سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Tafsir surat al-Buruj [85]: 1-3
Demi Gugusan Bintang
Oleh: Ust. Muhammad Aunus Shofy
Tafsir surat al-Buruj [85]: 1-3
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ (١) وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ (٢) وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ (٣)
Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.
Al-Qur’an turun dengan bahasa Arab yang jelas dan diperuntukkan kepada seluruh manusia tanpa pengecualian. Terkandung di dalamnya penjelas atas segala sesuatu, petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah. Namun tatkala al-Qur’an diturunkan, fenomena apa yang muncul? Apakah semua manusia menghadapinya dengan penuh penerimaan? Kenyataannya tidak. Banyak sekali yang ragu bahkan menentang.
Sebab itulah, banyak terdapat sumpah dalam al-Qur’an untuk menghilangkan keraguan, memutus segala kerancuan dan menegakkan hujjah serta memperkuat kabar isi al-Qur’an tersebut. Sehingga mampu membuat jiwa manusia terasa tenang dan lega, lebih-lebih dalam perkara besar yang membutuhkan sumpah.
Allah bersumpah dalam al-Qur’an dengan beberapa macam sumpah, di antaranya bersumpah dengan menyebut sebagian nama makhluk-Nya. Padahal Allah melarang untuk bersumpah dengan menyebut selain nama-Nya. Hal itu semua menunjukkan atas keagungan dan kebesaran-Nya, juga sebagai isyarat tentang keagungan nama yang disumpah. Sehingga orang-orang yang berakal dapat memahami tentang kebesaran sang Khaliq.
Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Sebagaimana Allah bersumpah dengan malam dan siang, serta matahari dan bulan juga yang lain, itu melazimkan keagungan kedudukan yang disumpah, dan sebagai penekanan apa yang terkandung di dalamnya berupa tanda-tanda kebesaran kuasa-Nya serta menjadi ‘ibrah, manfaat dan anugerah bagi manusia. Hal ini tidak mengharuskan keterkaitan hati dengannya, atau menyangka bahwa benda tersebut (bisa) memberi kegembiraan maupun kesengsaraan.”[1]
Ibnul Qayyim mengatakan: “Sumpahnya Allah dengan sebagian makhluk-Nya sebagai bukti atas keagungan tanda-tanda kebesaran kuasa-Nya.”[2]
Penamaan surat:
Surat yang mulia ini tergolong surat Makkiyyah menurut kesepakatan para ulama, berjumlah 22 ayat dan memiliki beberapa nama, di antaranya:[3]
- Surat al-Burū Sebagaimana yang sudah masyhur dan tercantum dalam banyak mushaf, kitab tafsir maupun kitab-kitab hadits.
Dinamakan demikian karena terdapat lafazh al-Buruj pada ayat pertama, dan merupakan sumpah Allah dengannya, meskipun lafazh tersebut ada juga dalam surat yang lain seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 78, dan dengan lafazh “burūjan” dalam dua surat, yaitu surat al-Hijr ayat 16 dan surat al-Furqan ayat 61.
Lafazh al-Buruj merupakan bentuk jamak dari ‘al-burju’ yang mempunyai arti megah dan tinggi, sehingga nampak jelas. Dan yang dimaksudkan di sini adalah gugusan bintang yang besar, atau tempat beredarnya matahari dan bulan yang memiliki 12 rasi bintang menurut ilmu falak. Semua ini dinamakan dengan Buruj karena ketinggiannya serta kenampakannya yang sangat jelas.
- Surat السَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ. Penamaan ini merupakan sebuah ijtihadiyyah dari para sahabat serta terdapat dalam sebagian hadits, dan termasuk penamaan yang diambil dari kalimat pada permulaan pembukaan surat.
Adapun keutamaan surat al-Burūj, Rasulullah sering membaca surat yang mulia ini pada sebagian shalatnya seperti saat Zhuhur, ‘Ashar dan Isya’. Jabir a\ meriwayatkan:
“Bahwasanya Rasulullah membaca pada shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan surat ‘as-Sama’i wath Thariq’ dan ‘as-Sama’i dzatil Buruj’ serta semisal dari kedua surat tersebut.” (HR. Abu Dawud: 805)
Abu Hurairah a\ mengatakan: “Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan agar membaca surat ‘as-Samawat’ (yaitu surat ath-Thāriq dan al-Burūj) pada shalat Isya’.” (HR. Ahmad: 8308)
Dalam surat al-Burūj, Allah memaparkan gambaran bagaimana kejinya tindakan musuh-musuh Islam terhadap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam membuat fitnah pada agama Islam serta pemeluknya. Sampai-sampai mereka membuat parit yang penuh dengan bara api. Allah menggambarkan semua kejadian ini untuk mengokohkan iman orang muslin serta agar lebih bersabar ketika menghadapi gangguan dari orang-orang musyrik, dan agar melihat kejadian-kejadian yang dilalui oleh orang-orang terdahulu dalam mengemban agama Islam yang mulia dan semangat keimanan mereka dalam menghadapi pedihnya siksaan.
Kemudian Allah menjelaskan bukti-bukti kuasa-Nya, dengan memberikan pertolongan dan kemenangan bagi orang yang beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya, serta memberikan kenikmatan abadi, yaitu surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Itulah keberuntungan yang sangat besar.
