سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Beginilah Etika Islam Kepada Pemerintah
Beginilah Etika Islam Kepada Pemerintah
Hubungan Rakyat dan Penguasa Dalam Kacamata Islam
Taat Kepada Pemimpin
Sesungguhnya mendengar dan taat kepada penguasa termasuk pokok Aqidah Salafiyah Ahlussunnah wal-jama‘ah. Tidak ada yang menyelisihi aqidah ini kecuali dapat kita pastikan bahwa dia orang yang jahil atau pengekor hawa nafsu. Cukuplah keseriusan para ulama dalam menjelaskan aqidah yang murni ini dalam kitab-kitab mereka sebagai bukti agungnya kewajiban taat kepada penguasa. Bahkan dahulu dikatakan, “Enam puluh tahun bersama penguasa yang zhalim lebih baik daripada semalam tanpa penguasa.”[1]
Kewajiban mendengar dan taat kepada penguasa berlaku pada segala perkara yang bukan maksiat, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam memaksiati al-Khaliq (Sang Maha-pencipta) ﷻ. Dalil-dalil yang menerangkan ushul yang agung ini di antaranya adalah sebagai berikut:
Allah ﷻ berfirman yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisā’: 59)
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Majmū‘ Fatāwá (18/158), “Ulil-amri mencakup dua golongan, yaitu ulama dan penguasa.”[2]
“Perhatikanlah bersamaku konteks ayat ini, ‘Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil-amri’. Allah tidak mengatakan ‘taatilah ulil-amri di antara kamu’, hal ini karena ulil-amri itu tidak dikhususkan dengan ketaatan, bahkan mereka itu ditaati dalam perkara yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ayat ini, Allah mengulang kalimat ‘taatilah’ untuk Rasul, karena orang yang taat kepada Rasul berarti dia taat kepada Allah. Karena Rasul itu tidak akan memerintahkan selain ketaatan kepada Allah. Adapun para pemimpin kadang kala mereka memerintahkan selain ketaatan kepada Allah, maka tidak boleh menaati kecuali dalam perkara yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.”[3]
Rasulullah n\ bersabda,
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Dengar dan taatilah, sekalipun mereka memukul punggungmu dan mengambil hartamu.”[4]
Rasulullah n\ juga bersabda,
عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan taat.”[5]
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Hadits ini menunjukkan wajibnya taat kepada penguasa, hal itu berlaku dalam perkara yang bukan maksiat. Hikmahnya taat kepada penguasa adalah agar menjaga persatuan kalimat, karena yang namanya perpecahan adalah kehancuran.”[6]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan, “Sebab mengapa kita diperintah taat kepada para penguasa, karena andaikan pemimpin boleh dimaksiati tentulah manusia akan hidup dalam keadaan kacau-balau, dengan demikian tidak ada manfaatnya kita memilih pemimpin, maka harus taat kepada para pemimpin.”[7]
Wajibnya taat kepada penguasa bersifat umum, sama saja kepada penguasa yang baik atau yang zhalim, selama perintah mereka bukan kemaksiatan. Wajib taat kepada penguasa selama mereka masih muslim, mengerjakan shalat, tidak boleh berontak sampai jelas kekafirannya. Inilah keyakinan Ahlussunnah wal-jama‘ah dari zaman ke zaman, mereka mendahulukan nash-nash syar‘i bukan hawa nafsu. Hal ini bertolak belakang dengan keyakinan sebagian kelompok Islam yang membolehkan berontak apabila melihat penguasa yang zhalim(!!)[8], atau kelompok yang terlalu menganggap suci penguasa hingga maksum dan tidak perlu dinasihati(!!)[9]. Allahulmusta‘an.[10]
Al-Imam Abul-Hasan al-Asy’ari[11] mengatakan, “Dan mereka, ahli hadits, telah sepakat untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin. Dan wajib bagi yang punya pemimpin baik yang terpilih dengan cara damai atau kudeta serta mereka ditaati dalam waktu yang lama, sama saja pemimpin yang baik atau jelek, tidak boleh memberontak kepada mereka dengan pedang, mereka jelek atau adil sama saja. Wajib bagi semuanya untuk berperang melawan musuh bersama para pemimpin, haji bersama mereka, membayar sedekah jika mereka meminta, shalat di belakang mereka, hari raya bersama mereka.”
