سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Sikap Kritis Terhadap Politik Praktis
SIKAP KRITIS TERHADAP POLITIK PRAKTIS
Oleh: Ust. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah Lc.
Realitas pahit yang kita lihat pada saat ini adalah tenggelamnya kaum muslimin, khususnya generasi mudanya ke dalam hiruk pikuk politik praktis yang tidak berujung. Keadaan tersebut diperparah lagi dengan adanya sebagian da’i dan mereka yang ditokohkan yang justru menceburkan diri ke dalam lingkaran setan tersebut. Jika mereka melakukan itu dengan alasan pribadi, tentu perkaranya lebih ringan. Tetapi mereka mengatasnamakan agama di dalam aktivitas-aktivitas mereka. Yang lebih runyam lagi, bahwa mereka mendorong kaum muslimin untuk mengikuti sepak terjang mereka, masuk ke dalam kancah politik untuk memperjuangkan Islam dari tepi jalan curam yang hampir longsor ke dalam jurang!
Mereka setiap hari mengarahkan umat kepada isu-isu politik dan memalingkan mereka dari ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan sumber keselamatan!
Mereka palingkan umat dari majelis-majelis ilmu menuju media-media informasi politik kotor yang penuh dengan kedustaan!
Mengingat kondisi yang sangat memprihatinkan ini, maka di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan perkataan-perkataan para ulama rabbani tentang sikap yang benar di dalam menghadapi fitnah tersebut agar menjadi pelita dari kegelapan fitnah tersebut.
HARUSKAH SEORANG MUSLIM TERJUN KE KANCAH POLITIK SAAT INI?
Syaikh Abdulmalik bin Ahmad Ramadhani b\ menyebutkan dalam ktiab Madarik an-Nazhar sebagai berikut:
Adapun terjun di dalam politik pada hari ini maka ia adalah aktivitas yang tidak dimasuki kecuali oleh orang yang diseret oleh setan untuk dibinasakan di dalam akhir yang terburuk. Dia telah menerima dengan baik syubhat setan yang mengatakan; bahwa dia tidak boleh membiarkan tugas ini untuk orang-orang fasiq dan sekuler, bahwa seorang muslim tidak bergerak lambat, bahwa dominasi komunisme hampir menguasai negara seandainya tidak ada menteri Fulan, dan syubhat-syubhat lain yang memperdaya dan tidak dilandasi pandangan syar’i sesuai dengan kadar analisis politik yang tidak realistis. Karena orang yang jujur di dalam menelaahnya akan melihat banyaknya orang masuk ke dalam politik untuk mengubahnya, akan tetapi ternyata merekalah yang berubah. Merekalah yang terkena sabda Nabi n\:
مَنْ أَتَى بَابَ السُّلْطَانِ اِفْتَتَنَ
“Siapa yang mendatangi pintu penguasa niscaya dia akan terfitnah.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud 3/111, an-Nasa’i 7/195, Ahmad 5/361, dan al-Baihaqi di dalam asy-Syu’ab 12/27, dishahihkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah: 1272)
Dan dalil yang melarang bercampur dengan para politikus saat mereka sedang mempraktikkan politik kotor mereka adalah firman Allah q\:
Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam al-Qur’an, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (QS. an-Nisa’: 140)
Dan dari Amir bin Sa’d v\ dia berkata, “Sa’d bin Abi Waqqash a\ tengah mengurus untanya lalu Umar, anak Sa’d mendatanginya. Tatkala Sa’d melihatnya maka dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah dari keburukan pengendara ini.’ Maka Umar bin Sa’d turun lalu berkata kepada Sa’d, ‘Apa kau sibuk mengurus unta dan kambingmu sementara kau membiarkan orang-orang saling memperebutkan kekuasaan di antara mereka?!’ Sa’d memukul dadanya lalu berkata, ‘Diam! Aku pernah mendengar Rasulullah n\ bersabda:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ
‘Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bertakwa, yang merasa cukup dan yang tidak menampakkan dirinya.’” (HR. Muslim: 5266)
Jika kepentingan agamamu bertabrakan dengan kepentingan selainmu maka dahulukan kepentinganmu untuk keselamatan dirimu sendiri. Allah q\ berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. al-Ma’idah: 105)
