سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Teladanilah Nabimu dalam Mendidik Anakmu
Oleh: Ust. Aunur Rofiq Lc.
Mendidik anak perlu ilmu, sebagaimana dibutuhkan ilmu terlebih dahulu sebelum membangun sesuatu. Imam al-Bukhari berkata, “Hendaknya berilmu sebelum berkata dan beramal.”
Orang pertama kali yang mengilmui pendidikan anak dari kalangan umat ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam. Karena itu hendaknya kita memilih beliau sebagai cerminan dalam mendidik anak kita. Kita memilih beliau sebagai suri teladan karena beberapa sebab; pertama, beliau Shallallahu ‘alaihi was salam mendidik umat berdasarkan wahyu, bukan hasil dari akal, penemuan, dan perasan. Juga bukan dari hasil musyawarah atau keinginan orang secara umum. Kedua, beliau bersih dari kesalahan, berbeda dengan manusia lainnya, dan sebagai bukti persaksian kita setiap shalat lima waktu, minimalnya kita bersyahadat sembilan kali, bahwa beliau adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Ketiga, Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah berfirman:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab: 21)
Jadi, cermin kita dalam mendidik anak bukan Plato, Kent, atau orang barat maupun timur. Tetapi beliau adalah Rasulullah juga para sahabatnya, karena merekalah yang mengikuti jejak beliau dengan baik dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji mereka.
Peran pendidik bagi anak
Orang tua atau pendidik sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi anak; menjadi baik atau sebaliknya. Karena Allah menitipkan anak kepada orang tuanya dalam keadaan suci, bersih dari dosa, maka orang tua bertanggung jawab menjaga fitrahnya, dan kelak mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang hal itu semua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ.
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang mempengaruhinya menjadi Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah kamu melihat ada yang terpotong hidungnya?” (HR. Muslim: 4803)
Imam Badruddin al-‘Aini mengatakan, “Dua orang tualah yang mengajarinya beragama Yahudi atau Nasrani dan yang memalingkan dari fitrahnya, sehingga dia mengikuti agama orang tuanya.” (‘Umdatul Qari’ 13/39)
Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam mendidik anak?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam mendidik anak dengan beberapa cara berdasarkan wahyu Ilahi, di antaranya:
- Mendoakan anak didik kita agar menjadi anak yang baik. Doa adalah puncak ibadah, para Nabi selalu memohon kepada Allah agar dikaruniai anak yang shalih. Maka kita sebagai orang tua atau pendidik hendaknya berdoa kepada Allah untuk kebaikan anak didik kita, baik anak kita sendiri atau anak saudara kaum muslimin yang lain. Nabi Zakaria ‘Alaihis salam berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Ya Rabbku, berilah aku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Mahamendengar doa. (QS. Ali ‘Imran: 38)
Nabi Ibrahim ‘Alaihis salam berdoa kepada Allah juga agar dikaruniai anak yang shalih:
Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. (QS. ash-Shaffat: 100)
Para Nabi bukan saja mendoakan anaknya sendiri agar menjadi anak yang shalih, tetapi anak orang lain juga mereka doakan. Maka kita sebagai pendidik hendaknya senantiasa berdoa agar anak didik kita menjadi anak-anak yang shalih. Sebagaimana dahulu ketika Abdullah bin Abbas yang masih kecil telah menyiapkan bejana berisi air wudhu bagi Rasul yang tengah masuk kamar mandi. Melihat hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam berdoa untuk Ibnu Abbas, “
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Ya Allah, pahamkanlah dia dalam agama.” (HR. al-Bukhari: 140)
Dalam kejadian yang lain, ibunda Anas bin Malik pernah memintakan doa dari Rasulullah untuk putranya tersebut. Dalam doa itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam mengatakan,
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
“Ya Allah, karuniailah dirinya harta dan anak yang banyak, dan berkahilah apa yang telah Engkau berikan kepadanya.” (HR. al-Bukhari: 5859)
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam mencintai anak-anak. Kecintaan pendidik terhadap anak sangat berarti untuk perbaikan pendidikan anak. Karena kecintaan akan membuahkan belas kasihan dan membantu perbaikan serta keberhasilan pendidikan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pun senantiasa mencintai anak dan keluarganya. Rasulullah pernah berkata kepada Mu’adz:
يَا مُعَاذُ وَاللهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ
“Wahai Mu’adz, demi Allah, aku mencintaimu. Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani no: 1524)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pun bersabda:
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna iman salah satu di antara kalian sehingga mencintai bagi saudaranya seperti mencintai untuk dirinya sendiri.” (HR. al-Bukhari: 13)
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam juga mencium anak kecil. Anak ketika masih kecil, terutama usia balita, tentu sangat senang bila sering dicium dan dipeluk. Bahkan ciuman bisa memadamkan tangisan dan kesedihan hati mereka, mendorong anak mudah untuk diperintah dan diarahkan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu jangan dilupakan perkara menaruh kecintaan kepada anak balita dengan cara sering mencium mereka, terutama pada saat mereka sangat sedih atau tidak bisa beraktivitas semisal teman-temannya yang lain. Perhatikan kisah nyata yang dituturkan oleh Aisyah Radhiallahu ‘anha di bawah ini:
جَاءَ أَعْرَابِىٌّ إِلَى النَّبِىِّ فَقَالَ: أَتُقَبِّلُونَ الصِّبْيَانَ فَمَا نُقَبِّلُهُمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ :« أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ »
“Seorang Arab badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam dan berkata, ‘Apakah kalian menciumi anak-anak kalian?! Padahal kami tidak pernah menciumi anak-anak kami.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, ‘Apakah aku memiliki (kuasa terhadap) apa yang telah Allah hilangkan dari hatimu berupa sikap kasih sayang?’” (HR. al-Bukhari: 5539)
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam memberi teladan yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam adalah pemberi contoh terbaik, sebagaimana keterangan ayat di atas. Suri teladan yang baik sungguh amat mempengaruhi perbaikan pendidikan anak, karena insya Allah anak akan meniru orang tua atau pendidiknya apabila anak melihat orang tuanya mengerjakan shalat, membaca al-Qur’an dan ibadah lainnya. Karena itulah maka jadilah orang tua dan pendidik yang baik perkataan dan perbuatannya sehingga dapat menjadi panutan bagi anak didiknya. Bukankah beliau Shallallahu ‘alaihi was salam mengajari shalat terlebih dahulu lalu menyuruh para sahabatnya agar menunaikan shalat juga seperti yang dikerjakan oleh Nabi? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda kepada para sahabat setelah memberikan contoh shalat yang baik di hadapan mereka:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
“Dan shalatlah seperti kamu melihat saya shalat.” (HR. al-Bukhari: 6008)
Sebaliknya, sikap buruk orang tua dan pendidik tentu berakibat jelek pula terhadap kepribadian anak, di samping pendidik juga akan memikul dosanya di hari kiamat kelak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
“Dan barangsiapa memberikan suri teladan yang buruk dalam Islam, lalu teladan tersebut diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikit pun.” (HR. Muslim: 1868)
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam memaafkan kesalahan anak-anak. Pendidik hendaknya tidak jengkel ketika menghadapi anak didik yang bandel, suka menghina pendidiknya, atau susah diluruskan ketika salah, karena mereka masih kecil, belum sempurna akalnya. Hendaknya pendidik tidak menghukum dengan hukuman yang tidak layak. Tindakan yang paling baik ketika anak-anak sedang bertindak dengan hal yang menyakitkan orang tua atau pendidik, hendaknya mereka dinasihati, diarahkan lalu dimaafkan kesalahannya, sebagaimana orang dewasa ketika melanggar senang untuk dimaafkan, demikian pula hati anak-anak kecil yang lebih lunak dan bersih lebih suka dimaafkan. Abdullah bin Mas’ud a\ berkata,
كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي نَبِيًّا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ وَيَقُولُ رَبِّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Sepertinya saya pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam menceritakan tentang kisah seorang Nabi Allah yang dianiaya oleh kaumnya. Kemudian dia menghapus darah dari wajahnya seraya berkata, ‘Ya Allah ya Rabbku, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.’” (HR. al-Bukhari: 3477)
Semoga Allah ta’ala memberkahi kita dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Amin