Al-Imam ath-Thahawi berkata, “Kami tidak membolehkan untuk memberontak atas para pemimpin dan penguasa sekalipun mereka berbuat semena-mena. Kami tidak membolehkan mendoakan jelek untuk mereka, tidak boleh mencabut ketaatan dari mereka. Kami berpandangan bahwa taat kepada para pemimpin termasuk ketaatan kepada Allah sebagai sebuah kewajiban, selama mereka tidak memerintahkan maksiat. Kami mendoakan kebaikan bagi mereka dan keselamatan.”[12]
Al-Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni mengatakan, “Para ahli hadits berpendapat untuk shalat Jum‘at, hari raya, dan shalat lainnya di belakang pemimpin yang muslim, sama saja dia pemimpin yang baik atau jelek. Mereka berpandangan untuk jihad melawan orang kafir bersama pemimpin, baik atau jelek. Ahli hadits juga berpandangan untuk mendoakan kebaikan bagi para pemimpin. Mereka tidak berpendapat untuk keluar dan memberontak pemimpin dengan pedang, sekalipun terlihat dari para pemimpin kesalahan hingga berpaling dari keadilan dan berpihak pada sesuatu yang curang dan penyimpangan.”[13]
Al-Hafizh Abu Bakr al-Isma‘ili mengatakan, “Ahli hadits berpandangan untuk mendoakan pemimpin dengan kebaikan, mendoakan agar mencintai keadilan. Mereka tidak berpandangan untuk keluar dan memberontak dengan pedang kepada para pemimpin.”[14]
Al-Imam Abul-Hasan al-Asy‘ari mengatakan, “Ahli hadits berpandangan untuk mendoakan para pemimpin kaum muslimin dengan kebaikan, dan mereka melarang memberontak dengan pedang kepada para pemimpin, dan tidak ikut berperang tatkala fitnah berkecamuk.”[15]
Adab Rakyat Kepada Pemimpin
Karena penguasa mempunyai kedudukan yang tinggi, Islam mengatur bagaimana seharusnya hubungan antara rakyat dan penguasa, agar hubungan ini berjalan harmonis hingga nantinya terbentuk sebuah pemerintahan yang kita idamkan bersama. Berikut ini sebagian adab kepada penguasa:
1. Menghormati penguasa
Islam sangat memuliakan penguasa. Hal itu karena beratnya tugas yang mereka emban dalam mengatur roda pemerintahan. Islam menempatkan mereka dalam derajat yang terhormat. Tidak boleh bagi siapa pun untuk melecehkan penguasa, baik dengan celaan, ghibah, atau yang lainnya. Namun, sangat disayangkan, ajaran yang mulia ini sudah banyak dilupakan oleh sebagian kaum muslimin! Tidak aneh kalau penguasa sekarang tidak berwibawa dan mudah dijatuhkan, dicela, dan direndahkan. Ketahuilah, wahai saudaraku, Rasulullah n\ melarang keras sikap perendahan kepada penguasa; beliau bersabda,
اَلسُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ فَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَ اللهُ وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللهُ
“Para penguasa adalah naungan Allah di muka bumi. Barang siapa memuliakan penguasa, Allah akan memuliakannya. Barang siapa menghina penguasa, Allah akan hinakan dia.”[16]
Al-Imam Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitabnya as-Sunnah (2/727) dari Mu‘awiyah bin Abi Sufyan dia berkata, “Ketika Abu Dzar keluar menuju Rabadzah dia bertemu dengan sekelompok penduduk dari Iraq. Mereka berkata, ‘Wahai Abu Dzar, kami sudah tahu apa yang dilakukan penguasa terhadapmu, duduklah dan tancapkanlah bendera pemberontakan, maka orang-orang akan berdatangan kepadamu.’ Abu Dzar berkata, ‘Tenang, tenang, wahai ahli Islam, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah n\ bersabda, “Akan ada sepeninggalanku para penguasa. Hormatilah mereka, barang siapa mencari celah kejelekannya, sungguh dia telah meruntuhkan dinding Islam. Tidak akan diterima taubatnya hingga ia mengembalikan dinding yang dirusak sebagaimana semula”.’”
