Rambu-rambu Allah ﷻ

RAMBU-RAMBU ALLAH

HADITS KETIGA PULUH

عنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِي جُرْثُوْمِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا.[حديث حسن رواه الدارقطني وغيره] .

Dari Abu Tsa’labahal-Khusyani,Jurtsum bin Nasyira\, dari Rasulullah n\, beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya.Dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya.”(HR. Daraquthni 4/184, Hadits Hasan) 

Namun sebagian ulama menganggap bahwa hadits ini dikategorikan sebagai hadits dha’if (lemah). Lihat pula dalam;Qawa’idwaFawa’idminalArba’inanNawawiyyah, karanganNazhim Muhammad Sulthan, hal. 262,Misykat alMashabih, takhrij Syaikh al-Albani, hadits no. 197, juz 1,Jami’al-‘UlumwalHikam,oleh Ibnu Rajab)

 Faedah dan pelajaran dari hadits:
  1. Sesungguhnya di antara syariat Allah itu, ada yang hukumnya wajib, yang harus dilakukan dan tidak boleh disia-siakan.

Allah ﷻ telah mewajibkan kewajiban kepada para hamba-Nya dan mewajibkan perkara-perkara tersebut dengan pasti serta meyakinkan,sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama, bahwa perkara yang fardhu ada dua macam:

  1. Fardhu kifayah.
  2. Fardhu ‘ain.

Fardhu kifayah: Kewajiban yang dituntut untuk dilakukan terlepas dari orang yang melakukan. Hukumnya: Jika ada sejumlah orang yang dianggap cukup melakukan perkara tersebut, maka gugurlah kewajiban itu dari orang yang lainnya.

Fardhuain: Perkara yang dimaksudkan dengannya ialah perbuatan dan pelakunya sekaligus. Perbuatan itu wajib untuk dilakukan setiap orang.

Yang pertama (fardhu kifayah) contohnya: adzan, iqamat, shalat jenazah dan lain-lain. Sedangkan yang kedua (fardhu ‘ain) contohnya: shalat lima waktu, zakat, puasa, haji. Sabda Nabi, “Dia telah membuat batas-batas,” yakni mewajibkan berbagai kewajiban yang sudah ditentukan dan terikat dengan syarat-syaratnya.

  1. Wajibbagi seseorang melakukan yang hal-hal yang bersifat wajib atau sunnah, atau mubah saja. Dan tidak boleh melampaui ketiga hal ini hingga akhirnya melakukan hal- hal yang haram.

Seseorang tidak diperbolehkan melanggar batas-batas Allah ﷻ.Bercabang dari faedah ini, ialah tidak bolehnya bersikap ghuluw(berlebih-lebihan) dalam agama Allah. Oleh karena itu, Nabi ﷺ mengingkari beberapa orang sahabatnya yang disebutkan dalam hadits;

جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا، وَقَالُوْا: أَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ وَقدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَأُصَلِّيْ اللَّيْلَ أَبَداً، وَقَالَ الْآخَرُ: وَأَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ أَبَداً وَلَا أُفْطِرُ، وَقَالَ الْآخَرُ: وَأَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَداً.فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi untuk bertanya tentang ibadah beliau .Setelah mereka diberitahukan (tentang ibadah Nabi), mereka menganggap ibadah beliau itu sedikit sekali.Mereka berkata, ‘Kita initidakadaapa-apanyadibandingkandenganNabi!Beliau telah diberikan ampunan atas semua dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang.’ Salah seorang dari mereka mengatakan, ‘Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.’Orang yang lainnyamenimpali, ‘Adapunsaya, maka sungguh saya akan berpuasa terus-menerus tanpa berbuka.’Yang lainnya lagi berkata, ‘Sedangkan saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan menikah selamanya.’Kemudian Rasulullah mendatangi mereka seraya bersabda, ‘Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga tidur, aku juga menikahi wanita.Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.’”[1]

Jadi, semua ibadah yang ingin dilakukan oleh ketiga orang tersebut menyulitkan mereka dan menyelisihi sunnah. Tetapi Nabi ﷺ bertanya kepada mereka, “Apakah mereka berkata seperti itu?”Mereka menjawab, “Ya.” Dalam riwayat lain, Nabi memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian Nabi bersabda:

أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka(tidak puasa), aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita.Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.”