Dari Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash d\, ia berkata, “Saat kami berada di sisi Rasulullah n\, tiba-tiba disebutkan di sisi beliau tentang fitnah. Beliau bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ النَّاسَ قَدْ مَرِجَتْ عُهُودُهُمْ وَخَفَّتْ أَمَانَاتُهُمْ وَكَانُوا هَكَذَا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
‘Jika kalian melihat manusia telah rusak janji-janji mereka dan telah luntur amanah mereka, sementara mereka begini.’ -beliau menganyam antara jemarinya-.” Abdullah berkata, “Aku lantas bangkit ke arah beliau seraya bertanya, “-Semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu- apa yang harus aku lakukan pada saat itu?” Beliau menjawab:
قَالَ الْزَمْ بَيْتَكَ وَامْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَخُذْ بِمَا تَعْرِفُ وَدَعْ مَا تُنْكِرُ وَعَلَيْكَ بِأَمْرِ خَاصَّةِ نَفْسِكَ وَدَعْ عَنْكَ أَمْرَ الْعَامَّةِ
“Tetaplah engkau berdiam di dalam rumahmu, kuasailah lisanmu, kerjakanlah perkara yang ma’ruf dan tinggalkan apa saja yang mungkar, urusilah kepentinganmu sendiri dan tinggalkanlah dahulu urusan orang banyak.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya 2/438, Ahmad di dalam Musnad-nya 2/212, dan al-Hakim di dalam Mustadrak-nya 4/525, dikatakan oleh al-Hakim: ‘Shahih sanadnya,’ dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dihasankan oleh al-Mundziri, al-‘Iraqi dan al-Albani. Lihat: as-Silsilah ash-Shahihah no. 205)
Jika ada yang bertanya, “Akan tetapi masyarakat Islam membutuhkan orang-orang yang menduduki posisi-posisi ini?” Maka kami katakan, “Ya, akan tetapi dengan syarat; seseorang tidaklah merendahkan agamanya di dalam jabatan-jabatan tersebut. Tentunya dia tidak mau menjadi kayu bakar neraka Jahannam dalam rangka menyelamatkan orang lain. Tentunya dia tidak ingin menjadi orang yang disabdakan oleh Rasulullah n\:
لَا بُدَّ مِنَ الْعَرِيْفِ وَ الْعَرِيْفُ فِي النَّارِ
“Manusia harus ada yang memimpin, dalam keadaan pemimpin itu di neraka.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Akhbar Ashbahan 2/148 dan dihasankan oleh al-Albani di dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 1417)
Artinya, siapa yang tidak memungkinkan baginya untuk menghasilkan sesuatu bagi masyarakat kecuali dengan memasukkan dirinya ke dalam mafsadah (kerusakan) yang nyata atau yang bersifat dominan dan melihat nilai komitmen terhadap agamanya semakin berkurang, seperti terpaksa meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka saat itu hendaklah ia bersegera menyelamatkan dirinya hingga tidak menjadikan dirinya sebagai jembatan untuk mengantarkan ke surga dan akan ditinggalkan di depan pintu surga. Cukup baginya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang yang menjadi para pemimpin tersebut, yang selalu ada di dalam masyarakat.
Jika ada yang bertanya, “Siapakah yang akan mengurusi kepentingan-kepentingan kalian jika para pemimpin tersebut enggan?” Maka kami katakan, bahwa Allah q\ berfirman:
Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. ath-Thalaq: 3)
Dan hukum ini berlaku di suatu lingkungan yang kerusakannya telah merata atu dominan.
Dan aku (Syaikh Abdulmalik-edt) di sini tidak mengatakan tidak adanya nasihat kepada para waliyul amri dengan cara yang disyariatkan bagi orang yang memberi manfaat kepada masyarakat dan membantu mereka di dalam kebaikan, karena hal ini sungguh telah dilakukan oleh Nabiyullah Yusuf p\ sebelumnya ketika dia berkata:
ﮋ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﮊ
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan. (QS. Yusuf: 55)
Begitu pula hal ini telah dicontohkan oleh para salaf dalam memberi nasihat yang ikhlas kepada para penguasa, tanpa mengkhianati mereka sangatlah masyhur. Terutama di negeri-negeri tauhid yang masih menjaga shalat lima waktu serta menyukai amal-amal kebajikan.
Akan tetapi di sini saya mengingatkan mengenai praktik politik bentang jembatan yang diterapkan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin! Atau apa yang telah kalian saksikan secara langsung, bagaimana mereka dijangkiti penyakit lemah memegang ajaran agama dan terfitnah di dalamnya!