Adapun orang musyrik yang selalu menindas orang muslim, Allah tidak membiarkan mereka begitu saja, namun Allah telah siapkan siksaan yang sangat keras bagi mereka, yaitu adzab neraka Jahannam. Sebagaimana juga yang terjadi pada kaum Fira’un dan Tsamud, sebagai akibat dari ulah mereka, agar menjadi pelajaran bagi penentang Islam dan kabar gembira bagi orang yang berpegang teguh dengan ajaran-Nya.[4]
Tafsir ayat:
Allah membuka surat al-Burūj dengan bersumpah terhadap langit yang mempunyai gugusan bintang dengan firman-Nya:
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ
Demi langit yang mempunyai gugusan bintang
Ibnu Katsir mengatakan: “Allah bersumpah dengan langit beserta gugusan bintangnya, dan ia adalah bintang-bintang yang besar, sebagaimana yang telah lalu penjelasannya pada firman Allah:
تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيرًا
Mahasuci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya. (QS. al-Furqan: 61)
Dan yang dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa dia (yang dimaksud) adalah tempat orbitnya matahari dan bulan yang memiliki 12 rasi. Matahari mengelilingi salah satu darinya selama satu bulan, dan bulan mengelilingi salah satu darinya dua hari dan sepertiganya, maka menjadilah 28 poros, kemudian bersembunyi selama dua hari.”[5]
وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ
dan hari yang dijanjikan
Ath-Thabari menafsirkan: “Allah berfirman sekaligus bersumpah dengan hari yang dijanjikan kepada semua hamba-Nya untuk memutuskan pengadilan di antara mereka, yaitu hari kiamat.”[6]
Syaikh as-Sa’di menjelaskan: “Maksudnya adalah hari kiamat, yang mana Allah telah berjanji pada seluruh makhluk untuk mengumpulkan semuanya pada hari tersebut, serta menyatukan orang-orang terdahulu maupun yang akhir, jauh maupun dekat, yang tidak memungkinkan untuk berubah, dan tidaklah Allah menyelisihi janji-Nya.”[7]
وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ
dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.
Ath-Thabari mengatakan: “Ulama tafsir berbeda pendapat dalam makna tersebut. Sebagian mereka mengatakan ketika Allah bersumpah dengan ‘asy–Syahid’ (yang menyaksikan) yaitu hari Juma’t, dan ‘Masyhud’ (yang disaksikan), kata mereka adalah hari Arafah.”[8]
Ada juga yang mengatakan asy-Syahid adalah Allah dan Rasulullah,[9] sebagaimana firman Allah:
وكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. an-Nisā’: 79)
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami datangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)? (QS. an-Nisā’: 41)
Dan Masyhud adalah hari kiamat, sebagaimana Allah berfirman:
ذَلِكَ يَوْمٌ مَجْمُوعٌ لَهُ النَّاسُ وَذَلِكَ يَوْمٌ مَشْهُودٌ
Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). (QS. Hūd: 103)
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan: “Dan makna yang lebih umum, bahwa dia adalah yang menjumpai serta yang dijumpai, yang mengetahui serta yang diketahui, yang melihat serta yang dilihat, dan ini makna yang lebih pas. Adapun selainnya dari makna-makna yang telah disebutkan hanya sekadar permisalan, bukan pengkhusuan.”[10]
Faedah ayat:
1- Kesempurnaan kemampuan Allah ﷻ.
Semua makhluk yang diciptakan Allah dengan beraneka ragam bentuk dan sifat, serta memiliki keajaiban-keajaiban yang sangat mengagumkan, semisal matahari, bulan dan gugusan bintang. Mereka berjalan teratur sesuai dengan orbit masing-masing. Kejadian alam tersebut menunjukkan atas kesempurnaan kebesaran Allah, serta rahmat-Nya, luas keilmuan-Nya dan kebijaksanaan-Nya. (QS. al-Mā’idah: 17)
2- Kebebasan Allah dalam bersumpah.
Allah bersumpah sesuai dengan kehendaknya pada seluruh makhluknya, tanda-tanda kekuasaanya serta hukum-hukum syar’iyah. Adapun manusia tidak boleh bersumpah kecuali atas nama Allah, sebagaimana Rasulullah bersabda:
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ ، أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang bersumpah, hendaklah bersumpah atas nama Allah, atau hendaklah dia diam.” (HR. al-Bukhari: 2679)
Dalam hadits yang lain:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, maka sungguh telah berbuat kesyirikan. (HR. Abu Dawud: 3253)
3- Hari kiamat pasti terjadi.
Sebuah janji Allah akan terjadinya hari kiamat pasti akan terjadi, tidak akan bergeser sedikit pun. Inilah yang selalu diyakini hamba-hamba Allah yang shalih saat mereka mengtaka perkataan ini kepada Allah:
رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (QS. Ali ‘Imran: 9)
Bahkan Allah sendiri meyakinkan kepada semua orang agar mengimaninya, karena Allah mampu untuk menghidupkan mampu untuk mengembalikan, dalam firman-Nya yang artinya:
Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya. (QS. al-Anbiya’: 104)
4- Keagungan yang menyaksikan dan yang disaksikan.
[1] Fatawa Kubra 66.
[2] At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an 23.
[3] Tafsir ath-Thabari 24/332, Asma’ Suwaril Qur’an: 535-536.
[4] Ma’anil Qur’an 3/252. At-Tahrir wa Tanwir 30/211.
[5] Tafsir Ibnu Katsir 8/363, dengan sedikit ringkasan.
[6] Tafsir ath-Thabari 24/332.
[7] Tafsir as-Sa’di: 918.
[8] Tafsir At-Tobary 24/333.
[9] Tafsir Ibnu Katsir 8/366.
[10] Badai’u Tafsir 5/169.