Semoga Allah merahmati Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari ketika berkata, “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan ulama. Apabila mereka mengagungkan dua golongan ini, Allah akan perbaiki dunia dan akhirat mereka. Apabila mereka merendahkannya, berarti mereka telah menghancurkan dunia dan akhirat mereka sendiri.”[17]
2. Jangan dicela
Mencela kehormatan penguasa adalah kesalahan yang besar dan perbuatan yang jelek.
Rasulullah n\ bersabda,
لَا تَسُبُّوْا أُمَرَاءَكُمْ وَلَا تَغُشُّوْهُمْ وَلَا تَعْصُوْهُمْ وَاتَّقُوْا اللهَ وَاصْبِرُوْا فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيْبٌ
“Jangan kalian mencela penguasa kalian, jangan kalian menipu dan membencinya. Bertaqwa dan bersabarlah kepada Allah, sesungguhnya perkaranya dekat.”[18]
Ziyad bin Kusaib al-Adawi berkata, “Aku pernah bersama Abu Bakrah duduk di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian tipis. Abu Bilal berkata, ‘Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik!’ Abu Bakrah berkata, ‘Diamlah! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah n\ bersabda, “Barang siapa menghina penguasa Allah di muka bumi, Allah akan menghinakannya”.’”[19]
Larangan mencela penguasa bukan hanya penghormatan kepada mereka semata, melainkan demi membendung kerusakan yang lebih besar. Tidak mustahil berawal dari celaan berujung pada pemberontakan. Apabila perkaranya sudah separah itu maka tunggulah kehancuran, karena tidaklah larangan agama ini diterjang kecuali akan membawa kerugian bagi pelakunya. Pahamilah sekali lagi, wahai saudaraku!
3. Mengingkari kemungkaran penguasa
Amar makruf nahi mungkar merupakan salah satu asas agama ini. Tegaknya amar makruf nahi mungkar akan membawa kebaikan dan kebatilan akan punah. Allah ﷻ berfirman,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS Āli ‘Imrān: 104)
Rasulullah n\ bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لمَ ْيَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذٰلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Barang siapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.”[20]
Lantas apabila sudah jelas kewajiban amar makruf nahi mungkar, bagaimanakah cara yang syar‘i dalam mengingkari kemungkaran penguasa? Hal ini perlu dipahami dengan baik, agar kita tidak salah melangkah. Alih-alih ingin amar makruf nahi mungkar malah akhirnya membawa kerusakan.
Al-Imam Ibnu Nuhas mengatakan, “Mengingkari/mencegah kemungkaran penguasa, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk mencegahnya dengan kekuatan tangan, tidak boleh mengangkat senjata, atau mengumpulkan orang untuk memberontak, karena yang demikian itu akan mengobarkan fitnah, menimbulkan kejelekan, dan menjatuhkan kewibawaan penguasa dari hati rakyat, bahkan bisa jadi mendorong rakyat untuk berontak, menghancurkan negeri, dan sebagainya dari kejelekan yang tidak samar lagi.”[21]
Al-Imam Ahmad mengatakan, “Penguasa tidak boleh ditentang, karena pedangnya terhunus.”[22]
Al-Imam Ibnu Muflih mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang pun untuk mengingkari penguasa kecuali dengan nasihat dan peringatan dari hukuman dunia dan akhirat, hal itu wajib dan selain itu tidak boleh.”[23]
Kesimpulan dari perkataan di atas, bahwa manhaj Ahlussunnah dalam masalah ini adalah berusaha mengumpulkan hati manusia agar bagaimana mereka mencintai penguasa, menyebarkan rasa cinta antara rakyat dan penguasa, mengajari rakyat agar bersabar atas kecurangan penguasa—berupa monopoli mereka terhadap harta, perbuatan zhalimnya, dan lain-lain—, tetap menasihati penguasa dengan rahasia, memperingatkan penguasa dari kemungkaran secara umum tanpa menyebutkan individu orangnya, seperti memperingatkan bahaya zina secara umum, riba secara umum, korupsi secara umum, dan sebagainya.[24]
Renungkanlah penjelasan ini, wahai saudaraku, pahamilah dan berpikirlah dengan akal yang jernih, terimalah dengan hati yang lapang, niscaya engkau akan selamat dari jeratan dan embusan syubhat orang yang menyimpang dari jalan yang lurus ini.
