سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Tetap Menjanda, Atau Aku Harus Bagaimana?
Oleh: Ust. Ahmad Sabiq Lc.
Kehidupan rumah tangga memang bagai sebuah biduk yang sedang berjuang mengarungi lautan. Banyak kejadian yang terkadang tidak terbayang. Nyamannya laju biduk pagi hari bersama sepoi angin, akan berubah jika tiba badai menghempas keras. Mungkin kepiawaian nakhoda, setelah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa menyelamatkan biduk tersebut sehingga tak kandas diterjang gelombang. Tapi, terkadang biduk harus karam di tengah jalan karena terjangan badai atau terbentur karang. Sekarang, coba Anda ibaratkan, kepiawaian nakhoda dan anak buah kapal sebagai kebijaksanaan pasutri, sedangkan karang dan badai adalah kematian. Demikianlah, segala sesuatu bisa saja terjadi sesuai dengan yang Allah kehendaki. Itulah takdir, manusia hanya bisa berusaha, namun segalanya kembali hanya kepada Allah semata.
Saat kematian datang menjemput suami tercinta, ia akan membawanya menuju alam kesendirian, hanya berteman amal perbuatan semasa hidup. Lain halnya dengan yang ditinggalkan. Seorang istri dan anak-anak yang terkadang masih kecil, dan masih sangat butuh perhatian ekstra dari orang tuanya.
Saat seperti itulah, sewaktu kesedihan sudah mulai luntur, perasaan pun sudah tidak terlalu menuruti kesedihan, ketika segala berubah perlahan. Muncul keinginan lagi untuk membangun sebuah keluarga dengan pria lain. Tapi tatkala melihat anak, perasaan berat pun muncul. Apakah dengan menikah nantinya tidak akan mengurangi kasih sayang dan perhatiannya pada anak? Pikiran berkecamuk, menimbang mana yang lebih maslahat.
Jika menimbang dengan pola kehidupan masa lalu, kita lihat banyak di antara wanita para sahabat dan wanita-wanita shalihah lainnya yang setelah ditinggal wafat oleh suaminya, menikah lagi, padahal masih punya anak kecil. Tidak jauh-jauh kita mengambil contoh. Tengoklah kehidupan Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam. Beliau mengisahkan kehidupannya setelah kematian Abu Salamah, sebelum bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam,
“Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tidak ada seorang muslim pun yang tertimpa musibah lalu mengatakan sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini dan berilah aku ganti dengan yang lebih baik, kecuali Allah akan mengganti dengan yang lebih baik.” Ummu Salamah mengatakan, “Saat Abu Salamah meninggal, saya berpikir, siapakah orang yang lebih baik dari Abu Salamah? Dia adalah keluarga pertama yang berhijrah kepada Rasulullah. Namun akhirnya saya tetap mengucapkan (doa) tersebut. Ternyata Allah mengganti untukku dengan Rasulullah. Rasulullah mengirim Hathib bin Abu Balta’ah untuk melamarku. Saya katakan kepadanya, ‘Saya itu punya anak perempuan yang masih kecil dan saya adalah wanita yang pencemburu.’ Rasulullah pun bersabda, ‘Adapun anaknya, maka kami berdoa kepada Allah semoga Allah memberikan kecukupan buatnya, dan saya berdoa kepada Allah, semoga Di menghilangkan rasa cemburu (yang berlebihan tersebut).’” (HR. Muslim)
Di sisi lain, ada juga di kalangan wanita sahabat yang memutuskan untuk menjadi single parent setelah ditinggal wafat suaminya. Ummu Hani’ adalah contoh yang bisa dilihat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pernah melamar Ummu Hani’ binti Abu Thalib, namun dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya sudah tidak muda lagi dan saya punya banyak anak.” Rasulullah pun bersabda, “Sebaik-baik wanita yang naik unta adalah wanita yang shalihah dari Quraisy. Dia paling sayang kepada anak yatim sewaktu masih kecil dan paling perhatian (menjaga) terhadap harta suami.” (HR. Muslim)
Saat harus mengambil keputusan
Dalam kondisi demikian, seorang wanita harus cermat dan mempunyai perhitungan yang tepat. Hanya ada satu kaidah dalam menyikapi masalah ini, yaitu menimbang maslahat dan mafsadah. Mana yang lebih maslahat bagi dirinya dan anaknya, antara menikah lagi ataukah harus konsentrasi dalam mengurusi anak.
Syaikh Mushthafa al-‘Adawi mempunyai pembahasan bagus dalam masalah ini. Saya nukilkan secara bebas dengan lengkap ucapan beliau. Dalam Fiqhu Tarbiyatil Abna’, beliau berkata, “Apakah seorang janda lebih baik baginya untuk fokus mengurusi anaknya dan tidak menikah lagi, ataukah lebih baik baginya menikah lagi?
Ini sangat berbeda antara wanita satu dengan yang lainnya, dan sangat berbeda antara seorang calon suami yang satu dengan yang lainnya. Pun sangat berbeda antara satu kondisi dengan kondisi lainnya.
