Madrasah Agung Bulan Ramadhan

Madrasah Agung Bulan Ramadhan

Oleh: Ust. Abu Yusuf Ahmad Sabiq Lc.

Teks Hadits

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ »

 Dari Abu Hurairah a\ berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tetap mengamalkannya maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari Muslim)

Ramadhan adalah bulan yang agung. Berbagai keutamaan dan kemuliaan terkumpul padanya. Pada bulan tersebut dibuka pintu surga, ditutup pintu neraka, dibelenggu setan, dilipatgandakan pahala, disyariatkan berbagai macam ibadah, diturunkannya al-Qur’an, ada malam Lailatul Qadar, bulan pelebur dosa juga bulan penuh dengan ampunan.

Sekarang ia telah berlalu. Akankah dengan berlalunya Ramadhan akan berlalu pula semuanya? Akan berlalu kesungguhan dalam ketaatan?

Saudaraku, Ramadhan adalah madrasah agung. Alumninya akan menjadi insan mulia dengan ketakwaan. Allah sendiri telah menjelaskan tujuan pendidikan pada bulan Ramadhan ini dalam al-Qur’an. (QS. al-Baqarah: 183)

Saudaraku, dalam hadits di atas, Rasulullah menegaskan bahwa meninggalkan makan, minum serta larangan puasa lainnya bukanlah tujuan inti dari ibadah agung puasa. Tapi di balik itu semua adalah peningkatan ketakwaan yang dibuktikan dengan meninggalkan ucapan dan amal kedustaan.

Karenanya, mari kita renungkan hikmah dan pelajaran dari bulan Ramadhan dengan segala ibadahnya.

  1. Urgensi ilmu syar’i

Di bulan Ramadhan terkumpul banyak ibadah, yang sebagiannya tidak terdapat pada bulan lainnya. Seperti puasa, shalat tarawih, zakat fithri, zakat mal, tadarus al-Qur’an, sedekah dan lainnya.

Semua ibadah ibadah ini menuntut seorang muslim untuk semakin gigih dalam menuntut ilmu syar’i agar ibadahnya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Karena bukankah salah satu syarat utama diterimanya amal adalah sesuai dan cocok dengan ajaran beliau.

Ilmu agama mempunyai keutamaan yang tiada terhingga, di antaranya: Abu Darda’ a\ mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu (agama) niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayapnya kepada seorang penuntut ilmu karena ridha terhadap apa yang dia kerjakan. Sesungguhnya seorang alim akan dimintakan ampunan oleh siapapun yang berada di langit dan di bumi sampai ikan di dasar lautan. Keutamaan orang alim dibandingkan dengan ahli ibadah seperti keutamaan bulan dibandingkan dengan bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, sedangkan para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang sangat banyak.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lainnya)

Jangan sampai kita menjadi golongan yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

يَعْلَمُونَ ظَٰهِرًا مِّنَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الاخِرَةِ هُمْ غَٰفِلُونَ

 Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (QS. ar-Rūm: 7)

Merekalah yang disindir oleh al-Hasan al-Bashri saat berkata: “Mereka tahu kapan waktu tanam dan kapan waktu panen. Sehingga pengetahuan salah satu dari mereka sampai bisa mengetuk dirham dengan kukunya dan dia menyampaikan kepadamu perihal beratnya, namun dia tidak becus shalat!” (Zadul Masir oleh Imam Ibnul Jauzi saat menafsirkan ayat di atas)

  1. Kewajiban ikhlas dalam beramal

Ikhlas adalah pokok segala amal dan merupakan syarat utama diterimanya amal oleh Allah. (QS. al-Bayyinah: 5) Allah tidak akan menerima amal tanpa ikhlas. Itu jelas tergambar dalam ibadah-ibadah Ramadhan. Sabda Rasulullah:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena iman dan ikhlas mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari Muslim)

Dalam hadits lainnya:

“Barangsiapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan ikhlas mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari Muslim)

Dalam riwayat lainnya:

“Barangsiapa yang shalat malam Lailatul Qadar karena iman dan ikhlas mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari Muslim)

Bahkan ini sangat nampak dalam firman Allah dalam hadits Qudsi:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

Semua amal anak Adam itu adalah untuknya, kecuali puasa; dia itu milikku. Akulah yang akan membalasnya.” (HR. al-Bukhari Muslim)

Sebagian ulama menjelaskan makna hadits ini bahwa semua amal kebaikan itu adalah sesuatu yang nampak, sehingga sangat berpotensi riya’, kecuali puasa. Dia adalah amal perbuatan yang tidak nampak, karena hanya meninggalkan makan, minum serta lainnya. Maka tidak bisa seseorang itu riya’ dengan amal puasanya. Wallahu a’lam.