Di sisi lain mereka ternyata orang yang paling berkhianat terhadap pemerintah, sementara pada saat yang bersamaan mereka menampakkan persetujuan secara utuh. Buktinya, setiap ada peluang meruntuhkan wibawa pemerintah, pasti mereka manfaatkan. Kadang dengan baiat-baiat kepada imam yang mereka angkat sendiri, dengan berpartai ria, atau dengan selalu mencari kesempatan meledakkan api revolusi …! (Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah hal. 151-154)
YANG BERHAK BERFATWA TENTANG POLITIK SYAR’I HANYA PARA ULAMA MUJTAHIDIN
Imam Ibnul Qayyim v\ berkata, “Orang berilmu tentang Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta perkataan-perkataan para sahabat, maka dialah yang berijtihad di dalam berbagai nazilah (peristiwa). Jenis orang seperti inilah yang boleh berfatwa, boleh dimintai fatwa, dan kewajiban ijtihad ditunaikan oleh mereka. Merekalah yang disabdakan oleh Rasulullah n\:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
‘Setiap seratus tahun Allah mengutus kepada umat ini seseorang yang akan memperbaharui agama ini (dari penyimpangan).’ (Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya: 4291 dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam as-Silsilah ash-Shahihah: 599).” (Al-Ahkam as-Sulthaniyyah hal. 6)
Syaikh Abdulmalik bin Ahmad Ramadhani b\ berkata, “Dari perkataan Ibnul Qayyim di atas akan engkau ketahui, bahwa kembalinya para pemuda pada hari ini di dalam nazilah-nazilah politik kepada kaum haraki (kelompok pergerakan), orang-orang yang terdidik di atas meja-meja majalah dan media massa, dan orang-orang keluaran diklat-diklat kilat, sangat bertentangan dengan nash-nash yang saya sebutkan dari para alim ulama tersebut. Meski mereka mengaku tidak terikat dengan belenggu-belenggu madzhab atau mengaku pakar tentang perkembangan madzhab terkini!
Dan jelaslah juga bahwa para muqallid (ahli taklid) madzhab tidak termasuk dalam penuturan Ibnul Qayyim di atas. Yaitu perkataan beliau, ‘…yang boleh berfatwa, boleh dimintai fatwa, dan kewajiban ijtihad ditunaikan oleh mereka…’! Betapapun mereka membanggakan gelar-gelar akademis mereka; karena ahli taklid tidak patut dikategorikan sebagai mujtahid, bahkan ahli taklid hakikatnya adalah orang jahil, sebagaimana dimaklumi di dalam ilmu Ushul Fiqih. Al-Khathib al-Baghdadi v\ berkata, ‘… sehingga dia menguasai ilmu tentang hukum kasus-kasus nawazil dan membedakan antara hak dan batil. Hal ini harus dimiliki oleh seorang mufti dan tidak boleh terluput sedikit pun darinya.’ (Al-Faqih wal-Mutafaqqih 2/330)
Oleh karena itu, yang sangat penting bagi seorang penuntut ilmu adalah dapat membedakan antara ahli fatwa di dalam masalah ini dengan oknum-oknum yang berlagak pintar atau yang masuk dari pintu yang salah! Sungguh, para ulama salaf mengetahui dengan sempurna tentang hal itu. Al-Imam Abu Hatim ar-Razi v\ berkata, ‘Madzhab kami dan pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah n\, para sahabat, para tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik …, komitmen dengan al-Kitab dan as-Sunnah, membela para imam yang mengikuti atsar-atsar salaf, memilih apa yang dipilih oleh para imam Ahlissunnah di berbagai negeri, seperti; Malik bin Anas di Madinah, al-Auza’i di Syam, Laits bin Sa’d di Mesir, Sufyan ats-Tsauri dan Hammad bin Zaid di Irak, di dalam peristiwa-peristiwa yang tidak dijumpai riwayat tentangnya dari Nabi n\, para sahabat dan para tabi’in, dan meninggalkan pendapat orang-orang yang membuat kerancuan, prasangka keliru, penghias kebatilan, rekayasa palsu dan para pendusta.’ (Syarh Ushul I’tiqad hal. 323, al-Lalika’i)
Jadi, jelaslah bagi orang yang berilmu pencari kebenaran, siapakah yang berhak dimintai fatwa di dalam masalah ini.
