Semakin Berilmu, Haruskah Semakin Kaku?

Oleh: Abu Zaid Zahir al-Minangkabawi

 

Sebuah Realita

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengikuti daurah (pelatihan) 20 hari yang diadakan oleh salah satu universitas ternama Arab Saudi di Jakarta. Salah satu pematerinya adalah seorang doktor dalam bidang tafsir, hafal al-Qur’an dan Kutubus Sittah. Bahkan beliau punya halaqah khusus di Masjid Nabawi untuk menghafal hadits-hadits Nabi.

Seingat saya namanya adalah Dr. Shalih Atsnayan. Beliau seorang yang ramah dan mudah tersenyum, sehingga tak heran membuat banyak peserta daurah dekat dan senantiasa mengerumuninya. Saya pun di beberapa kesempatan pernah berbincang dengannya. Dan jujur, saya menyukainya, karena keramahan, senyum dan keelokan akhlaknya.

Ada satu hal menarik darinya. Beliau pernah mengungkapkan perasaan serta pandangannya terhadap masyarakat Indonesia, karena memang saat itu adalah kali pertama beliau berkunjung ke negeri ini. Beliau mengatakan dengan bahasa Arab yang fasih, “Saya senang dengan orang Indonesia, sebab mereka ramah dan mudah tersenyum. Ke mana pun saya pergi, saya dapati mereka adalah orang yang lembut dan baik.” Begitulah kira-kira inti dari ucapannya. Saya sebagai pribumi tentu sangat gembira mendengar hal tersebut, sebab itu adalah sebuah pujian kepada bangsa saya.

Lain lagi dengan cerita bapak ini. Ia tinggal di pinggiran kota Bekasi, di sebuah kompleks biasa. Maksud saya, meski mayoritas orang yang tinggal di sana adalah masyarakat dengan strata sosial menengah ke atas, namun masih awam dengan ilmu agama. Padahal ia punya rumah juga di daerah Cileungsi di sebuah kompleks sunnah, tetapi rumah itu dibiarkan kosong dan bahkan ia berniat untuk dijual.

Tentu ini adalah suatu yang mengherankan, terlebih bagi saya. ”Kenapa bapak tidak tinggal di Celeungsi, bukankah di sana kompleks sunnah, Pak?” tanya saya padanya. Dengan ringan ia menjawab, “Saya lebih senang di sini ketimbang di Celeungsi. Sebab, di sini meski masih banyak orang awamnya tetapi mereka ramah dan tidak kaku.”

Kisah yang ketiga ini datang dari Pulau Seribu Pura, salah satu tujuan para pelancong domestik maupun mancanegara. Bahagia sekali rasanya jika bisa berjumpa dengan sesama muslim di tengah aroma dupa yang menusuk hidung, patung-patung segala rupa yang berserakan pada tiap sudut kota dan desa.

Semestinya di tempat seperti itu jalinan ukhuwah dan kasih sayang sesama muslim harus lebih erat lagi, mengingat bahwa muslim adalah etnis minoritas. Tetapi sangat disayangkan, justru ada beberapa oknum yang merusak jalinan tersebut. “Di Singaraja sebenarnya sudah ada juga orang-orang jenggotan, celana cingkrang, dst., tetapi kalau kita mengucapkan salam, malah tak dijawab, Ustadz….” ungkap seorang pengurus salah satu masjid di daerah Lovina kepada kami. La haula wala quwata illa billah….

 

BAA LO KO…? 

Pertanyaan di atas adalah bahasa Minang, untuk menunjukkan keheranan terhadap sesuatu. “Kenapa, kok bisa begini..??” itulah kira-kira maknanya.

Saya rasa Anda akan sepakat dengan saya melontarkan pertanyaan yang semisal. Kenapa tidak? Sebab ini adalah sebuah hal yang mengherankan. Bayangkan saja, bagaimana mungkin seorang muslim semakin jelek muamalahnya kepada sesama justru saat ia telah mengenal agama, padahal ketika masih awam tidak seperti itu? Bila dicermati, ini pun bukan karakter bangsa Indonesia asli yang terkenal ramah dan senang basa-basi.

