سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Dibalik Tabir Demonstrasi
MENYINGKAP TABIR
PARA PENDUKUNG DEMONSTRASI
Akhir-akhir ini demonstrasi, aksi jahit mulut, aksi mogok makan, dan aksi protes lainnya kian marak terjadi di negeri ini seiring dengan banyaknya kejadian dan keputusan pemerintah yang dianggap menzhalimi rakyat dan umat Islam; BBM naik, pelantikan gubernur kafir untuk memimpin ibu kota, dan sebagainya.
Demonstrasi adalah sebuah virus ganas yang dicetuskan oleh orang-orang kafir, yang kemudian menular ke dalam tubuh kaum muslimin dan menimbulkan banyak musibah ke dalam diri kaum muslimin. Bahkan konon kabarnya ada nyawa yang melayang dan masjid pun ikut kena cipratan. Semua itu gara-gara aksi demonstrasi tersebut akibat terjadi tawuran dan kerusuhan.
Benarkah demonstrasi merupakan solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi?! Fakta dan realitas yang ada menunjukkan bahwa demonstrasi bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi problematik tersebut, bahkan malah menimbulkan kerusakan yang tidak sedikit.1
Anehnya, sedikit kaum muslimin yang menyadari masalah ini, bahkan banyak dari mereka yang menjadikan demonstrasi sebagai kendaraan untuk merealisasi ambisi-ambisi mereka. Mereka mengemas dan membumbui demonstrasi dengan label-label islami, seperti dikatakan “jihad islami”, “amar ma’ruf nahi mungkar”, dan sebagainya.
Yang lebih mengherankan, ada sebagian kalangan pendukung aksi demonstrasi ini mencomot beberapa dalil dan alasan yang bukan pada tempatnya sehingga mengaburkan masalah bagi orang yang tidak memiliki pengetahuan yang matang. Sekadar contoh, ada sebuah buku berjudul Fiqih Demonstrasi, Kajian Hukum dan Urgensi Unjuk Rasa Dalam Pandangan Islam. Buku ini banyak mengumpulkan berbagai macam syubhat tentang hukum demonstrasi, seperti klaim penulisnya bahwa demonstrasi adalah jihad, syi’ar Islam, metode inkarulmunkar, solusi dari keterpurukan, dan sebagainya.2
Oleh karena itu, terasa penting bagi kami untuk menyingkap beberapa syubhat seputar masalah ini sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin semua. Berikut ini beberapa argumen yang dijadikan dalil oleh para pejuang demonstrasi berikut jawabannya:
Syubhat-syubhat demonstrasi
1. Demonstrasi merupakan jihad
Sebagian kalangan menganggap bahwa aksi unjuk rasa dan demonstrasi merupakan jihad, kemudian sebagian mereka yang memiliki sedikit ilmu mencoba untuk berdalil dengan hadits:
أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِر».
Nabi صلى الله عليه وسلم pernah ditanya tentang jihad yang paling utama, lalu beliau menjawab, “Berani mengatakan kebenaran di sisi pemimpin yang zhalim.”3
Jawaban:
Tidak ragu lagi setiap muslim bahwa jihad merupakan amalan ibadah yang sangat utama, dalam hal ini tidak ada perselisihan di antara setiap muslim. Hanya, harus dibedakan antara jihad yang syar’i dengan jihad prematur. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Al-Qur’an dan Sunnah penuh dengan perintah jihad dan keutamaannya, tetapi harus dibedakan antara jihad syar’i yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya dengan jihad bid’ah yaitu jihad pengekor kesesatan yang berjihad untuk menaati setan sekalipun mereka menyangka jihad dalam menaati Allah seperti jihadnya ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu semisal kelompok Khawarij dan sejenisnya yang memerangi orang Islam dan orang-orang yang lebih utama daripada mereka dari kalangan para sahabat yang mendahului mereka masuk Islam beserta orang-orang yang mengikuti mereka.”4
Jadi, tidak semua peperangan itu merupakan jihad syar’i yang diinginkan oleh agama Islam. Agar kita memahami hal ini, maka perhatikanlah jawaban para sahabat seperti Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdullah ibn Umar, dan Imran ibn Hushain رضي الله عنهم tatkala ditanyakan kepada mereka “kenapa kalian tidak ikut perang (saat fitnah)”, maka mereka menjawab, “Kami telah berperang sehingga tidak ada fitnah dan agama kecuali hanya bagi Allah, tetapi kalian menginginkan agar berperang sehingga muncul fitnah dan agama untuk selain Allah.”5
Jawaban mereka di atas menunjukkan adanya perbedaan antara jihad syar’i seperti yang mereka lakukan bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan perang fitnah seperti beberapa fitnah yang terjadi.