  1. Mengikuti Rasulullah dalam ibadah sebuah kepastian

Sebagaimana semua ibadah lainnya, maka ibadah yang disyariatkan pada bulan Ramadhan juga menuntut agar dilaksanakan sesuai dengan tuntutan Rasulullah. Karena itu adalah salah satu syarat utama diterimanya sebuah amal. Jika tidak, niscaya ibadah tersebut akan tertolak. Aisyah meriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengamalkan suatu perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim: 1718)

       Saat menerangkan hadits ini, an-Nawawi berkata: “Hadits ini adalah salah satu kaidah Islam yang agung, dia termasuk jawami’ kalim (sedikit kata banyak makna)nya Rasulullah, dan dia secara tegas menolak seluruh bid’ah dan semua perkara baru (dalam agama).” (Syarh Shahih Muslim)

  1. Meningkatkan takwa dan muraqabatullah (selalu merasa diawasi oleh Allah)

Takwa adalah salah satu tujuan pokok puasa. Ibadah puasa seharusnya juga meningkatkan rasa seorang hamba bahwa dia senantiasa diawasi oleh Allah, kapan dan di manapun dia berada. Orang yang puasa seandainya dia makan dan minum di tempat yang sepi tidak akan seorang pun yang tahu, namun dia sangat sadar bahwa Allah Mahamengetahui segala sesuatu. Persis seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits di atas.

Maka sebagaimana kita bertakwa dengan ibadah Ramadhan, begitu pula seharusnya dalam semua ibadah lainnya di luar Ramadhan.

Karenanya, alangkah aneh orang yang puasa namun tidak bisa meningkatkan iman dan takwanya. Puasa namun tidak shalat, jamaah shalat tarawih namun tidak jamaah shalat wajib, puasa tapi tidak menutup aurat dan yang lainnya.

  1. Kontinu dalam ketaatan

Ibadah puasa mengajarkan kita untuk kontinu dalam ibadah. Rasulullah ﷺ pun semakin meningkatkan amal ibadahnya pada sepuluh hari akhir Ramadhan. Aisyah s\ mengatakan:

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Adalah Rasulullah bila memasuki sepuluh hari akhir Ramadhan, beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. al-Bukhari Muslim)

Dan ini sangat berkebalikan dengan fakta sebagian kaum muslimin yang giat ibadah di awal Ramadhan namun malas di akhirnya.

Bahkan kontinunya dalam ibadah ini tidak hanya di akhir Ramadhan, terbukti Rasulullah mensyariatkan untuk meneruskan puasa dengan puasa 6 hari di bulan Syawal. (HR. Muslim) Karena memang demikianlah seharusnya seorang muslim senantiasa beribadah kepada Allah sampai Malaikat Maut menjemput.

Akhirnya

Apakah dengan berakhirnya Ramadhan berakhir pula rasa takut dan taubat kita kepada Allah? Wahai orang yang berpuasa dan shalat serta orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar, apakah pantas setelah dihapuskan dosamu kemudian engkau kembali bermaksiat? Tidakkah engkau ingat tangismu di malam Ramadhan atas segala dosamu, apakah engkau lupa akan semua hal itu? Kita berlindung kepada Allah agar tidak menjadi orang-orang yang hanya mengenal Rabbnya pada bulan Ramadhan saja.

Dikisahkan, ada sekelompok orang pada generasi terdahulu yang membeli budak wanita. Tatkala hampir dekat bulan Ramadhan, orang-orang ini bersiap-siap menyambutnya dengan makanan dan selainnya. Lantas budak wanita itu pun bertanya, “Ada acara apa ini?” Mereka serentak menjawab, “Kami bersiap-siap untuk menyambut bulan Ramadhan”, budak wanita itu akhirnya berkata, “Kalian tidak berpuasa kecuali di bulan Ramadhan saja?! Sungguh, aku dulu hidup di sekeliling orang-orang yang seluruh waktu mereka adalah Ramadhan. Kembalikan saja aku kepada mereka.” (Lathaiful Ma’arif hal. 378)

Kehidupan dunia ini ibarat bulan puasa bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka berpuasa dari syahwat dan keharaman. Apabila telah datang kematian maka saat itulah berakhir (pula) bulan puasa mereka dan mereka merayakan hari berbukanya. (Lathaiful Ma’arif hal.378)

Maka barangsiapa yang berpuasa pada kehidupan dunianya dari segala hawa nafsu, ia akan berbuka setelah kematiannya. Dan barangsiapa yang tergesa-gesa untuk mendapatkan apa yang diharamkan baginya, maka ia akan disiksa untuk tidak mendapatkannya di akhirat. (QS. al-Ahqāf: 20)

Sebagian salaf berkata: “Sejelek-jelek hamba adalah yang hanya mengenal Rabbnya pada bulan Ramadhan, dan melupakan-Nya pada bulan lainnya.”

Ingatlah, bahwa Allah yang kita sembah dan taati pada bulan Ramadhan, adalah Allah yang wajib kita sembah dan taati pada bulan lainnya. Wallahul musta’an, wallahu a’lam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.