Fiqih Fitnah

Fiqih Fitnah

Pada hari ini kita berada dalam kancah peperangan melawan fitnah yang sangat besar. Fitnah yang bagaikan potongan malam kelam, fitnah yang menghantam manusia seperti ombak yang besar, fitnah khurūj, fitnah takfīr, tabdī‘, dan tafsīq, fitnah saling meng-hajr (memboikot), dan fitnah-fitnah besar lainnya yang jika seorang terjerumus ke dalamnya dan tergelincir kakinya maka akan rusaklah kehidupannya, keruhlah kenikmatannya, gelaplah hatinya, dan merasa sempit dengan manusia.

Begitu banyak ayat-ayat al-Qur’ān dan hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang memperingatkan kita dari fitnah, demikian juga tidak sedikit dari para ulama menulis buku khusus atau meletakkan bab khusus dalam buku-buku mereka yang menjelaskan perkara fitnah baik dari sisi makna atau bentuk dan gambarannya atau sikap-sikap yang mesti diambil pada saat menghadapi fitnah.

Insyaallah di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan sebagian dari apa-apa yang dipaparkan oleh para ulama di atas, yaitu tentang pokok-pokok “fiqih fitnah” yang harus dipahami dan diamalkan oleh setiap mukmin agar menjadi lentera yang menerangi dari kegelapan-kegelapan fitnah.

Memiliki komitmen dengan sunnah

Di antara fiqih fitnah adalah iltizām (memiliki komitmen) dengan sunnah dan menjauhi perkara-perkara yang diada-adakan (bid‘ah, Red.).

Jika datang kepadamu suatu perkara—wahai hamba Allah—maka lihatlah apakah ia adalah perkara lama yang pernah ditempuh oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya, yang dinukil dengan riwayat para ulama tsiqah, ataukah ia adalah perkara baru yang menyelisihi perkara lama, dan berpeganglah dengan teguh pada perkara yang lama karena di dalamnya terdapat kebaikan semuanya; Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

«من يعش منكم فسيرى اختلافاً كثيراً، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة»

“Siapa yang hidup lama dari kalian akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku, dan awaslah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara yang yang baru adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” {Diriwayatkan oleh Aẖmad dalam Musnad-nya 4:126, ad-Darimi dalam Sunan-nya 1:57, at-Tirmidzi dalam Jāmi‘-nya 5:44, dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya 1:15 dan dinyatakan shaẖīẖ oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilālul-Jannah: 26, 34}

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz berkata: “Jalan keselamatan dari berbagai macam fitnah adalah berpegang dengan teguh pada Kitabullah dan sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebagaimana diriwayatkan hal itu dari ‘Ali رضي الله عنه secara marfū‘: ‘Kitab Allah, di dalamnya (termaktub) berita orang-orang sebelum kalian dan berita orang-orang setelah kalian, dan pemutus apa-apa yang terjadi di antara kalian.’ … Setiap macam-macam fitnah tidak ada jalan untuk meloloskan diri darinya dan selamat darinya kecuali dengan mendalami kitab Allah dan sunnah rasul-Nya dan mengenal manhaj salaful-ummah dari para sahabat رضي الله عنهمdan orang-orang yang menempuh jalan mereka dari para imam Islam dan para penyeru kepada petunjuk.” {Majmū‘ Fatāwá wa Maqālāt Mutanawwi‘ah 6:106}

Jangan menyeret dalil kepada kehendakmu! Jadikanlah kehendakmu mengikuti dalil!

