سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Beginilah Etika Islam Kepada Pemerintah
Beginilah Etika Islam Kepada Pemerintah
Hubungan Rakyat dan Penguasa Dalam Kacamata Islam
Disusun oleh Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Lukman
Panasnya suhu politik di negeri kita, Indonesia Raya, memunculkan berbagai sikap yang beragam dari setiap individu anak bangsa. Bagaimana sebenarnya sikap seorang muslim terhadap pemimpinnya? Bagaimana hendaknya sikap rakyat kepada penguasanya? Ikutilah ulasan berikut ini, sebagai cermin bagi diri kita masing-masing apakah sikap kita sudah tepat sesuai dengan kacamata Islam atau justru sebaliknya? Allahulmuwaffiq.
Jauhi Hawa Nafsu Dalam Menyikapi Pemimpin
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Selayaknya bersikap kepada pemimpin itu dijadikan sebagai perkara agama yang mendekatkan diri kepada Allah, bersikap taqwa dengan menjalankan kewajiban terhadap pemimpin sesuai dengan bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah bukan sesuai dengan hawa nafsunya.”
Nabi n\ bersabda,
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ صَدْرُ مُسْلِمٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلّٰهِ، وَمُنَاصَحَةُ أُولِي الْأَمْرِ، وَلُزُومُ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ.
“Ada tiga perangai yang tidak membuat dengki hati seorang muslim atasnya: ikhlas beramal karena Allah, menasihati para pemimpin, melazimi (tetap bersama) jama‘ah kaum muslimin, karena doa mereka meliputi dari belakang mereka.”[1]
Hakikat Kepemimpinan
Kepemimpinan itu ada dua macam:
Pertama: Kepemimpinan dalam agama. Misalnya adalah kepemimpinan dalam shalat. Imam shalat, kepemimpinannya adalah dalam agama; dan ada aturan yang harus ditaati oleh makmum, seperti wajib mengikuti imam, tidak boleh mendahului, dan sebagainya.
Kedua: Kepemimpinan dalam hal pengaturan/pemerintahan, maka hal ini mencakup pemimpin yang paling tinggi dan seluruh bawahannya. Pemimpin yang paling tinggi adalah orang yang ucapannya paling atas dalam sebuah negara, seperti raja, presiden, dan sebagainya, mencakup pula para menteri.[2]
Wajibnya Mengangkat Pemimpin
Para ulama berdalil akan wajibnya mengangkat seorang pemimpin dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
Allah w\ berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” (QS al-Baqarah: 30)
Rasulullah n\ bersabda,
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa mati dan tidak baiat, maka dia mati dalam keadaan seperti matinya jahiliyah.”[3]
Al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan (dalam penjelasan hadits di atas), “Keadaan mati seperti matinya orang jahiliyah yang mati dalam keadaan tersesat dan tidak punya seorang pemimpin yang ditaati, karena mereka tidak mengenal yang demikian itu.”[4]
Makna hadits di atas adalah umat Islam wajib untuk mengangkat seorang pemimpin yang bisa menjaga kebaikan dan menjaga hak-hak mereka.[5]
Hikmah yang terkandung dari perintah tersebut sangatlah jelas, karena berkumpulnya sebuah masyarakat/komunitas manusia tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin. Dalam sebuah rumah harus ada seorang pemimpin. Dalam sebuah kantor perusahaan harus ada seorang pemimpin. Dalam dewan kementerian harus ada seorang pemimpin. Dalam sebuah negara harus ada seorang pemimpin.
Sahabat yang mulia ‘Ali bin Abi Thalib a\ berkata, “Harus bagi manusia untuk mengangkat seorang pemimpin, sama saja dia pemimpin yang baik atau buruk.”[6]
Al-Imam al-Mawardi berkata, “Kepemimpinan diadakan untuk meneruskan khilafah kenabian dalam menjaga agama dan urusan dunia. Mengangkat dan memilih orang yang bisa memimpin umat adalah wajib berdasarkan ijma‘.”[7]
Sebab, seorang pemimpin akan menyatukan beragam manusia, berbuat adil terhadap orang yang dizhalimi, menjaga negeri dari serangan musuh, menjamin keamanan kekayaan negara dari tangan orang-orang penjegal dan perampok, dan sebagainya. Apabila hal ini tidak terwujud, maka janganlah Anda berharap keamanan negeri akan tercipta, tunggulah kehancuran negeri itu! Cukuplah menjadi pelajaran apa yang terjadi baru-baru ini di sebuah negara Teluk, ketika ada seorang pemimpin negara yang menghilang selama satu pekan. Rakyat berubah menjadi beringas, saling merampok, menjarah, dan merusak kehormatan. Padahal pemimpinnya bukan orang yang dibenci!