Kesempurnaan seseorang dalam mengikuti sunnah yaitu dengan mengerjakan ibadah yang dikerjakan oleh Rasulullah ﷺ dan meninggalkan apa-apa (ibadah) yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah ﷺ. (Yang kedua) ini dinamakan olehulamaUshulFiqhdenganistilah sunnahtarkiyyah.[2]

Tidak berlebihan dalam ibadah termasuk dari sunnah Nabi ﷺ. Janganlahseseorang menyulitkan dirinya. Berjalanlah sesuai dengan sunnahRasulullah ﷺ. Beliau ﷺ bersabda:

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit.”[3]

  1. Semua yang Allah haramkan, wajibbagisetiapmuslim meninggalkan dan menjauhinya.

Melanggar perkara-perkara yang diharamkan hukumnya haram, berdasarkan sabda beliau: “…janganlah kalian melanggarnya.” Kemudian perkara yang haram itu ada dua macam:

  • Dosa-dosa besar.
  • Dosa-dosa kecil.

Dosa-dosa besar tidak diampuni kecuali dengan taubat, sedangkan dosa kecil dapat gugur dengan ibadah shalat, haji, dzikir dan ibadah-ibadah lainnya.

Ingatlah dengan sabda Nabi ﷺ yang disebutkan oleh salah seorang sahabat menjelaskan orang yang meninggalkan keharaman karena Allah,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad 5/363. SyaikhSyu’aibal-Arnauthmengatakan,bahwasanad hadits ini shahihSyaikh Salim bin ‘Id al-Hilali berkata, bahwa sanad hadits ini shahih. Adapun tidak disebutnya namasahabat,tetaptidakmencacathaditstersebut,karenaseluruhsahabatitu ‘udul [baik])

Contoh bentuk ganti dari meninggalkan sesuatu yang haram telah disebutkan dalam ayat-ayat dan hadits-hadits berikut ini:

  • Siapa yang meninggalkan penipuan dalam jual beli, maka Allah ﷻ akan datangkan berkahpadajualbelinya. Dalam hadits disebutkan,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا –أَوْقَالَحَتَّىيَتَفَرَّقَا–فَإِنْصَدَقَاوَبَيَّنَابُورِكَلَهُمَافِىبَيْعِهِمَا،وَإِنْكَتَمَاوَكَذَبَامُحِقَتْبَرَكَةُبَيْعِهِمَا

Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hakpilih (khiyar) selamakeduanyabelum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutupi, niscaya hilanglah berkah bagi mereka pada transaksi itu.” (Muttafaq ‘alaih)

  • Siapa yang meninggalkan sifat pelit, maka ia akan mulia di sisi manusia dan akan menjadi orang-orang yang beruntung. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. at-Taghabun: 16)

  • Siapa yang meninggalkan sifat sombong dan memilih tawadhu’, maka Allah ﷻ akan meninggikan derajatnya di dunia. Abu Hurairaha\ berkata, bahwa Rasul ﷺbersabda,

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِإِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

Tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim: 2588)

Meninggalkan sebuah keharaman adalah sebuah tuntutan. Selayaknya tuntutan lain dalam Islam, meninggalkan sebuah larangan/keharaman mesti diiringi dengan niat untuk mengharap wajah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, bukan karena iming-iming tertentu atau yang sifatnya duniawi. Orang yang meninggalkan keharamandenganniat taqarrub (mendekatkandiri) kepada Allah akan mendapat ganjaran kebaikan. Syaikh Sa’d bin Nashir as-Syatsrib\ mengungkapkan, “Orang yang meninggalkan tegukan khamer tanpa sengaja meniatkan (diriuntukbertaqarrub-edt) tidakberhakmendapat pahala. Sebaliknya, orang yang meninggalkannya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan menggapai pahala, berhak mendapat pahala.”