Penyakit yang menghinggapi kebanyakan orang ketika terjadi fitnah adalah tidak berserah diri kepada nash-nash dan tidak mengembalikan kehendak-kehendak mereka kepada nash-nash. Bahkan sebaliknya, mereka justru menyeret nash-nash kepada kehendak-kehendak mereka; jika datang nash yang menyelisihi hawa-hawa nafsu mereka maka mereka mengatakan “ini termasuk musytabihāt”, maka mereka meninggalkannya atau menyelewengkan maknanya, padahal Allah Ta‘ālá telah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. {QS al-Aẖzāb (33):36}

Allah Ta‘ālá juga berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. {QS an-Nisā’ (4):65}

Syaikhul-Islam Ibnu Taimīyah berkata: “Maka seorang hamba membutuhkan dihilangkannya dari dirinya dua perkara: pemikiran-pemikiran yang rusak dan hawa-hawa nafsu yang rusak, hingga dia mengetahui bahwa hikmah dan keadilan di dalam apa-apa yang sesuai dengan ilmu Allah dan hikmah-Nya, bukan yang sesuai dengan ilmu seorang hamba dan hikmahnya, dan hendaknya keinginannya mengikuti apa yang Allah perintahkan, hingga tidak ada hawa nafsu yang menyelisihi perintah Allah dan hukum-Nya.” {Majmū‘ al-Fatāwá 10:288}

Bersemangat menuntut ilmu dan lari dari kebodohan

Fitnah-fitnah termasuk komoditas syaithan yang berhubungan dengan syubhat-syubhat. Komoditas syaithan ini tidak mungkin dipromosikan kecuali dengan kejahilan (kebodohan). Karena itu, agama yang agung ini adalah agama ilmu dan bashīrah; Allah Ta‘ālá berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun. {QS Fāthir (35):28}

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

«يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين»

“Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi, mereka menghapuskan taẖrīf orang-orang yang ghuluw, kedustaan orang-orang yang berbuat kebatilan, dan penakwilan orang-orang yang bodoh.” {Diriwayatkan oleh ath-Thaẖawi di dalam Musykilul-Ātsār 8:373 dan Ibnu Baththah di dalam al-Ibānah al-Kubrá 1:37 dan dinyatakan shaẖīẖ oleh Syaikh al-Albani di dalam Takhrīj Misykāt 1:53}

Maka ilmu adalah senjata seorang mukmin yang akan mengusir syaithan dalam keadaan hina-dina. Ilmu akan menjauhkan syubhat-syubhat dari dalam hati, dan akan melemahkan syahwat-syahwat. Sungguh benarlah apa yang diucapkan oleh Syaikh ‘Abdurraẖman bin Nashir as-Sa‘di:

اعْلَمْ هُدِيتَ أَنَّ أَفْضَلَ الْمِنَنْ عِلْمٌ يُزِيلُ الشَّكَّ عَنْكَ وَالدَّرَنْ

“Ketahuilah—semoga kamu diberi petunjuk—bahwa sebaik-baik anugerah adalah ilmu yang menghilangkan keraguan dan kotoran.” {Risālah Fil-Qawā‘id al-Fiqhīyah hlm. 35}

Mendekat kepada ulama dan mengambil ilmu dan adab mereka

Di antara fiqih fitnah adalah mendekat kepada ulama, bersemangat mengambil ilmu dan mengambil adab dari mereka. Manusia senantiasa di dalam kebaikan selama mereka mengetahui hak ulama mereka dan mengikuti langkah mereka. Manusia senantiasa di dalam kebaikan selama masih ada ulama di tengah-tengah mereka. Hilangnya ulama adalah celah yang besar yang ditunggu-tunggu oleh syaithan untuk menebarkan fitnah.

Berkata al-Atsram di dalam Thabaqāt Hanābilah (1:69): “Sungguh telah menjadi jelas bagi ahli ilmu betapa besarnya musibah yang menimpa kaum muslimin dengan sebab kehilangan guru kami Abu ‘Abdillah Aẖmad bin Muẖammad bin Hanbal imam kami, pengajar kami, dan pengajar orang-orang sebelum kami sejak lebih dari 60 tahun. Dan kematian seorang ulama adalah musibah yang tidak bisa dihibur dan celah yang tidak bisa ditutup. Sungguh aku telah menyangka bahwa Iblis—musuh Allah dan musuh kaum muslimin—telah menyiapkan sebab-sebab bagi fitnah-fitnah menunggu-nunggu wafat beliau; karena sebelumnya beliaulah yang menangkis kebatilan mereka dan melenyapkan pasukan-pasukan mereka.”

