سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Hanya Engkau Sandaran Hatiku
Oleh: Ust. Abdulloh Taslim al-Buthoni, M.A.
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala ADALAH AL-GANIYYU DAN ASH-SHAMAD
Dua nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah ini jika direnungkan dengan benar dan saksama akan melahirkan keyakinan kuat pada diri manusia tentang kelemahan, kebutuhan dan ketergantungan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala urusannya.
Al-Ganiyyu (Yang Mahakaya) adalah Zat Yang Mahacukup dan tidak butuh sama sekali kepada siapa pun dalam segala sesuatu, sedangkan semua makhluk selalu butuh dan bergantung kepada-Nya dalam segala urusan mereka.
Imam Ibnul Atsir Rahimahullah berkata, “(Maknanya:) Dialah yang tidak butuh kepada siapa pun dalam (segala) sesuatu, sedangkan semua makhluk butuh (bergantung) kepada-Nya. Inilah kemahakayaan yang (bersifat) mutlak dan tidak ada satu makhluk pun yang menyertai Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal ini.”[1]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di Rahimahullah berkata, “Dialah (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Mahakaya pada Zat-Nya, yang memiliki kemahakayaan yang sempurna dan mutlak dari semua sudut pandang dan pertimbangan, karena kemahasempurnaan-Nya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya.”[2]
Bahkan sifat maha kaya dan maha sempurna Allah Subhanahu wa Ta’ala ini ialah sifat yang terus-menerus ada pada Zat-Nya dan tidak mungkin lepas dari-Nya, sebagaimana sifat kekurangan, kebutuhan dan ketergantungan manusia kepada-Nya adalah sifat yang tetap dan terus-menerus pada diri manusia.
Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim, ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Hai manusia, kamulah yang butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Mahaterpuji. (QS. Fathir: 15)
Beliau berkata, “Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa kebutuhan manusia kepada-Nya adalah perkara yang (selalu ada pada) diri mereka dan tidak mungkin lepas darinya, sebagaimana kemahakayaan dan kemahaterpujian-Nya adalah (perkara yang terus-menerus ada pada) Zat-Nya. Maka kemahakayaan dan kemahaterpujian-Nya (selalu) ada pada Zat-Nya dan bukan karena (adanya) perkara (lain) yang menimbulkannya, sebagaimana kebutuhan (semua makhluk) selain-Nya kepada-Nya (selalu) ada pada diri mereka dan bukan karena (adanya) perkara (lain) yang menimbulkannya.”[3]
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala Mahakaya pada Zat-Nya, Dia-lah yang memiliki kemahakayaan yang sempurna dan mutlak (tak terbatas) dari semua segi dan tinjauan, karena kesempurnaan-Nya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang tidak memiliki kekurangan sedikit pun. Maka Allah, Dia-lah Yang Mahakaya secara pasti, karena kemahakayaan adalah kelaziman yang selalu ada pada Zat-Nya, sebagaimana sifat maha menciptakan, memberi rezki, menyayangi dan maha perkasa adalah kelaziman yang selalu ada pada Zat-Nya. Dialah Yang Mahakaya lagi tidak butuh kepada makhluk-Nya sedikit pun, sementara mereka semua sangat membutuhkan dan tidak mungkin lepas dari ketergantungan kepada-Nya, karena semua makhluk butuh kepada rahmat, kebaikan, pengaturan, kecukupan dan petunjuk-Nya.[4]
Sedangkan ash-Shamad adalah Penguasa Yang Mahasempurna sifat-Nya sehingga semua makhluk bergantung kepada-Nya.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Ash-Shamad adalah penguasa yang sempurna kekuasaannya, oleh karena itu dulunya orang Arab menamakan pemimpin mereka dengan nama ini, karena banyaknya sifat terpuji (yang terkumpul) pada diri orang tersebut… Maka sesungguhnya ash-Shamad adalah zat yang dituju (dijadikan sandaran) oleh hati manusia dalam ketakutan dan pengharapan (mereka), karena banyaknya sifat baik dan terpuji (yang terhimpun) padanya. Oleh karena itu, mayoritas ulama salaf, di antaranya Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata, ‘Ash-Shamad adalah penguasa yang maha sempurna kekuasaan-Nya…’”[5]
Senada dengan itu, Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi berkata, “Allah q\, Dialah penguasa tunggal tempat menyandarkan segala kesulitan dan kebutuhan. Dialah Yang Mahasuci dan tinggi dari (menyerupai) sifat-sifat makhluk, seperti makan, minum dan sebagainya…”[6]
Memahami dan merenungkan kedua nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah ini akan melahirkan sifat al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) yang benar kepada Allah dan akan menjadikan seorang hamba semakin tunduk, merendahkan diri, mengakui kelemahan dan ketergantungan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal ini adalah sangat wajar, karena barangsiapa yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat keagungan, kesempurnaan dan kemahakuasaan, maka otomatis dia akan semakin mengenal kekurangan, kelemahan dan kebutuhan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang mengenal Allah dengan sifat kemahakayaan-Nya yang sempurna dan mutlak (tidak terbatas) maka dia akan mengenal dirinya dengan sifat al-faqr (selalu butuh dan bergantung kepada-Nya) dalam segala hal. Barangsiapa yang mengenal Allah dengan sifat kemahakuasaan-Nya yang sempurna maka dia akan mengenal dirinya dengan sifat kelemahan yang sempurna. Barangsiapa yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat kemuliaan-Nya yang sempurna maka dia akan mengenal dirinya dengan sifat kerendahan yang sempurna (di hadapan-Nya). Barangsiapa yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat ilmu dan hikmah-Nya yang sempurna maka dia akan mengenal dirinya dengan sifat kejahilan (kebodohan).