Karena jihad adalah ibadah, maka sebagaimana ibadah lainnya, ia harus memenuhi dua persyaratannya, yaitu: (1) ikhlas hanya untuk Allah, dan (2) sesuai dengan sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم. Maka tidak cukup hanya sekadar niat yang ikhlas dalam jihad tanpa diiringi dengan petunjuk Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang merupakan syarat diterimanya amal seorang hamba. Oleh karena itu, Hudzaifah رضي الله عنه pernah bertanya kepada Abu Musa رضي الله عنه, “Bagaimana menurutmu seorang yang keluar dengan pedangnya dengan mengharapkan wajah Allah, lalu dia berperang hingga mati, apakah dia masuk surga?” Abu Musa رضي الله عنه menjawab, “Ya.” Hudzaifah رضي الله عنه mengatakan, “Tidak, namun apabila dia keluar dengan pedangnya mengharapkan wajah Allah kemudian sesuai dengan perintah Allah lalu terbunuh maka dia akan masuk surga.”6
Maksud ucapan Hudzaifah رضي الله عنه “kemudian sesuai dengan perintah Allah” yakni sesuai dengan sunnah sehingga jihadnya adalah jihad yang benar, sebagaimana dijelaskan oleh sahabat Ibnu Mas’ud رضي الله عنه, “Apakah dia perang di atas sunnah atau di atas bid’ah.”7
Hasan al-Bashri pernah memperhatikan jihad suatu kaum lalu berkomentar, “Ternyata mereka menghasungkan pedang dalam kebid’ahan!!”
Oleh karena itu, hendaknya seorang yang cemburu terhadap agamanya mengerahkan tenaganya guna membedakan antara jihad yang syar’i dengan jihad prematur yang berlabel jihad, karena ruh seorang mukmin sangatlah mahal harganya untuk ditumpahkan tanpa alasan yang benar.8
Adapun hadits di atas, ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم ditanya tentang jihad yang paling utama lalu beliau menjawab “kalimat kebenaran di sisi pemimpin yang zhalim”, hadits ini sama sekali tidak menguatkan demonstrasi, bahkan berseberangan seratus persen dengan demonstrasi, karena maksud hadits ini adalah seorang yang berani menyampaikan kebenaran di sisi pemimpin. Yakni dia berhadapan langsung dengan pemimpin tersebut, hal yang menunjukkan bahwa dia betul-betul ikhlas, berani menanggung risiko, dan menginginkan kebaikan.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan demonstrasi, karena biasanya para demonstran adalah penakut dan tidak berani berhadapan langsung dengan pemimpin. Sebab itu, mereka perlu berteriak dan meraung dari jauh seperti macan meraung dan mengumpulkan massa dalam jumlah yang banyak guna menjadi tamengnya bila terjadi suatu hal yang tidak diinginkan sehingga risiko ditanggung secara bersama.
Perbedaan lainnya, seandainya seorang yang berani menyampaikan kebenaran secara langsung kepada pemimpin secara empat mata tersebut mendapatkan risiko maka risiko ditanggung dia sendiri. Hal ini jauh berbeda dengan demonstrasi, karena risikonya akan ditanggung oleh para demonstran yang berjumlah banyak dan juga akan ditanggung oleh rakyat akibat kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi.9
2. Demonstrasi merupakan bentuk inkarulmunkar
Banyak kalangan menilai bahwa aksi demonstrasi adalah termasuk metode dalam menegakkan pilar inkarulmunkar ‘mengingkari kemungkaran’ yang diperintahkan oleh agama.