4. Nasihati secara rahasia
Penguasa adalah bagian kaum muslimin, mereka berhak dinasihati. Akan tetapi, menasihati penguasa tidak sama seperti menasihati orang lain. Bagaimana caranya? Renungilah hadits berikut:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلٰكِنْ لِيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa hendak menasihati penguasa, janganlah dia menampakkan (nasihat)nya terang-terangan. Akan tetapi, hendaklah dia mengambil tangannya (penguasa tersebut), kemudian menyepi. Apabila penguasa itu mau menerima, maka itulah yang dimaksud. Apabila tidak, sungguh dia telah menunaikan kewajibannya.”[25]
Al-Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan bahwasanya Usamah bin Zaid d\ pernah ditanya, “Tidakkah engkau menemui ‘Utsman (a\) kemudian menasihatinya?” Beliau menjawab, “Apakah kamu pikir saya tidak menasihatinya kecuali harus memberitahumu?! Sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata, dan aku tidak ingin membuka rahasia.”[26]
Al-Hafizh ‘Iyadh berkata, “Maksud Usamah (a\) adalah dia tidak ingin membuka pintu pengingkaran kepada penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akibat jeleknya. Bahkan hendaklah mengingkari dengan lemah lembut, menasihati secara rahasia, karena hal itu lebih bisa diterima.”[27]
Al-Imam asy-Saukani berkata, “Selayaknya bagi orang yang melihat kesalahan penguasa untuk menasihatinya, janganlah ia menampakkan kejelekannya di hadapan orang banyak.”[28]
Al-Imam al-‘Allamah as-Sindi mengatakan, “Barang siapa hendak menasihati penguasa, seyogianya secara rahasia tidak ketika di hadapan orang banyak.”[29]
Tempuhlah cara yang selamat ini, wahai saudaraku seiman, nasihati penguasa secara rahasia jangan terang-terangan, jangan menebarkan kejelekannya di mimbar-mimbar bebas, di tempat umum, koran, majalah, demonstrasi, atau apa saja dari cara-cara yang menyelisihi jalan Ahlussunnah. Janganlah Anda tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh cara seperti itu walaupun niat pelakunya baik, karena cara yang demikian jelas menyelisihi as-Sunnah.
5. Bersabar atas kezhaliman
Bersabar atas kezhaliman penguasa termasuk pokok aqidah Ahlussunnah wal-jama‘ah. Dalil-dalil dalam masalah ini sangat banyak, bahkan hadits-hadits dalam masalah ini mencapai derajat mutawatir.
Allah ﷻ berfirman,
“(Luqman berkata), ‘Hai Anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).’” (QS Luqmān: 17)
Nabi n\ bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهْهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa melihat sesuatu yang ia benci dari penguasanya maka hendaklah ia bersabar. Barang siapa meninggalkan jama‘ah sejengkal saja maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.”[30]
Rasulullah n\ juga bersabda, “Sesungguhnya akan ada setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka sendiri, perkara-perkara yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang Tuan perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Hendaklah kalian menunaikan kewajiban kalian dan mintalah hakmu kepada Allah.”[31]
Al-Imam al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Ketahuilah, kezhaliman penguasa adalah termasuk di antara kemurkaan Allah. Kemurkaan Allah tidaklah dihadapi dengan pedang, tetapi hadapilah dengan taqwa, tolaklah dengan doa, taubat, dan menjauhkan dosa.”[32]
Al-Imam Ibnu Abil-‘Izzi mengatakan, “Adapun taat kepada penguasa tetap wajib sekalipun mereka zhalim, karena keluar dari ketaatan mereka akan menimbulkan kejelekan yang banyak melebihi kezhaliman mereka. Bahkan sabar atas kezhaliman penguasa adalah penghapus dosa, melipatgandakan pahala, karena tidaklah Allah menimpakan hal itu kecuali karena kejelekan perbuatan kita sendiri. Balasan itu setimpal dengan perbuatan. Wajib bagi kita untuk bersungguh-sungguh meminta ampun kepada Allah, bertaubat, dan memperbaiki diri. Sebab itu, apabila rakyat ingin lepas dari kezhaliman penguasa maka hendaklah mereka mengawali dengan meninggalkan perbuatan zhalim pada diri mereka sendiri.”[33]