Lantas, mengapa kaian berjubel menyesaki panggung politik, wahai para pemuda Islam?! Hati kalian sangat tergoda dengan gemerlapnya. Dari segala penjuru kalian berbondong-bondong mendatanginya. Seakan-akan itu merupakan hak kalian! Seakan-akan para tokohnya belum lagi diciptakan di tengah-tengah kalian. Maka yang lebih utama atas kalian adalah mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah menurut kadar kemampuan dan yang wajib atau yang dianjurkan atas kalian. Sesungguhnya itulah yang meneguhkan keistiqamahan kalian dan lebih menjamin sampainya ke tempat yang ingin dituju. Allah Ta’alaberfirman:
Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). (QS. an-Nisa’: 66).” (Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah hal. 155-159)
MASALAH-MASALAH POLITIK TIDAK SEPANTASNYA DIJADIKAN KONSUMSI PUBLIK
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya (no. 6328) dari Ibnu Abbas d\, bahwasanya dia berkata:
“Aku menyampaikan qira’ah untuk beberapa orang Muhajirin yang di antara mereka adalah Abdurrahman bin Auf, ketika aku berada di persinggahannya di Mina dan dia bersama Umar bin Khattab, di akhir haji yang dilakukannya. Tiba-tiba Abdurrahman bin Auf kembali kepadaku dan mengatakan, ‘Sekiranya engkau melihat seseorang yang menemui Amirul Mukminin hari ini, orang itu mengatakan, ‘Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau sudah tahu berita si Fulan yang mengatakan, bahwa sekiranya Umar telah meninggal, aku akan berbaiat kepada Fulan. Pembaiatan Abu Bakar ash-Shiddiq tidak lain hanyalah sebuah kekeliruan dan sekarang telah berakhir.’(?) Umar pun marah dan berujar, ‘Sungguh, sore nanti aku akan berdiri menghadapi orang-orang dan memperingatkan mereka. Yaitu orang-orang yang hendak mengambil alih wewenang perkara-perkara mereka.’ Abdurrahman berkata, ‘Maka aku berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, jangan kau lakukan sekarang. Sebab, musim haji sekarang tengah menghimpun orang-orang pandir dan orang-orang bodoh. Merekalah yang lebih dominan di dekatmu, sehingga aku khawatir engkau menyampaikan sebuah petuah hingga para musafir yang suka menyebarkan kabar burung itulah yang menyebarluaskan berita, padahal mereka tidak jeli menerima berita dan tidak pula meletakkan pada tempatnya. Tangguhkanlah hingga engkau tiba di Madinah. Sebab, Madinah adalah Darul Hijrah dan Darus Sunnah yang sarat dengan ahli fikih para pemuka manusia, sehingga engkau bisa menyampaikan petuah sesukamu secara leluasa dan ahli ilmu memperhatikan petuah-petuahmu serta meletakkannya pada tempatnya.’ Umar menjawab, ‘Demi Allah, insya Allah akan aku lakukan hal itu di awal kebijakan yang kulakukan di Madinah.’…”
Syaikh Abdulmalik bin Ahmad Ramadhani berkata, “Betapa agungnya usulan Abdurrahman bin Auf tersebut! Betapa kuat masyarakat yang mengetahui kadar segala sesuatu! Pendidikan seperti itu sangat jauh berbeda dengan keadaan orang-orang yang mengekspos berita apa saja kepada masyarakat umum dan kalangan khusus. Terutama isu-isu politik yang banyak mengusik masyarakat dewasa ini. Mereka membicarakannya dengan antusias seakan-akan mereka memohon bantuan kepada makhluk dari kezaliman makhluk. Tidak akan Anda temukan mereka mengkaji tauhid dan membantah syirik!.”