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa mengingkari kemungkaran merupakan kewajiban agama dan ibadah yang sangat utama. Namun, harus diketahui bahwa mengingkari memiliki etika dan kaidah yang telah diajarkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Marilah kita renungkan bersama. Nabi صلى الله عليه وسلم telah mengabarkan kepada kita bahwa akan ada para pemimpin yang berbuat zhalim. Namun demikian, Nabi صلى الله عليه وسلم tidak mengajarkan kepada umatnya agar melakukan aksi demonstrasi. Lantas, apakah demonstrasi adalah metode jitu yang dilalaikan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم, sedangkan para komunis dan penyembah berhala lebih pandai dan mendapatkan petunjuk?! Ingatlah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم adalah seorang yang paling mengerti tentang metode dakwah yang terbaik!! Mungkinkah Nabi صلى الله عليه وسلم mengajarkan kepada umatnya tata cara buang air besar, lalu melupakan untuk mengajarkan kepada mereka tata cara inkarulmunkar?!!
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلَّا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ».
Abu Dzar al-Ghifari رضي الله عنه pernah mengatakan, “Rasulullah meninggalkan kita, sedangkan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menjelaskan kepada kami, sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, ‘Tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian.’”10
Kemudian, apakah kita akan mengingkari kemungkaran dengan kemungkaran juga?! Apakah kita tidak perlu memperhatikan antara maslahat dan mafsadatnya?! Apakah kita akan mengingkari suatu kemungkaran dengan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar darinya?! Semoga Allah merahmati al-Imam Hasan al-Bashri tatkala melihat seorang khawarij yang keluar untuk mengingkari kemungkaran, beliau berkata, “Si miskin itu melihat kemungkaran dan ingin mengingkarinya tetapi malah jatuh pada kemungkaran yang lebih mungkar darinya.”11
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pernah dikatakan: Hendaknya perintahmu kepada kebaikan dengan cara yang baik dan laranganmu dari kemungkaran bukan suatu kemungkaran. Kalau amar ma’ruf nahi mungkar termasuk kewajiban dan sunnah yang agung, maka hendaknya maslahatnya lebih besar daripada kerusakannya.”12
Maka tidak boleh mengingkari suatu kemungkaran apabila malah mendatangkan kemungkaran yang lebih besar. Dalil-dalil tentang kaidah ini banyak sekali, tetapi kami akan mencukupkan dengan satu saja, yaitu hadits Arab Badui yang kencing di masjid:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مَهْ مَهْ. قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ». فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ. ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ: «إِنَّ هٰذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هٰذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ». أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ .قَالَ فَأَمَرَ رَجُلًا مِنَ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ.
Dari Anas ibn Malik رضي الله عنه berkata, “Ketika kami sedang di masjid bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم, tiba-tiba datang seorang Arab Badui lalu berdiri untuk kencing di masjid. Para sahabat Rasul menghardiknya, tetapi Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, ‘Janganlah kalian memutusnya, biarkanlah dia selesai kencing dulu.’ Mereka membiarkan orang tersebut kencing hingga selesai. Setelah itu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم menasihatinya, ‘Sesungguhnya masjid ini tidak boleh untuk kotoran dan kencing, masjid adalah tempat untuk dzikir, shalat, dan membaca al-Qur’an.’ Atau seperti sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Setelah itu, Nabi صلى الله عليه وسلم memerintahkan seorang untuk mengambil satu ember air dan menyiramnya.13
Perhatikanlah hadits ini baik-baik. Ketika para sahabat hendak mengingkari orang Badui yang kencing di masjid tersebut, Nabi صلى الله عليه وسلم menahan mereka karena apabila hal itu diteruskan maka akan mendatangkan kerusakan yang lebih besar, di antaranya:
Pertama: Akan membahayakan orang tersebut karena memberhentikan seorang yang tengah kencing adalah berbahaya dan menyakitkan.
Kedua: Seandainya dibiarkan terlebih dahulu maka dia akan menumpahkan najis pada bagian kecil dari masjid, tetapi kalau saja dia ditegur di tengah-tengah kencing niscaya air kencing akan mengena pada badannya dan pakaiannya serta malah melebar ke bagian masjid lainnya.14
Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وسلم mensyari’atkan kepada umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran agar terwujud kebaikan yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya. Namun, apabila mengingkari kemungkaran mengharuskan munculnya kerusakan yang lebih besar maka tidak boleh mengingkarinya sekalipun perbuatan dan pelakunya tersebut dibenci oleh Allah, seperti mengingkari para pemimpin dengan memberontak mereka, karena ini adalah sumber segala kerusakan dan fitnah sepanjang zaman.”