6. Memberontak?
Memberontak terhadap penguasa hukumnya adalah haram bagaimanapun keadaan dan kejelekan penguasa.
Rasulullah n\ bersabda, “Sebaik-baiknya penguasa adalah yang kalian mencintainya dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakannya dan mereka mendoakan kalian. Sejelek-jeleknya penguasa adalah yang kalian membencinya dan mereka pun membenci kalian, kalian mencacinya dan mereka mencaci kalian.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita berontak dengan pedang?” Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat.” Apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari penguasa kalian, maka bencilah perbuatannya dan janganlah kalian mencabut ketaatan dari mereka.”[34]
Al-Imam al-Barbahari berkata, “Tidak halal memerangi penguasa dan berontak sekalipun mereka zhalim. Tidak ada di dalam as-Sunnah yang namanya berontak kepada penguasa, karena hal itu akan membawa kerusakan agama dan dunia.”[35]
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Adapun berontak dan memerangi penguasa adalah haram berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sekalipun mereka zhalim dan fasiq.”[36]
Sungguh, sejarah telah mencatat bagaimana kejamnya seorang yang bernama Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Dia telah banyak membunuh jiwa tak berdosa, sampai sahabat yang mulia ‘Abdullah bin az-Zubair d\ terbunuh. Lantas, bagaimana sikap para sahabat yang lain, apakah mereka menyusun kekuatan untuk berontak? Demi Allah, tidak sama sekali, bahkan mereka tetap menganjurkan untuk mendengar dan taat. Zubair bin ‘Adi berkata, “Kami mendatangi Anas bin Malik a\ mengeluhkan perihal Hajjaj. Anas a\ menjawab, ‘Bersabarlah, karena tidaklah datang sebuah zaman kecuali yang setelahnya akan lebih jelek hingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian, aku mendengar ini dari nabi kalian.’”[37]
Walhasil, berontak kepada para penguasa adalah haram.[38] Akan tetapi, sangat disayangkan, masih ada orang-orang yang menyelisihi hal ini dengan lisan dan perbuatan! Bahkan ada yang begitu gigih bersekutu dengan setan memalingkan manusia dari jalan Allah ﷻ. Mereka hasung untuk memberontak kepada penguasa atas nama oposisi, demokrasi, dan amar makruf nahi mungkar!![39]
7. Doakan kebaikan
Kebaikan penguasa adalah idaman bagi setiap muslim, karena kebaikan penguasa adalah kebaikan bagi rakyat dan negara.
‘Umar bin al-Khaththab a\ mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama penguasanya baik.”[40]
Abu ‘Utsman Sa‘id bin Isma‘il berkata, “Nasihatilah penguasa, perbanyaklah mendoakan kebaikan bagi mereka dengan ucapan, perbuatan, dan hukum. Karena, apabila mereka baik, rakyat akan baik. Janganlah kalian mendoakan kejelekan dan laknat bagi penguasa, karena kejelekan mereka akan bertambah dan bertambah pula musibah bagi kaum muslimin. Doakanlah mereka agar bertaubat dan meninggalkan kejelekan sehingga musibah hilang dari kaum muslimin.”[41]
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Andaikan aku punya doa yang mustajab, niscaya akan aku panjatkan untuk (mendoakan kebaikan) penguasa.”[42]
Maka, kami mengajak saudara-saudaraku kaum muslimin seluruhnya untuk mendoakan kebaikan penguasa kita, karena kebaikan mereka adalah kebaikan rakyat juga. Kami menyeru kepada seluruh khatib, da‘i, dan alim ulama, doakanlah kebaikan bagi para pemimpin, baik dalam khutbah Jum‘at, ceramah agama, dan lain-lain karena hal itu termasuk sunnah yang telah banyak ditinggalkan.