Maka alangkah bagusnya apa yang diucapkan sebagian salaf, “Enam puluh tahun bersama pemimpin yang zhalim adalah lebih baik daripada semalam tanpa ada seorang pemimpin.”[8]
Kekuasaan Milik Allah dan dari Allah
Ini merupakan kaidah yang sangat penting, karena kebanyakan orang yang ingin memperbaiki umat, mereka lupa akan hal ini. Mereka tempuh berbagai macam cara untuk meraih kekuasaan tanpa melirik apakah cara yang mereka tempuh sudah benar sesuai syar‘i ataukah malah menyimpang dari petunjuk Nabi n\. Mereka mengira bahwa dengan merebut kekuasaan, semua perkara akan menjadi beres. Mereka menyangka, apabila kita sudah berkuasa maka akan lebih mudah memperbaiki problem-problem rakyat, Islam akan jaya, musuh-musuh akan lari, dan seabrek tujuan mulia lainnya.
Tidak ragu lagi, itu adalah cita-cita dan harapan yang mulia. Akan tetapi, apakah jalan menuju kekuasaan itu harus dengan menempuh cara-cara yang tidak dibenarkan dalam agama? Apakah kita akan mengorbankan ajaran yang lurus ini demi meraih kekuasaan? Ketahuilah, wahai saudaraku, tidak ada jalan kecuali jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah w\ dan Rasul-Nya n\. Allah w\ berfirman,
قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’” (QS Yūsuf: 108)
Maka merupakan kewajiban seorang muslim untuk mengikuti jalan yang telah digariskan oleh Allah w\ dan Rasul n\. Karena, kita semua yakin bahwa kekuasaan dan kebahagiaan hanyalah datangnya dari Allah w\ dan milik Allah w\ semata. Perhatikan firman Allah w\ berikut ini:
ﭽﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘﮙ ﮚ ﮛﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢﭼ
“Katakanlah, ‘Wahai Rabb yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS Āli ‘Imrān: 26)
Allah w\ berfirman pula, yang artinya
“Sesungguhnya Kami telah memberikan al-Kitab dan al-Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (QS an-Nisā’: 54)
Apabila kita sudah menyadari bahwa kekuasaan itu datangnya dari Allah w\, maka seorang muslim yang akan memperbaiki umat ini sejatinya harus kembali ke jalan Allah w\, meniti dan meniru perjalanan para nabi—‘alaihishshalatu wassalam—bagaimana mereka meraih kekuasaan, bukan dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam agama seperti mendirikan negara di dalam negara atau membuat partai yang hanya memecah belah umat atau masuk parlemen yang kita tidak punya daya untuk mengubahnya!! Sadarilah, wahai saudaraku, kekuasaan dan kepemimpinan hanyalah milik Allah w\ dan dari-Nya saja, sebab itu jika kita ingin meraihnya maka ikutilah jalan yang telah ditunjuki oleh Allah w\ dan Rasul n\. Mu‘adz bin Jabal a\ berkata, “Sesungguhnya pemimpin itu termasuk urusan Allah, barang siapa mencela pemimpin, maka dia telah mencela urusan Allah!!”[9]
Jika memang bahwa kekuasaan milik Allah w\ dan dari Allah w\, Dia yang akan memberi dan mencabut, dan Allah w\ juga mengabari kita bahwa Allah akan memilih pemimpin yang baik jika rakyatnya baik dan dan pemimpin yang jelek untuk rakyat yang jelek. Maka usaha sebagian para juru dakwah untuk melengserkan pemimpin yang sah dengan tetap adanya kerusakan dalam masyarakat, adalah usaha sia-sia dan jihad bukan pada tempatnya!! Andaikan urusan manusia pada umumnya sudah baik, tentu tidak akan tercetus ide semacam ini, karena Allah w\ Mahaadil, Dialah yang berhak mengangkat pemimpin dan tidak akan membiarkan para pemimpin yang baik terkalahkan oleh orang-orang yang bodoh!! Muhammad bin al-Hanafiyah mengatakan, “Takutlah kalian dari fitnah ini, karena sesungguhnya tidak seseorang menganggap bahwa fitnah itu bagus kecuali akan tetap tersisa. Ketahuilah, para pemimpin itu telah ditetapkan waktu dan masanya, andaikan manusia sepakat untuk melengserkannya, niscaya mereka tidak akan mampu hingga Allah yang akan memberi izin. Apakah kalian mampu untuk menghancurkan gunung ini?”[10]
Baiknya Pemimpin Adalah Nikmat yang Besar
Jangan meremehkan kebaikan pemimpin! Karena, kebaikan pemimpin adalah harapan untuk menggapai kebaikan umat masyarakat.