Dengan mengenal semua ini akan membuahkan pada diri seorang hamba keyakinan bahwa dirinya selalu bergantung dan sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua perkara dan keadaan. Sifat mulia inilah yang merupakan sebab utama kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba di dunia dan di akhiat.[7]
KEBUTUHAN HAMBA KEPADA ALLAH Subhanahu wa Ta’ala DALAM URUSAN DUNIA DAN AGAMA
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Hai manusia, kamulah yang butuh (bergantung) kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Mahaterpuji. (QS. Fathir: 15)
Kebutuhan ketergantungan diri manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ini bukan hanya dalam urusan-urusan dunia saja, seperti meminta rezeki, udara untuk bernapas, penjagaan kesehatan dan kesemubuhan penyakit, tetapi juga yang lebih penting dari semua itu, urusan kebaikan agama dan keteguhan iman seorang hamba.
Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai para hamba-Ku! Kalian semua tersesat (dari jalan yang lurus) kecuali orang yang Aku berikan petunjuk padanya, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku berikan petunjuk kepadamu. Wahai para hamba-Ku! Kalian semua kelaparan (tidak memiliki makanan) kecuali orang yang Aku beri makanan kepadanya, maka mohonlah makan (rezeki) kepada-Ku niscaya Aku berikan makanan kepadamu. Wahai para hamba-Ku! Kalian semua telanjang (tidak memiliki pakaian) kecuali orang yang Aku berikan pakaian kepadanya, maka mohonlah pakaian kepada-Ku niscaya Aku berikan pakaian kepadamu. Wahai para hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu berbuat salah (dosa) di malam dan siang hari, sedangkan Aku mahamengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka mohonlah ampun kepada-Ku niscaya Aku berikan pengampunan kepadamu.”[8]
Imam Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Hadits ini menunjukkan makna bahwa semua makhluk sangat butuh dan bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memenuhi semua kemaslahatan (hidup) mereka dan menghindari segala keburukan (yang bisa menimpa) mereka, baik dalam urusan dunia maupun agama mereka. Dan semua makhluk sama sekali tidak memiliki sedikit pun (kemampuan untuk memenuhi) semua itu. Barangsiapa yang tidak mendapatkan anugerah hidayah dan rezeki dari Allah, maka Dia akan menghalangi hamba itu dari keduanya di dunia, dan barangsiapa yang tidak mendapatkan pengampunan dari Allah atas dosa-dosanya, maka itulah yang akan membinasakannya di akhirat kelak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS. al-Kahfi: 17)
Dan ayat yang semakna dengan ini sangat banyak di dalam al-Qur’an.”[9]
Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita dalam setiap rakaat shalat untuk selalu memohon kepada-Nya hidayah ke jalan yang lurus di dalam surah al-Fatihah yang merupakan surah yang paling agung dalam al-Qur’an,[10] karena sangat besar dan mendesaknya kebutuhan manusia terhadap hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman:
Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus. (QS. al-Fatihah: 6)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Seorang hamba senantiasa kebutuhannya sangat mendesak terhadap kandungan doa (dalam ayat) ini, karena sesungguhnya tidak ada keselamatan dari siksa (neraka) dan pencapaian kebahagiaan (yang abadi di surga) kecuali dengan hidayah (dari Allah) ini. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan hidayah ini berarti dia termasuk orang-orang yang dimurkai oleh Allah (seperti orang-orang Yahudi) atau orang-orang yang tersesat (seperti orang-orang Nasrani).”[11]
Imam Ibnu Rajab al-Hanbali ketika menjelaskan makna hadits qudsi di atas, beliau berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah mencintai hamba-hamba yang (selalu) memohon kepada-Nya semua kemaslahatan (kebaikan) agama dan dunia mereka, (baik itu) berupa makanan, minuman, pakaian dan lain-lain, sebagaimana mereka memohon kepada-Nya hidayah dan pengampunan (dosa).”[12]
[1] An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar 3/739.
[2] Tafsir Asma’illah al-Husna, hal. 66.
[3] Thariqul Hijratain, hal. 22.
[4] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 183.
[5] Ash-Shawa-‘iq al-Mursalah 3/1024-1025.
[6] Adhwa’ul Bayan 2/187.
[7] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 185.
[8] HSR. Muslim: 2577.
[9] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, hal. 224.
[10] Sebagaimana dalam HR. Ahmad (2/357) dari Abu Hurairah a\ dengan sanad yang shahih.
[11] Majmu’ Fatawa 14/37.
[12] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, hal. 225.