“Kesimpulan: Sesungguhnya oknum-oknum yang mengajarkan seluruh persoalan politik kepada masyarakat bukanlah seorang yang rabbani, meskipun ia mengklaim dirinya hendak menyadarkan umat yang lalai dan menggerakkan umat yang tertidur atau ingin mewujudkan ke-universal-an amalan-amalan Islam. Tidakkah Anda lihat bab yang ditulis oleh Imam al-Bukhari, ‘Bab: Orang yang mengkhususkan ilmu bagi suatu kaum yang tidak disampaikan kepada kaum yang lain, karena dikhawatirkan mereka tidak memahaminya.’ Beliau membawakan di dalam bab tersebut sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib a\ yang berbunyi:
حَدِّثُوا النَّاسَ، بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ، اللهُ وَرَسُولُهُ
‘Berbicaralah kepada manusia dengan perkataan yang dapat mereka mengerti. Inginkah engkau bila Allah dan Rasul-Nya didustakan?!’ (Shahih al-Bukhari 1/37).” (Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah hal. 164 dan 174)
YANG BERHAK MENANGANI SIYASAH SYAR’IYYAH ADALAH PARA ULAMA SYARIAT
Sehubungan tidak dibolehkan mengeluarkan fatwa tentang masalah politik selain para ulama mujtahid maka tidak berhak pula menanganinya selain mereka. Al-Imam asy-Syathibi v\ berkata:
“Apabila seseorang telah mencapai tingkat kemampuan memahami maksud-maksud syariat dalam setiap masalah dan setiap bab, maka dia telah memenuhi kriteria sebagai pengganti Nabi n\ di dalam mengajarkan syariat, memberi fatwa dan menetapkan hukum sesuai dengan pengetahuan yang Allah berikan kepadanya.” (Al-Muwafaqat 4/106-107)
Al-Imam asy-Syafi’i v\ berkata, “Janganlah diajak bermusyawarah dalam memecahkan problematika selain orang yang amanah lagi memahami al-Qur’an, as-Sunnah, atsar para sahabat dan perkataan ulama, qiyas dan bahasa Arab.” (Mukhtashar al-Muzani)
Ibnu Shabbagh v\ berkata di dalam asy-Syamil, “Al-Imam asy-Syafi’i menilai, seorang imam harus mencapai tingkatan mujtahid, karena jika ia tidak mencapai tingkatan tersebut tentu ia tidak mampu memberikan pendapat yang tepat dalam memecahkan suatu kasus.” (Dinukil dari kitab al-Ijtihad oleh as-Suyuthi hal. 62)
Al-Imam asy-Syathibi berkata, “Para ulama telah menukil adanya kesepakatan, bahwa Imamatul Kubra (kepemimpinan umum) tidak boleh dipegang kecuali oleh orang-orang yang memiliki kemampuan berijtihad dan mampu memberi fatwa dalam masalah ilmu-ilmu syariat.” (Al-I’tisham 2/126)
Syaikh Abdulmalik bin Ahmad Ramadhani berkata, “Menurut saya, kesepakatan ini tidaklah gugur dengan adanya pihak-pihak yang tidak setuju. Karena pihak-pihak yang tidak setuju itu juga menetapkan syarat telah mencapai tingkatan mujtahid bagi para ulama yang dimintai fatwa oleh imam (penguasa), sebagaimana dijelaskan oleh asy-Syihristani, ‘Akan tetapi seorang penguasa harus memiliki pendamping yang memiliki kemampuan berijtihad, yang dijadikannya sebagai rujukan dalam masalah hukum-hukum syar’i.’ (Al-Milal 1/160)
Walhasil, seseorang dapat diangkat menjadi imam dengan syarat memiliki kecakapan berijtihad pada dirinya atau pada orang yang dia jadikan rujukan dari para fuqaha’.” (Madarik an-Nazhar hal. 176-177)
PENUTUP
Kami akhiri bahasan ini dengan perkataan agung dari al-‘Alim ar-Rabbani asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani v\ tentang solusi syar’i dari fitnah politik saat ini:
“Merupakan hal yang dimaklumi oleh setiap muslim yang pernah membaca sirah Rasulullah n\, bahwa Rasul memulai langkahnya dengan mendakwahi orang-orang tertentu yang diduga memiliki kesiapan untuk menerima al-haq, kemudian satu per satu dari mereka menjawab seruan dakwah Rasulullah n\, hingga kemudian kaum muslimin mendapat tantangan yang keras dan siksaan yang berat dari kaum musyrikin di Makkah, kemudian datanglah perintah hijrah yang pertama dan kedua…
Hingga Allah meneguhkan Islam di Madinah, kemudian mulailah terjadi konfrontasi terbuka antara kaum muslimin dan orang-orang kafir, dan mulailah terjadi peperangan antara kaum muslimin melawan orang-orang kafir serta orang-orang Yahudi…
Karena itu, wajib bagi kita memulai langkah dengan mengajarkan Islam yang benar kepada manusia, sebagaimana jalan yang ditempuh pertama kali oleh Rasulullah n\. Hanya saja sekarang ini tidak boleh bagi kita sekadar mengajarkan Islam saja, karena Islam telah dimasuki hal-hal yang bukan darinya dan yang tidak ada hubungannya sama sekali darinya, dari bid’ah-bid’ah dan hal-hal baru yang merupakan sebab kehancuran bangunan Islam yang kokoh. Karena inilah, wajib bagi bagi kita memurnikan Islam dari kotoran-kotoran yang melekat padanya.” (At-Tahdzir min Fitnah at-Takfir hal. 86-87).
Wallahu a’lam bisshawab.