Kenapa setelah hidayah datang menyapa yang membuat ringan kaki untuk pergi mengaji, kita berubah sehingga tidak seperti dulu lagi? Kita yang dahulu seorang yang ramah sekarang menjelma menjadi manusia besi; kaku, cuek dan tak peduli.

Memang beginilah kenyataannya, sebagian orang semakin jauh dari sesama, bahkan dari orang-orang penting dalam hidupnya, semisal ayah, ibu dan sanak saudara justru setelah mengenal metode beragama yang benar, yaitu mengikuti petunjuk al-Qur’an, Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam  dengan pemahaman salafush shalih. Tentu kita akan bertanya; Kenapa bisa begini? Yang salah siapa? Apakah agamanya? Tentu tidak. Apakah Pak Ustadznya? Rasanya juga tidak. Lantas siapa?….

 

SALAH KAPRAH

Sepertinya hal ini bermula dari salah kaprah terhadap satu permasalahan. Mereka pikir bahwa manhaj salafush shalih dalam beragama itu hanya berkisar pada pembenahan akidah. Asal tauhidnya mantap dan tidak terjatuh pada kesyirikan, sudah cukup. Padahal Islam adalah agama paripurna, mencakup dan mengatur segalanya, termasuk akhlak dan tata krama bermuamalah antar sesama.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam  pernah bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحَاسِنُهُمْ أَخْلاقًا ، الْمُوَطَّئُونَ أَكْنَافًا ، الَّذِينَ يَأْلَفُونَ وَيُؤْلَفُونَ ، وَلاَ خَيْرَ فِيمَنْ لا يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ

Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, yang mau merendahkan pundaknya, yaitu orang-orang yang mau bersikap akrab dan mau diajak bersikap akrab. Dan tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak mau bersikap akrab dan tidak mau diajak bersikap akrab.[1]

 

Bahkan Imam Ahmad dan yang lainnya menyebutkan sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa akhlak menempati posisi penting dalam kehidupan. Sebab, akhlak juga sebagai salah satu penentu selamat atau celakanya seseorang nanti di hari kiamat mengalahkan ibadah yang mungkin siang malam ia kerjakan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: ” هِيَ فِي النَّارِ ”

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya si Fulanah banyak shalatnya, banyak pula sedekah dan puasanya, namun ia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam  bersabda, ‘Dia di neraka!’”[2]

 

DARI ULAT JADI KUPU-KUPU

Saudaraku, untuk apa kita belajar agama kalau bukan untuk menjadi lebih baik? Andai ketika kita mengenal agama justru mengubah kita menjadi ulat yang membuat gatal setiap tangan yang memegang dan menjijikkan setiap mata yang memandang, maka segeralah tilik diri, sebab di sana ada hal yang keliru dan butuh untuk segera diperbaiki.

Kita mempelajari agama ini untuk menambah rasa takut kita kepada Allah, agar kita bisa menundukkan diri, bersimpuh memperlihatkan kehinaan kita di hadapan-Nya serta dapat menjadikan kita orang yang bisa menghargai dan menunaikan hak-hak sesama makhluk-Nya.

Besar harapan kita dengan belajar itu mengubah keadaan kita dari ulat menjadi kupu-kupu. Kita yang dahulu dibenci karena keburukan akhlak; ini tangan yang dahulu sering melukai dan ini lidah yang acapkali menyakiti, hendaknya dapat kita kikis dan ganti dengan kecintaan. Layaknya kupu-kupu yang menebar banyak kebaikan, membuat bahagia tiap mata yang memandang. Singkat kata, kita belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik. Wallahul muawaffiq.

[1] HR. ath-Thabrani, Mu’jamus Shagir: 605, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 2/389.

[2] HR. Ahmad no. 9675 dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 2560.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.