Jika si janda masih muda dan masih kuat syahwatnya, dia khawatir akan terjerumus dalam dosa, serta dia butuh pada suami yang bisa menjaga kehormatannya, maka dalam kondisi ini lebih baik baginya untuk menikah dengan suami yang bisa menjaga kehormatannya dan mengurusi kemaslahatannya serta anak-anak. Demikian juga (hal ini berlaku) jika janda tersebut tidak mampu mengurusi dan mendidik anak-anaknya, apabila ada laki-laki jahat yang mengincarnya untuk melakukan perbuatan keji, serta kondisi-kondisi semisal yang menuntutnya untuk menikah lagi.
Namun, jika si janda tersebut telah berumur serta tidak lagi butuh pada suami, dan dengan pernikahan nantinya malah akan memalingkannya dari mengurusi anak-anak, atau bahkan akan menyia-nyiakan berbagai hak anak di hadapan suami barunya, atau nantinya tidak mampu menggabungkan antara hak suami baru dengan hak anaknya yang butuh bimbingan dan perhatian, maka dalam kondisi seperti ini sebaiknya dia tidak menikah dan konsentrasi mengurusi anaknya. Dua kondisi ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam. Kondisi ini ada dalam kisah Ummu Hani’ di atas.
Imam Nawawi saat mensyarah hadits ini berkata (Syarah Muslim 5/388), ‘Wanita yang sayang pada anaknya adalah yang mengurusi mereka saat mereka ditinggal wafat ayahnya dan dia tidak menikah lagi. Karena jika dia menikah lagi, berarti dia tidak sayang pada anaknya.’ Dan keterangan semacam ini juga dinukil dari Imam al-Harawi. Namun keterangan dari Imam Nawawi ini tidak bisa berlaku secara mutlak, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam menikahi Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha padahal saat itu beliau mempunyai anak kecil, sebagaimana hadits (pertama) di atas. Demikian juga Asma binti ‘Umais Radhiallahu ‘anha, beliau dinikahi oleh Abu Bakar setelah ditinggal wafat oleh suaminya, Ja’far bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu. Setelah itu ia menikah lagi dengan Ali Radhiallahu ‘anhu ketika telah ditinggal wafat oleh Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu.
Kesimpulannya, dalam masalah ini, berbeda antara satu kondisi dengan kondisi lainnya dan antara satu wanita dengan wanita lainnya.” (Fiqhu Tarbiyatil Abna’ hlm. 62-64)
Jangan putuskan sendiri
Manusia makhluk yang lemah, punya segala keterbatasan, apalagi wanita yang memang Allah ciptakan dengan kekurangan agama dan akalnya. Sedangkan masalah ini adalah sebuah masalah yang sangat besar, karena menyangkut masa depan wanita itu dan anak-anaknya.
Karenanya, jangan putuskan masalah sebesar ini sendirian. Mintalah pertimbangan dari orang-orang yang kita percayai ilmu dan hikmahnya. Mintalah pertimbangan kepada orang-orang yang diberikan ilmu oleh Allah, juga kepada keluarga dan kerabat lainnya. Jangankan kita, Rasulullah saja diperintahkan oleh Allah untuk selalu bermusyawarah saat menghadapi masalah besar. (QS. Āli ‘Imrān: 159)
Dan jangan lupakan juga, bahwa sekuat apapun akal manusia dan berapa saja manusia yang kita ajak bermusyawarah, namun segala sesuatu ada di tangan Allah. Karenanya, mintalah petunjuk kepada Allah dengan shalat Istikharah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Apabila seseorang di antara kamu berhasrat melakukan satu perkara, hendaknya ia mengerjakan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian bacalah doa ini:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ أَوْ قَالَ فِيْ عَاجِلِ أَمْرِيْ وآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِي دِيْنِيْ وَمعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ أَوْ قَالَ فِيْ عَاجِلِ أَمْرِيْ وآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kekuatan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu. Aku memohon karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sementara aku tidak kuasa. Engkau Mahamengetahui, sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Mahamengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku, bagi agamaku, bagi hidupku dan baik akibatnya terhadap diriku (atau ia katakan: baik bagiku di dunia dan akhirat) maka tetapkanlah dan mudahkanlah itu bagiku. Dan jika Engkau tahu bahwa perkara ini buruk bagiku, bagi agamaku, hidupku serta bagi akibatnya terhadap diriku (atau ia katakan: buruk bagiku di dunia maupun akhirat), maka jauhkanlah perkara ini dariku dan jauhkanlah diriku darinya, serta tetapkanlah kebaikan untukku di mana saja aku berada, kemudian jadikanlah diriku ridha menerimanya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Lalu silakan ia menyebut kepentingannya.” (HR. al-Bukhari 3/48, Abu Dawud 4/396)
Kuatkanlah munajat kita kepada Allah, niscaya Allah akan memilihkan yang terbaik untuk kita dan keluarga kita, untuk dunia dan akhirat kita. Wallahu a’lam.