Lanjutnya, “Barang siapa mencermati berkecamuknya berbagai fitnah yang berbentuk kecil maupun besar di dunia Islam, niscaya dia akan mengetahui bahwa faktor penyebabnya adalah melalaikan kaidah ini dan tidak sabar menghadapi kemungkaran lalu ingin mengubahnya tetapi malah membawa kerusakan yang lebih besar darinya.”15
Sungguh ini adalah ucapan berharga yang sepantasnya dicatat dengan tinta emas. Camkanlah kaidah ini baik-baik karena melalaikannya telah membuat mayoritas orang terpeleset dalam fitnah yang kerusakan. Adakah di antara kita yang mau memperhatikannya dan memetik pelajaran darinya?!! Ya Allah, jauhkanlah kami dari fitnah.
Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah melanjutkan, “Mengingkari kemungkaran memiliki empat tingkatan:
Pertama: Apabila kemungkaran tersebut hilang dan berganti sebaliknya
Kedua: Apabila mengecil sekalipun tidak hilang seluruhnya
Ketiga: Apabila berganti dengan kemungkaran semisalnya
Keempat: Apabila berganti kepada yang lebih parah darinya
Tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan, tingkatan ketiga perlu pertimbangan, dan tingkatan keempat hukumnya haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah—semoga Allah menerangi kuburnya—berkata, ‘Pada zaman pasukan Tatar, aku bersama para kawanku pernah melewati orang-orang lagi asyik minum khamar. Seorang kawan mengingkari mereka, namun aku menegurnya seraya kukatakan padanya: Sesungguhnya Allah mengharamkan khamar karena menghalangi manusia dari mengingat Allah dan mengingat shalat, dan mereka apabila minum khamar maka mereka tidak membunuh, menawan anak-anak, dan merampok harta, jadi biarkan saja mereka.’”16
Kesimpulannya, demonstrasi bukanlah metode mengingkari kemungkaran yang dianjurkan dalam agama, melainkan termasuk metode yang malah mendatangkan kerusakan yang lebih besar, sehingga hukumnya terlarang.
3. Demonstrasi Umar dan Hamzah
Sebagian orang yang membolehkan aksi demonstrasi berdalil dengan kisah Umar dan Hamzah رضي الله عنهما sebagai berikut:
Tatkala Umar رضي الله عنه telah memeluk agama Islam dan disambut takbir oleh kaum Muslimin saat itu, dia lalu berkata kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, “Wahai Rasulullah, bukankah kita di atas kebenaran?” Jawab Nabi صلى الله عليه وسلم, “Ya.” Umar رضي الله عنه mengatakan, “Kalau begitu, lantas mengapa kita bersembunyi? Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, kami akan keluar.” Akhirnya, mereka pun keluar beramai-ramai menjadi dua barisan, barisan pertama bersama Umar رضي الله عنه dan barisan lainnya bersama Hamzah رضي الله عنه hingga mendatangi masjid. Quraisy melihat Umar dan Hamzah dan mereka merasa mendapatkan pukulan berat saat itu.
Jawaban:
Kisah ini cukup masyhur dan dijadikan dalil untuk melegalkan aksi demonstrasi yang sekarang marak digelar oleh hampir semua lapisan di mana-mana. Namun, kisah ini tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali disebabkan lemah sanad dan matannya.
Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 1/40 dan ad-Dala’il No. 194 dari Muhammad ibn Ahmad ibn Hasan, dari Muhammad ibn Utsman ibn Abi Syaibah, dari Abdul Hamid ibn Shalih, dari Muhammad ibn Aban dari Ishaq ibn Abdullah dari Aban ibn Shalih dari Mujahid dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما dari Umar ibn al-Khaththab رضي الله عنه.