Al-Imam al-Barbahari berkata, “Apabila engkau melihat orang yang mendoakan kejelekan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia seorang pengikut hawa nafsu. Apabila engkau melihat orang yang mendoakan kebaikan bagi penguasa, maka dia adalah pengikut as-Sunnah, Insyaallah.”[43]
Kebaikan Pemimpin Tergantung Pada Kebaikan Rakyat
Ketahuilah, wahai saudaraku, musibah yang silih berganti datang menimpa negeri kita adalah ketentuan Allah ﷻ yang tidak bisa ditolak. Maka dari itu, jangan salahkan siapa-siapa. Jangan salahkan penguasa, para elemen negeri, atau rakyatnya. Becerminlah terhadap diri kita masing-masing. Introspeksi diri terhadap kesalahan, karena tidaklah musibah yang menimpa melainkan sebab ulah kita sendiri. Allah ﷻ berfirman,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS ar-Rūm: 41)
Dosa syirik, bid‘ah, dan maksiat masih banyak dikerjakan oleh kita. Sadarkah bahwa ini adalah salah satu sebab musibah??
Lantas bagaimana agar musibah ini lepas atau minimalnya berkurang? Solusinya mudah sekali, wahai saudaraku. Perhatikan firman Allah ﷻ sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra‘d: 11)
Maka, kebaikan negeri ini tergantung dari diri kita masing-masing. Berusahalah agar selalu taat kepada Allah ﷻ, tinggalkan dosa, Insyaallah musibah ini akan hilang, negeri menjadi makmur, dan Allah ﷻ pun akan memilihkan para pemimpin yang baik.[44]
Alkisah ada seorang khawarij yang datang menemui ‘Ali bin Abi Thalib a\ seraya berkata, “Wahai Khalifah ‘Ali, mengapa pemerintahanmu banyak dikritik oleh orang tidak sebagaimana pemerintahannya Abu Bakr dan ‘Umar?!” Sahabat ‘Ali a\ menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakr dan ‘Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang semisalku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu!!”[45]
Allahua‘lam.
[1]
Fiqh as-Siyāsah asy-Syar‘īyah, Dr. Khalid al-Anbari, hlm. 121 — Dar Minhaj
[2]
Lihat pula Tafsīr ath-Thabarī 5/93, Tafsīr Ibnu Katsīr 1/530, Fatḥul-Bārī 8/254, Risālah at-Tabukīyah hlm. 47.
[3] Syarḥ al-‘Aqīdah ath-Thaḥawīyah, Abul-‘Izz al-Hanafi, 2/578.
[4] HR Muslim: 1847
[5] HR al-Bukhari 13/121, Muslim 3/1469
[6] Fatḥul-Bārī 13/112
[7] Syarḥ al-‘Aqīdah as-Safārīnīyah, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 689.
[8] Mereka adalah kelompok Khawarij dan yang sejalan dengan mereka.
[9] Yaitu kelompok Rafidhah dan yang semisal mereka.
[10] Pembahasan ini banyak mengambil manfaat dari dua sumber utama Mu‘āmalatul-Ḥukkām fī Dhau’il-Kitāb was-Sunnah oleh ‘Abdussalam bin Barjas, al-Wardul-Maqthūf oleh Fauzi al-Atsari dengan sedikit tambahan oleh penulis.
[11] Risālah ilá Ahlits-Tsaghar, Abul-Hasan al-Asy‘ari, hlm. 296–297 — tahqiq: ‘Abdullah Syakir bin Muhammad al-Junaid
[12] Syarḥ al-‘Aqīdah ath-Thaḥāwīyah 2/575–576
[13] ‘Aqīdah as-Salaf Ashḥābil-Ḥadīts, al-Imam ash-Shabuni, hlm. 294 — tahqiq: Dr. Nashir al-Juday’i
[14] I‘tiqād A’immah Ahlil-Ḥadīts, al-Isma‘ili, hlm. 75–76.