Syaikhul-Islam Ibnu Taimīyah berkata: “Wajib atas kaum muslimin memberikan al-walā’ (loyalitas) kepada orang-orang yang beriman—setelah loyalitas terhadap Allah dan rasul-Nya—khususnya para ulama yang merupakan waratsah (ahli waris) para nabi, yang Allah jadikan mereka di dalam umat ini seperti bintang-bintang yang dijadikan sebagai petunjuk arah di kegelapan daratan dan lautan. Kaum muslimin telah sepakat menjadikan mereka sebagai jalan petunjuk. Karena sesungguhnya setiap umat—sebelum diutusnya nabi kita Muẖammad صلى الله عليه وسلم—ulama mereka adalah yang terjelek dari mereka, kecuali kaum muslimin yang ulama mereka adalah yang terbaik dari mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah para penerus Rasulullah صلى الله عليه وسلم di dalam umatnya, merekalah yang menghidupkan sunnah beliau yang telah mati, merekalah penegak al-Kitāb dan dengan al-Kitāb mereka tegak, melalui merekalah al-Kitāb berucap dan dengan al-Kitāb mereka berucap.” {Raf‘ul Malām ‘An A’immatil A‘lām hlm. 3–4}

Memiliki komitmen dengan jama‘ah kaum muslimin dan pemimpin mereka

Berkomitmen dengan jama‘ah kaum muslimin yang syar‘i dan pemimpin mereka termasuk sebab-sebab yang akan menyelamatkan dari fitnah. Dari H̱udzaifah رضي الله عنه bahwasanya beliau berkata: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم tentang perkara-perkara kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena aku takut akan menimpaku. Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, dahulu kami berada pada masa jāhilīyah dan keburukan lalu Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami, apakah setelah kebaikan ini akan datang keburukan?’ Beliau menjawab: ‘Ya.’ Aku bertanya lagi: ‘Apakah setelah keburukan itu akan datang lagi kebaikan?’ Beliau menjawab: ‘Ya, tetapi di dalamnya ada dukhn (kotorannya).’ Aku bertanya lagi: ‘Apa kotorannya itu?’ Beliau menjawab: ‘Yaitu suatu kaum yang memimpin tanpa mengikuti petunjukku, kamu mengenalnya tetapi sekaligus kamu ingkari.’ Aku kembali bertanya: ‘Apakah setelah kebaikan (yang ada kotorannya itu) akan timbul lagi keburukan?’ Beliau menjawab: ‘Ya, yaitu para penyeru yang mengajak ke pintu Jahannam. Siapa yang memenuhi seruan mereka maka akan dilemparkan ke dalamnya.’ Aku kembali bertanya: ‘Wahai Rasulullah, berikan sifat-sifat (ciri-ciri) mereka kepada kami.’ Beliau menjelaskan: ‘Mereka itu berasal dari kulit-kulit kalian dan berbicara dengan bahasa kalian.’ Aku katakan: ‘Apa yang baginda perintahkan kepada saya bila saya menemui (zaman) keburukan itu?’ Beliau menjawab: ‘Kamu tetap berpegang (bergabung) kepada jamā‘atulmuslimīn dan pemimpin mereka.’ Aku kembali berkata: ‘Jika saat itu tidak ada jamā‘atulmuslimīn dan juga tidak ada pemimpin (Islam)?’ Beliau menjawab: ‘Kamu tinggalkan seluruh firqah (kelompok/golongan) sekalipun kamu harus memakan akar pohon hingga maut menjemputmu dan kamu tetap berada di dalam keadaan itu (berpegang kepada kebenaran).’” {Muttafaq ‘alaih, Shaẖīẖ al-Bukhārī: 3411 dan Shaẖīẖ Muslim: 1847}

Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjelaskan kepada H̱udzaifah رضي الله عنه bahwa jalan istiqāmah adalah berpegang teguh dengan jama‘ah kaum muslimin dan pemimpin mereka. Maka di antara sebab kesesatan adalah menjauh dari jama‘ah muslimin dan imam mereka. Sesungguhnya syaithan selalu mengintai anak Adam, dan ia akan memangsa orang yang jauh dari jamā‘ah syar‘īyah; Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

«إِنَّ يَدَ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ يَرْتَكِضُ»

“Sesungguhnya tangan Allah bersama al-Jamā‘ah, dan sesungguhnya syaithan akan menyerang orang yang memisahkan diri dari al-Jamā‘ah.” {Diriwayatkan oleh Ibnu H̱ibban di dalam Shaẖīẖ-nya: 4577 dan dinyatakan shaẖīẖ oleh Syaikh al-Albani di dalam Irwā’ul-Ghalīl: 2452}

Dan yang dimaksud dengan “imam” di sini adalah imam yang wajib dibai‘at dalam ketaatan kepadanya sesuai dengan batasan-batasan syar‘i; Syaikhul-Islam Ibnu Taimīyah berkata:

وَالسُّنَّةُ أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِينَ إمَامٌ وَاحِدٌ وَالْبَاقُونَ نُوَّابُهُ فَإِذَا فُرِضَ أَنَّ الْأُمَّةَ خَرَجَتْ عَنْ ذَلِكَ لِمَعْصِيَةِ مِنْ بَعْضِهَا وَعَجْزٍ مِنْ الْبَاقِينَ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ كَانَ لَهَا عِدَّةُ أَئِمَّةٍ: لَكَانَ يَجِبُ عَلَى كُلِّ إمَامٍ أَنْ يُقِيمَ الْحُدُودَ وَيَسْتَوْفِيَ الْحُقُوقَ

“Yang sunnah, hendaknya seluruh kaum muslimin memiliki satu imam, yang lain adalah perwakilan-perwakilannya, jika terjadi keadaan di mana umat menyelisihi hal ini karena sebab kemaksiatan atau ketidakmampuan, atau sebab yang lain, sehingga terjadilah beberapa imam negeri; maka dalam keadaan seperti ini wajib atas setiap imam agar menegakkan hudud, dan menunaikan hak-hak…” {Majmū‘ al-Fatāwá 34:175–176}

Syaikh Muẖammad bin ‘Abdul-Wahhab berkata:

الأئمة مجمعون من كل مذهب على أن من تغلب على بلد أو بلدان له حكم الإمام في جميع الأشياء ، ولولا هذا ما استقامت الدنيا لأن الناس من زمن طويل قبل الإمام أحمد إلى يومنا هذا ما اجتمعوا على إمام واحد

“Para imam dari setiap madzhab telah sepakat bahwa barang siapa yang menguasai suatu negeri, maka dia memiliki hukum (sebagai) imam dalam segala sesuatu, seandainya tidak seperti ini tidaklah tegak dunia; karena kaum muslimin sejak zaman yang lama, sebelum zaman al-Imam Aẖmad hingga sekarang, belum pernah bersatu di bawah satu imam.” {Durar as-Sanīyah 7:239}

Ketika terjadi perselisihan, ikutlah bersama dengan orang yang tua dan hati-hatilah dari yang muda!