Kisah ini lemah sekali, karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Ishaq ibn Abdullah ibn Abu Farwah, sedangkan dia matrukulhadits (ditinggalkan haditsnya). Al-Imam an-Nasa’i berkata, “Dia seorang yang ditinggalkan haditsnya.” Al-Imam al-Bukhari berkata, “Para ulama meninggalkannya.” Al-Imam al-Baihaqi berkata, “Dia ditinggalkan haditsnya.” Al-Imam Ahmad berkata, “Tidak halal meriwayatkan darinya.” Komentar senada juga dikatakan oleh para ulama ahli hadits lainnya.17
Karena statusnya lemah sekali, kisah ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum. Dan anggaplah kalau kisah ini shahih maka hal itu terjadi di awal Islam sebelum sempurnanya syari’at yang mulia. Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibn Baz setelah menjelaskan bahwa kisah ini lemah karena bersumber dari Ishaq ibn Abi Farwah, sedangkan dia adalah rawi yang lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah, beliau mengatakan, “Seandainya kisah ini shahih, maka kejadian ini di awal Islam yakni sebelum sempurnanya syari’at.”18
4. Ibunda Aisyah juga berdemonstrasi
Sebagian pejuang demonstrasi berdalil dengan keluarnya Ibunda Aisyah رضي الله عنها dalam fitnah yang masyhur dalam sejarah. Hal ini menunjukkan bolehnya wanita keluar dalam rangka menuntut kebenaran.
Jawaban:
Sungguh mengherankan, mereka berdalil dengan perbuatan Ibunda Aisyah رضي الله عنها tetapi melupakan firman Allah سبحانه وتعالى dalam al-Qur’an:
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ}
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu.” (QS al-Ahzab [33]: 33)
Bukankah seharusnya bagi para wanita untuk lebih dahulu melaksanakan hukum Allah pada diri mereka sebelum menuntut orang lain agar menegakkan hukum Allah?! Ataukah politik yang mengubah hukum dan keadaan?!
Tahukah mereka bahwa keluarnya Aisyah رضي الله عنها tidak disetujui oleh para sahabat lainnya. Ibnu Hajar berkata: Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Yazid al-Madini berkata: Ammar ibn Yasir رضي الله عنهما pernah mengatakan kepada Aisyah رضي الله عنها usai Perang Jamal, “Alangkah jauhnya perjalanan ini dari kewajiban yang diwajibkan atas kalian!!” Dia mengisyaratkan pada firman Allah:
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ}
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (QS al-Ahzab [33]: 33)
Aisyah رضي الله عنها mengatakan, “Abul Yuqdhan?” Ammar رضي الله عنه menjawab, “Ya!” Aisyah رضي الله عنها berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu ternyata dirimu berani mengatakan kebenaran.” Ammar رضي الله عنه menjawab, “Segala puji bagi Allah yang memberikan hukum pada saya melalui lisan Ibunda.”19
Bahkan, tahukah mereka bahwa Aisyah رضي الله عنها sendiri menangis sejadi-jadinya atas keluarnya dalam fitnah?! Az-Zaila’i berkata, “Aisyah رضي الله عنها sangat menyesal atas perbuatannya, sebagaimana dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam al-Isti’ab dari Ibnu Abi ’Atiq berkata: Aisyah رضي الله عنها pernah mengatakan kepada Ibnu Umar رضي الله عنهما, ‘Wahai Abu Abdirrahman, kenapa engkau tidak mencegah perjalananku?’ Dia menjawab, ‘Saya melihat seorang yang mengajakmu yakni Ibnu Zubair.’ Aisyah رضي الله عنها berkata, ‘Demi Allah, seandainya engkau melarangku niscaya saya tidak akan keluar.’”20
Bahkan, karena keluarnya itu, Aisyah رضي الله عنها enggan untuk dikubur di rumahnya padahal sebelumnya beliau berangan-angan untuk dikubur bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Beliau mengatakan, “Aku telah melakukan suatu dosa setelah Rasulullah صلى الله عليه وسلم, kuburlah aku bersama para istri Nabi صلى الله عليه وسلم saja.” Akhirnya, beliau dikubur di kuburan Baqi’.”21
Adz-Dzahabi berkomentar, “Maksud beliau dengan dosa adalah keluarnya dalam Perang Jamal, sebab beliau sangat menyesal dan bertaubat dari perbuatan tersebut, padahal beliau tidak melakukan hal itu kecuali dengan niat kebaikan, sebagaimana ijtihad Thalhah ibn Abdullah dan Zubair ibn Awwam serta para sahabat lainnya.”22
Jadi, kisah ini tidak bisa dijadikan landasan sama sekali tentang demonstrasi wanita, apalagi kalau kita ingat perbedaan yang sangat tajam antara tujuan keluarnya Aisyah رضي الله عنها untuk mendamaikan dan mencegah dari pertumpahan darah dengan perbuatan para wanita demonstran yang bertujuan menyalakan api fitnah!! Maka pahamilah.23
Pengganti demonstrasi
Apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan peringatan kepada kita semua umat Islam agar segera sadar dan memperbaiki diri, memperbanyak istighfar dan taubat akan kesalahan, bukan menghadapinya dengan demonstrasi dan kekerasan, karena tidaklah Allah memberikan pemimpin kepada kita kecuali sesuai dengan amal perbuatan kita.