  1. Segala sesuatu yang tidak ada pengharaman atau penghalalannya, berarti hal tersebut dimaafkan untuk dilakukan, tidak perlu dipertanyakan.

Tidak sepatutnya membahas dan bertanya kecuali hal-hal yang memang perlu untuk ditanyakan.Ini berlaku pada zaman Nabi ﷺ, karena zaman beliau ini ialah zaman diturunkannya syariat.Dikhawatirkanseseorang bertanya tentang sesuatu yang tidak wajib,lalu perkara itu diwajibkan lantaran pertanyaan yang ia lontarkan, atau hal yang tidak diharamkan namun akhirnya diharamkan dengan sebab pertanyaan yang ia lontarkan.Maka Nabi ﷺ melarang untuk mencari tahu tentang hal itu, beliau bersabda:“Janganlah kalian mencari tahu tentangnya.

Terkait dengan asas penetapan yang halal dan haram, Allah ﷻ berfirman yang artinya,

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.(QS. al-Baqarah:168-169)

Syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan makanan selalu mempertimbangkan kemaslahatan dan madharat (bahaya).Segala yang diharamkan pastilah mengandung bahaya murni atau memuat unsur bahaya yang dominan.[4] Demikianlah diantara keistimewaan syariat Islam, karena bersumber dari Allah ﷻ Yang Mahabijaksana (al-Hakim) danMahamengetahui (al-‘Alim) akan segala kemaslahatan bagi hamba.

Dari sini, seorang mukmin harus mengutamakan dan mendahulukan ketetapan Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ saat berhadapan dengan ketetapan adat atau budaya yang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Islam, atau sebaliknya menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Islam.Sebab secara prinsip, penetapan halal dan haram adalah hak Allah ﷻ.Barangsiapa mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, pada hakikatnya telah memposisikan diri sebagai sekutu Allah ﷻdalamhaktasyri’ (penetapansyariat). Karenanya, Allah ﷻ mencela kaum Yahudi dan Nasrani karena ketaatan mereka yang berlebihan terhadap pemuka agama mereka, sampai menghalalkan dan mengharamkan apa yang dikatakan oleh pemuka agama mereka. Dengan ini, mereka telah menjadikan para pendeta itu sebagai tandingan-tandingan bagi Allah ﷻ.

Allah ﷻ berfirman yang artinya:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.(QS. at-Taubah:31)

Begitu pula, Allah ﷻ mencela kaum musyrikin jahiliah yang menghalalkan bangkai yang telah diharamkan oleh Allah w\ dan mengharamkan beberapa jenis binatang ternak yang dihalalkan oleh Allah e\, karena mengikuti warisan budaya nenek moyang dan hawa nafsu mereka.

Allah ﷻ berfirman yang artinya:

Allah sekali-kali tidak pernahmensyariatkanadanyabahirah, sa’ibah, washilahdan ham, akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul, mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’”Dan apakah mereka mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?(QS. al-Ma’idah:103-104)

Demikian yang dapat kami ketengahkan, semoga bermanfaat.Wallahua’lam. 


[1]Hadits ini shahih.Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063); Muslim (no. 1401); Ahmad (3/241, 259, 285); an-Nasa’i (6/60); al-Baihaqi (7/77); Ibnu Hibban (no. 14 dan 317-at-Ta’liqatul-Hisan); al-Baghawidalam Syarhus-Sunnah (no. 96).

[2]Ilmu Ushul al-Bida’ (hal. 108-110)

[3]Shahih: HR. Ahmad (6/165), Muslim (no. 783 [218]), dan al-Qudha’i dalam Musnad asy-Syihab (no. 1303), dari Aisyah s\.

[4]Adapun larangan mengonsumsi sebagian yang baik-baik pada bangsa Yahudi, itu merupakan hukuman bagi mereka atas tindak kezaliman yang mereka perbuat.(QS. an-Nisa`:160 , al-An’am:146)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.