Qais bin Abi Hazim berkata, “Abu Bakr (a\) menemui seorang wanita dari daerah Ahmas yang bernama Zainab; wanita tersebut diam tidak berbicara. Abu Bakr bertanya, ‘Mengapa wanita itu tidak berbicara?’ Para sahabat menjawab, ‘Dia bernadzar untuk diam tidak berbicara.’ Abu Bakr berkata kepada wanita itu, ‘Berbicaralah! Hal itu tidak boleh, termasuk kebiasaan orang jahiliyah.’ Wanita tersebut akhirnya berbicara dan bertanya kepada Abu Bakr, ‘Siapakah engkau?’ Abu Bakr menjawab, ‘Seseorang dari kaum Muhajirin.’ Wanita itu kembali bertanya, ‘Dari kaum Muhajirin yang mana?’ Abu Bakr menjawab, ‘Dari Quraisy.’ Wanita itu bertanya lagi, ‘Quraisy yang mana engkau berasal?’ Abu Bakr menjawab, ‘Sungguh engkau banyak tanya! Aku adalah Abu Bakr.’ Wanita itu berkata, ‘Apa yang tersisa pada kita dari kebaikan yang telah Allah berikan setelah masa jahiliyah?’ Abu Bakr menjawab, ‘Kebaikan yang tersisa pada kalian adalah selama pemimpin kalian tetap istiqamah.’ Wanita itu kembali bertanya, ‘Siapa yang dimaksud para pemimpin itu?’ Abu Bakr menjawab (dengan balik bertanya), ‘Bukankah pada kaummu ada para pemimpin dan pembesar yang memerintah kalian dan kalian menaatinya?’ Wanita itu menjawab, ‘Benar!’ Abu Bakr berkata, ‘Mereka itulah para pemimpin manusia.’”[11]
Kisah di atas memberikan kepada kita dua pelajaran:
Pertama: Para pemimpin adalah orang-orang yang dikenal dan diketahui oleh mayoritas manusia. Mereka diketahui sebagai orang yang punya kekuasaan dalam memerintah dan melarang dalam sebuah negara. Bukanlah pemimpin itu yang dipilih oleh sebagian manusia untuk kelompok sempalannya sendiri(!), atau khayalan belaka bahwa dia adalah seorang presiden, menteri, gubernur, camat tanpa ada bukti wilayah dan kekuasaan! Bahkan hidupnya tersembunyi tidak berani keluar, hidup dalam gua-gua karena takut, tidak punya ucapan kecuali beraninya dari situs-situs internet di balik layar saja!!
Kedua: Abu Bakr a\ menjelaskan bahwa kebaikan yang tersisa pada diri mereka tergantung pada para pemimpin yang tetap istiqamah.
Nah, dari sinilah dapat kita pahami bahwa pemimpin yang baik adalah sebuah nikmat yang besar. Pemimpin yang baik adalah cikal bakal baiknya sebuah rakyat dan umat. Oleh karena itu, Rasulullah n\ menjanjikan naungan Allah w\ di hari Kiamat bagi para pemimpin yang adil. Beliau bersabda, “Tujuh golongan yang akan Allah naungi dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali dari-Nya: imam yang adil, …”[12]
[1] HR Ahmad 5/183
[2] Syarḥ al-‘Aqīdah as-Safārīnīyah, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 663.
[3] HR Muslim: 1851
[4] Fatḥul-Bārī 13/7
[5] Fatāwá al-Lajnah ad-Dā’imah no. 8225
[6] HR Ibnu Abi Syaibah 7/557
[7] Aḥkām Sulthānīyah, al-Mawardi, hlm. 5–6.
[8] As-Siyāsah asy-Syar‘īyah, Ibnu Taimiyah, hlm. 176.
[9] Dikeluarkan oleh Ibnu Zanjawaih dalam al-Amwāl no. 33, Abu ‘Amr ad-Dani dalam as-Sunan al-Wāridah fil-Fitan no. 144.
[10] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 7/272
[11] HR al-Bukhari: 3834
[12] HR al-Bukhari: 660, Muslim: 1031