[15] I‘tiqād A’immah as-Salaf Ahlil-Ḥadīts, Dr. Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Khumais, hlm. 319.
[16] HR al-Baihaqi 17/6, as-Sunnah Ibnu Abi ‘Ashim 2/698. Lihat ash-Shaḥīḥah 5/376.
[17] Tafsīr al-Qurthubī 5/260
[18] HR al-Baihaqi dalam Syu‘abul-Īmān 6/69, Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah 2/488 — tahqiq: Dr. Basim al-Jawabirah dan beliau menghasankannya.
[19] Ash-Shaḥīḥah 5/376
[20] HR Muslim: 49, Ahmad 3/10, Abu Dawud: 1140, at-Tirmidzi: 2172, an-Nasa’i 8/111, Ibnu Majah: 1275, Ibnu Hibban: 306
[21] Tanbīhul-Ghāfilīn hlm. 46
[22] Al-Adab asy-Syar‘īyah 1/197
[23] Al-Adab asy-Syar‘īyah 1/195
[24] Mu‘āmalatul-Ḥukkām hlm. 111
[25] HR Ibnu Abi ‘Ashim 2/507, Ahmad 3/403, al-Hakim 3/290. Hadits ini dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilālul-Jannah hlm. 507.
[26] Al-Bukhari 6/330, al-Fatḥ 13/48, Muslim 4/2290
[27] Fatḥul-Bārī 13/52
[28] As-Sailul-Jarar 4/556
[29] Ḥāsyiyah ‘alá Musnad al-Imām Aḥmad 24/50
[30] HR al-Bukhari: 7143, Muslim: 1849
[31] HR al-Bukhari 13/5, Muslim 3/1472
[32] Adab al-Ḥasan al-Bashri hlm. 119
[33] Syarḥ al-‘Aqīdah ath-Thaḥāwīyah 2/578. Alangkah bagusnya ucapan ‘Abdul-Malik bin Marwan ketika berkata, “Berlakulah adil kepada kami wahai seluruh rakyat. Kalian menghendaki dari kami seperti pemerintahan Abu Bakr dan ‘Umar (d\), tetapi kalian tidak mau berjalan bersama kami dan tidak pula mencontoh rakyatnya Abu Bakr dan ‘Umar (d\).” (Sirājul-Muluk hlm. 100)
[34] HR Muslim 3/1481
[35] Syarḥus-Sunnah hlm. 78
[36] Syarḥ Shaḥīḥ Muslim 12/229
[37] HR al-Bukhari 13/20
[38] Lihat kembali Renungan Bagi Para Pemberontak oleh Ustadzuna Arif Fathul Ulum dalam Majalah Al Furqon Edisi 6 Th. ke-5 (1427 H).
[39] Salah satu gembong yahudi yang membunuh ‘Utsman bin ‘Affan a\ selalu berwasiat kepada pengikutnya, “Mulailah dengan mencela para penguasa kalian dan tampakkanlah bahwa hal itu sebuah amar makruf nahi mungkar, maka hati manusia akan condong kepada kalian, baru kemudian ajak mereka untuk berontak!” (Tārīkh Rusul oleh Ibnu Jarir ath-Thabari 4/340)
[40] Dikeluarkan oleh al-Imam al-Baihaqi 8/162
[41] Syu‘abul-Īmān 13/99
[42] Dikeluarkan oleh Abu Nu‘aim dalam al-Ḥilyah 8/91
[43] Syarḥus-Sunnah hlm. 113
[44] Malik bin Dinar menceritakan bahwa Hajjaj ats-Tsaqafi pernah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya acapkali kalian berbuat dosa maka Allah akan timpakan balasannya pada penguasa kalian.” (asy-Syarī‘ah oleh al-Ajurri hlm. 38)
[45] Syarḥ Riyādhush-Shāliḥīn oleh Ibnu ‘Utsaimin 3/43. Yaitu apabila rakyat berbuat zhalim maka akan ditimpakan kepada mereka pemimpin yang zhalim pula. (Syarḥ Riyādhush-Shāliḥīn 3/43, lihat pula Syarḥ al-‘Aqīdah as-Safārīnīyah hlm. 662.)