Alangkah indahnya ucapan al-Imam Hasan al-Bashri tatkala berkata, “Ketahuilah—semoga Allah mengampunimu—bahwa kezhaliman pemimpin adalah sebagian di antara kemurkaan Allah, sedangkan kemurkaan Allah tidaklah diobati dengan pedang, tetapi diobati dengan do’a, taubat, dan meninggalkan dosa.”24
Hal ini sesuai firman Allah:
{وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS al-An’am [6]: 129)
Dalam ayat yang mulia ini terdapat faedah bahwa: “Apabila hamba banyak melakukan kezhaliman dan dosa-dosa, maka Allah سبحانه وتعالى akan menjadikan bagi mereka para pemimpin zhalim yang mengajak kepada kejelekan. Sebaliknya, apabila mereka baik, shalih, dan istiqamah dalam ketaatan, niscaya Allah سبحانه وتعالى akan mengangkat bagi mereka para pemimpin yang adil dan baik.”25
Maka cara yang tepat mengatasi masalah ini dengan bertaubat kepada Allah, memperbaiki aqidah, mendidik dan menanamkan Islam yang shahih pada diri kita serta keluarga masing-masing sebagai realisasi dari firman Allah سبحانه وتعالى:
{إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ}
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’d [13]: 11)
Hal ini seperti yang disinyalir oleh seorang tokoh aktivis dakwah modern dalam ucapannya:
أَقِيْمُوْا دَوْلَةَ الإِسْلَامِ فِيْ قُلُوْبِكُمْ تَقُمْ لَكُمْ عَلَى أَرْضِكُمْ.
“Tegakkanlah daulah Islam di hati kalian, niscaya akan terwujud daulah Islam di atas bumi kalian.”26
Ibnu Abil Izzi al-Hanafi berkata, “Adapun perintah agar tetap taat kepada pemimpin sekalipun mereka fasik maka hal itu dikarenakan dalam memberontak mereka akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari kezhaliman mereka, bahkan dalam kesabaran akan meleburkan dosa dan melipatkan pahala, karena Allah tidak akan menjadikan pemimpin zhalim kepada kita kecuali karena disebabkan jeleknya amal kita, dan balasan itu tergantung pada perbuatan, maka kewajiban kita adalah bersungguh-sungguh dalam meminta ampun kepada Allah, bertaubat dan memperbaiki amal. Allah berfirman:
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}
‘Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).’ (QS asy-Syura [42]: 30)
{وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}
‘Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.’ (QS al-An’am [6]: 129)
Sebab itu, apabila suatu rakyat ingin lepas dari kezhaliman pemimpin maka hendaknya mereka meninggalkan kezhaliman.”27
Akhirnya, kita berdo’a kepada Allah سبحانه وتعالى agar memperbaiki keadaan kita dan negeri kita semua sehingga kita meraih keamanan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
1Tentang hukum demonstrasi dalam Islam, dampak buruk, serta fatwa-fatwa ulama sunnah tentangnya sudah pernah dibahas di Majalah Al Furqon Edisi 112 dengan judul “Raport Merah Demonstrasi”.
