سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Bagaimana Kaum Muslimah Bersilaturahmi?
Bagaimana Kaum Muslimah Bersilaturahmi?
Oleh: Abi Usamah.
Sebagaimana diketahui, bahwa menyambung tali kekerabatan atau silaturahmi merupakan hal yang disyariatkan oleh agama Islam. Bahkan Allah ﷻ menjadikannya salah satu kewajiban yang paling fardhu. Terkadang Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺmenyebutkan wajibnya silaturahmi ini dengan perintah yang tegas, sebagaimana tertera dalam hadits berikut:
Rasulullah ﷺbersabda,
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْ خَلْقِهِ قَالَتِ الرَّحِمُ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ قَالَ فَهْوَ لَكِ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : فَاقْرَؤُوا إِنْ شِئْتُمْ (فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِى الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا)
“Sesungguhnya ketika Allah ﷻ telah selesai menciptakan makhluk, rahim berkata, ‘Ini adalah posisi orang yang berlindung kepada-Mu dari yang diputuskan.’ Allah menjawab, ‘Ya. Apakah engkau tidak rela bila Aku menyambung siapa saja yang menyambungmu dan memutus siapa saja yang memutusmu?’ Rahim menjawab, ‘Tentu saja, wahai Rabbi.’ Allah berkata, ‘Itu adalah hakmu.’” Rasulullah ﷺmeneruskan, “Jika kalian mau, bacalah (QS. Muhammad: 22-23): ‘Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.’” (HR. al-Bukhari: 5987, Muslim: 2554)
Di samping perintah yang tegas, terkadang datang pula dengan nada anjuran, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa saja yang suka untuk dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah kerabatnya.” (HR. al-Bukhari: 5986)
Dan dalil-dalil lain yang masih banyak.
Para ulama menyebutkan, bahwa kewajiban menyambung silaturahmi ini bukan hanya berlaku bagi kaum lelaki saja. Akan tetapi juga berlaku bagi kaum muslimah, bahkan ketika mereka telah memiliki suami, kewajiban menyambung tali silaturahmi ini tetap belum berhenti.
Lajnah Da’imah (Komite Fatwa KSA) di bawah pimpinan Syaikh Abdul Aziz bin Baz v\ pernah ditanya, “Apakah silaturahmi wajib bagi lelaki dan wanita?”
Komite menjawab, “Lelaki dan wanita sama saja hukumnya dalam masalah silaturahmi. Setiap orang menurut porsi (kapasitas)nya. Dan hanya Allah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam Allah tetap terlimpah atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.” (Fatwa no. 7044)
Jika suami melarang istri dari bersilaturahmi?
Dalam kasus suami melarang istri dari bersilaturahmi terhadap kerabatnya, terlebih lagi adalah orang tuanya, atau kasus seorang ayah melarang anak perempuannya dari menyambung tali kekerabatan maka Syaikh Shalih al-Munajjid menjelaskan,
“Silaturahmi wajib, sampaipun atas kaum wanita, menurut apa yang mereka sanggupi. Dari situ maka tidaklah dibolehkan bagi seorang lelaki untuk melarang istri dan anaknya dari menyambung tali kerabat mereka.
Jika seorang suami atau ayah melarang mereka berziarah dan hanya membolehkan mengirim salam melalui tulisan atau secara lisan dan hadiah, maka cara itulah yang hendaknya dilakukan istri atau putrinya. Jika hanya mengirim salam tanpa hadiah itu dibolehkan, namun bila disertai hadiah itu yang lebih baik.
Jika istri atau anak wanita hanya dibolehkan untuk mengirimkan salam tanpa hadiah, maka hendaknya itu yang dilakukan. Jika yang dibolehkan hanya mengirim hadiah tanpa disertai salam, hendaknya itu yang dikerjakan. Atau jika dilarang ziarah kecuali dengan berjalan kaki, maka hendaknya ia berjalan kaki (untuk silaturahmi).
Namun bila seorang suami atau ayah melarang istri atau anaknya dari semua bentuk menyambung silaturahmi, maka tidak ada ketaatan lagi untuk makhluk dalam rangka memaksiati al-Khaliq. Hendaknya istri atau putrinya tadi tetap menyambung kekerabatan dengan hal yang paling sedikit menimbulkan kebencian dari suami atau ayah mereka, entah dengan mengirim hadiah atau mengirim salam.
Hendaknya pula istri atau putrinya itu menyembunyikan hal tersebut jika ia merasa khawatir.
Jika kerabat mereka mendapatkan musibah, hendaknya istri atau putrinya tadi tetap menyambung kekerabatan dengan mereka meski dilarang. Demikian pula menyambung kekerabatan dengan cara bertakziah ketika terjadi musibah kematian, kehilangan atau perampokan. Sedangkan takziah sendiri maknanya adalah memberi motivasi supaya bersabar.
Dapat pula menyambung kekerabatan dengan bertahni’ah atau ikut merasa senang dengan kebahagiaan yang mereka rasakan. Sedangkan tahni’ah sendiri ialah dengan cara mengucapkan doa kebaikan supaya kebahagiaan yang dirasakan itu menjadi nikmat, mudah dan tak ada halangan apa pun. (Memberi tahni’ah) itu bisa saat datangnya (keluarga) dari bepergian jauh dan adanya pesta pernikahan.
Hanya saja para muslimah tetap tidak diperbolehkan untuk berhias diri dan menampakkan perhiasannya kepada siapa saja yang tidak boleh diperlihatkan dirinya kepada mereka, semisal para sepupu dari jalur ibu maupun ayah. Dirinya hanya boleh menyampaikan tahni’ah atau takziah di balik hijab dengan tanpa melemah-lembutkan suaranya, serta diprediksi aman dari fitnah. Atau (jika takut fitnah) bisa melalui perantara untuk menyampaikannya. Para muslimah itu juga tidak diharuskan untuk ikut serta dalam mengiring jenazah.
Dan tidak dibolehkan bagi seorang suami untuk melarang istrinya dari menyambung kerabatnya, walaupun istri (melakukannya dengan) keluar rumah. Akan tetapi, tetap si istri tidak keluar tanpa izin dari suami. Demikian pula dengan seorang ayah.
Seorang muslimah hanya bisa bermuamalah dengan lemah lembut kepada suaminya jika ia dilarang bersilaturahmi. Supaya ia juga bisa sampai kepada maksud disyariatkannya silaturahmi. Semoga Allah memperbaiki keadaan seluruh kaum muslimin.”[1]
Wallahu a’lam.