangat dibutuhkan oleh keduanya, tentulah kamu orang yang paling tidak membutuhkan suami. Akan tetapi wanita itu diciptakan untuk laki-laki dan laki-laki itu diciptakan untuk perempuan.’

‘Putriku, sesungguhnya engkau akan berpisah dari lingkungan yang darinya engkau (akan) keluar, dan engkau akan meninggalkan sarang yang di dalamnya engkau tumbuh besar. Ke sebuah sarang yang belum pernah engkau tahu dan seorang pendamping yang tidak pernah engkau kenal. Maka ia dengan kerajaannya akan menjadi pengintai dan pengatur atas dirimu. Maka jadilah seorang hamba sahaya untuknya, niscaya dia akan menjadi seorang budak dan orang yang baik untukmu.’

‘Putriku, embanlah dariku sepuluh sifat, niscaya sifat-sifat itu akan menjadi perbendaharaan dan kenangan untukmu: mendampinginya dengan sifat qana’ah dan bergaul dengan penuh penerimaan dan ketaatan. Serta teliti dengan segala yang dilihat suamimu dan waspadalah terhadap bau apapun yang diciumnya. Jangan sampai ia melihat dirimu dalam keadaan buruk dan jangan pula ia sampai mencium darimu kecuali aroma yang harum. Celak adalah sebaik-baik perhiasan dan air adalah sebaik-baik pengganti wewangian. Kemudian bersiaplah saat jam makan dan tenangkanlah suasana saat jam tidur. Karena panasnya lapar akan mengobarkan rasa marah, dan membuatnya sulit tidur akan memancing kekesalan. Lalu senantiasalah menjaga rumah dan hartanya, serta mengurus diri, keluarga dan anak-anaknya. Karena menjaga harta merupakan baiknya perhitungan (hisab). Dan mengurusi anak serta keluarga merupakan baiknya pengaturan. Dan jangan engkau sebarkan rahasianya, serta jangan engkau bangkang perintahnya. Karena kalau engkau sebarkan rahasianya, engkau tidak akan aman dari pengkhianatannya. Sedangkan kalau engkau membangkang perintahnya, engkau akan mengobarkan amarahnya. Kemudian dengan itu semua hindarilah sikap bersuka cita ketika ia sedang bersedih, dan sikap berduka cita ketika ia sedang bergembira. Karena sifat yang pertama merupakan kelalaian, sedangkan yang kedua akan membuat suasana menjadi keruh. Dan jadilah orang yang pandai memberi pengagungan kepadanya, maka dia akan menjadi orang yang pandai memberi kemuliaan kepadamu. Jadilah orang yang pandai menurutinya, maka dia akan menjadi orang yang akan lama bisa engkau dampingi. Dan ketahuilah bahwa engkau tidak akan dapat meraih apa yang engkau sukai sampai engkau mendahulukan keridhaannya di atas keridhaan dirimu sendiri dan mendahulukan keinginannya di atas keinginanmu sendiri dalam segala hal yang engkau sukai ataupun benci. Dan semoga Allah menjadikan semuanya baik untukmu.’

Sang putri itu pun dibawa untuk diserahkan kepada sang raja. Ia mendapatkan kedudukan agung di sisi raja tersebut dan melahirkan untuknya tujuh orang anak yang kemudian menjadi raja Yaman selanjutnya.”[2]

Maka perhatikanlah, bagaimana kemuliaan telah didapatkan? Tidaklah seorang ibu akan mampu memberikan kemuliaan buat anak-anaknya selagi ia sendiri belum memilikinya. Sebagaimana seorang yang tak memiliki, tentu tak akan bisa memberi. Karenanya, persiapkan kesungguhan menuntut ilmu, sesungguhnya di balik ilmu terdapat kemuliaan.

Wallahul muwaffiq.

[1] Sengaja tidak dituliskan di sini apa yang disebutkan oleh ‘Isham karena beberapa hal, namun tidak mengurangi faedah yang diinginkan. Insya Allah.

[2] Majma’ul Amtsal, Abul Fadhl Ahmad bin Muhammad al-Maidani an-Naisaburi, Darul Ma’rifah, Beirut, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, 2/262, asy-Syamilah.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.