2Lihat tulisan Ustadzuna al-Fadhil Arif Fathul Ulum “Mengkritisi Buku Fiqih Demonstrasi” dalam Majalah Al Furqon Edisi 01, Tahun 08/Sya’ban 1429.
3HR Ibnu Majah: 4012 dan dishahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah: 491.
4Ar-Radd ’ala al-Akhna’i hlm. 205
5Lihat Shahih Muslim: 158, Shahih al-Bukhari: 4513, Sunan Ibnu Majah: 3930.
6Diriwayatkan oleh Sa’id ibn Manshur: 2546 dengan sanad shahih.
7Al-Bida’ wa Nahyu ’Anha oleh Ibnu Wadhdhah: 81
8Pada zaman sekarang, ada beberapa corak amalan yang dianggap sebagai jihad fi sabilillah, padahal jihad islami berlepas diri darinya, di antaranya:
1) Membunuh para pegawai pemerintahan seperti polisi, tentara, dan sebagainya dengan alasan mereka adalah manusia zhalim dan pekerja untuk thaghut(!), mendesak pemerintah untuk memenuhi keinginan mereka, dan alasan-alasan lainnya. Tidak diragukan bahwa cara ini bukanlah jihad islami, bahkan justru memiliki dampak negatif yang cukup banyak.
2) Membunuh orang-orang kafir di negeri mereka atau negeri kaum muslimin baik dengan pengeboman, penculikan, dan lain-lain. Hal ini pun akan mendatangkan kerusakan yang banyak sebagaimana tidak samar bagi orang yang memiliki penglihatan.
3) Melakukan aksi unjuk rasa/demonstrasi guna menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah. Tidak diragukan bahwa demonstrasi merupakan produk kafir Barat yang mendatangkan kerusakan yang lebih banyak daripada manfaatnya.
4) Menggulingkan pemerintahan lewat parlemen dan sistem demokrasi.
5) Khuruj ala Sufi modern. (Lihat an-Nashihah bi Bayani Thuruqil Jihad Ghairi Syar’iyyah, hlm. 320–404, Ahmad ibn Ibrahim ibn Abul Ainain.)
9Penulis banyak mengambil manfaat dari Tamyiz Dhawil Fithan Baina Syarafil Jihad wa Sarafil Fitan hlm. 27–58 oleh asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani.
10Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir: 1647 dengan sanad yang shahih. Lihat ash-Shahihah: 1803, al-Albani.
11Asy-Syari’ah al-Ajurri 1/145.
12Al-Amru bil Ma’ruf wa Nahyu ’anil Munkar hlm. 19
13HR al-Bukhari: 219 dan Muslim: 284
14Syarh Shahih Muslim oleh an-Nawawi 1/191. Lihat pula risalah Hadits Baulil A’rabi Waqafat wa Ta’ammulat karya Dr. Falih ibn Muhammad ash-Shughair.
15I’lamul Muwaqqi’in 4/338–339, tahqiq: asy-Syaikh Masyhur ibn Hasan Salman.
16Ibid. 4/339–340
17Lihat pula buku penulis Waspada Terhadap Kisah-Kisah Tak Nyata, terbitan Pustaka Al Furqon.
18Majmu’ Fatawa wa Maqalat 8/257
19Fathul Bari 13/63
20Nashbur Rayah 4/69–70
21Diriwayatkan Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat 8/59 dan al-Hakim 4/6.
22Siyar A’lam Nubala’ 2/193
23Penulis banyak mengambil manfaat dari Madarikun Nazhar asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani hlm. 437–439, cet. ketujuh.
24Asy-Syari’ah oleh al-Ajurri hlm. 38
25Taisir Karimi ar-Rahman hlm. 239 oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
26Yaitu Hasan al-Hudhaibi. Ungkapan ini sering didengungkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam banyak kesempatan. Namun, bukan berarti kalau beliau mempromosikan pemikiran pelontarnya atau manhaj gerakan dakwahnya. (Lihat Ma’alim Manhaj Salafi fi Taghyir hlm. 468 oleh Salim al-Hilali—Jami’u Rasa’il—.)
27Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah hlm. 368