Jika terjadi perselisihan, terutama di dalam hal-hal yang berkaitan dengan fitnah-fitnah, maka ikutlah bersama di dalam barisan orang-orang yang tua (kaum sesepuh/senior) di dalam ilmu dan usia. Dan awaslah dari hal-hal yang orang-orang muda menyendiri dengannya, karena orang yang muda masih terbawa oleh darah muda yang akan mendorongnya kepada fitnah. Adapun orang yang sudah tua maka sudah hilang darinya darah muda, telah hilang darinya sifat keras, tergesa-gesa, dan kedunguan; dia telah banyak pengetahuan dan pengalaman sehingga tidak masuk syubhat dalam ilmunya, tidak dikalahkan oleh hawa nafsu, tidak terpengaruh oleh ketamakan, tidak mudah digelincirkan oleh syaithan sebagaimana anak muda; dengan tambahnya usia maka tumbuhlah keagungan dan kewibawaan, dan berkah bersama mereka. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

«البركة مع أَكابرِكم»

“Berkah itu bersama orang-orang tua (kaum sesepuh) mereka.” {Diriwayatkan oleh Ibnu H̱ibban di dalam Shaẖīẖ-nya: 559 dan al-H̱akim di dalam al-Mustadrak: 210 dan dinyatakan shaẖīẖ oleh Syaikh al-Albani di dalam Silsilah ash-Shaẖīẖah: 1778}

‘Abdullah bin al-Mubarak pernah ditanya di hadapan Sufyan bin ‘Uyainah maka beliau berkata: “Kami dilarang bicara di hadapan orang-orang tua (kaum sesepuh) kami.” {Siyar A‘lāmin-Nubalā’ 8:420}

Jauhilah sikap berubah-ubah! Tetaplah di atas sunnah!

Di antara fiqih fitnah adalah menjauhi sikap berubah-ubah dan berbolak-balik di dalam fitnah, dan hal itu bisa diperoleh dengan berkomitmen pada sunnah.

Pada suatu hari, Abu Mas‘ud al-Anshari رضي الله عنه masuk kepada H̱udzaifah رضي الله عنه seraya berkata: “ Berikan wasiat kepada kami, wahai Abu ‘Abdillah!” H̱udzaifah رضي الله عنه berkata: “Belumkah datang al-yaqīn kepadamu?” Abu Mas‘ud رضي الله عنه menjawab: “Ya demi Rabbku.” H̱udzaifah رضي الله عنه berkata: “Sesungguhnya kesesatan sebenarnya jika engkau memandang makruf pada hari ini apa yang engkau pandang mungkar pada hari sebelumnya, dan engkau pandang mungkar pada hari ini apa yang engkau pandang makruf pada hari sebelumnya, awaslah engkau dari berubah-ubah, karena sesungguhnya agama Allah adalah satu.” {Diriwayatkan oleh al-H̱akim di dalam al-Mustadrak 4:552 dan ‘Abdurrazzaq di dalam al-Mushannaf 11:249}

H̱udzaifah رضي الله عنه berkata: “Jika seorang dari kalian ingin mengetahui apakah dia telah tertimpa fitnah atau belum maka hendaknya dia melihat; jika dia memandang halal sesuatu yang sebelumnya dia pandang haram maka sungguh dia telah tertimpa fitnah, dan jika dia memandang haram sesuatu yang sebelumnya dia pandang halal maka sungguh dia telah tertimpa fitnah.” {Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf 7:474 no. 37343 dan al-H̱akim di dalam al-Mustadrak 4:514 no. 8443 dan dinyatakan shaẖīẖ sanadnya oleh al-H̱akim atas syarat Syaikhain}

Meninggalkan ẖizbīyah

Di antara fiqih fitnah adalah meninggalkan hizbīyah dan membela apa-apa yang tidak datang di dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan apa yang tidak ditempuh oleh walīyul-amri di dalam hal-hal yang bukan merupakan ma‘shiyat, karena itulah yang disyari‘atkan, itulah yang mempersatukan manusia; Allah Ta‘ālá berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’ān) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. {QS an-Nisā’ (4):59}

Adapun ta‘ashub dan fanatisme kelompok kepada selain hal itu maka ia adalah asas kejelekan, perpecahan, dan fitnah; Allah Ta‘ālá berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ ۚ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. {QS al-An‘ām (6):159}

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

«مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ»

“Barang siapa keluar dari ketaatan dan tidak mau bergabung dengan al-Jamā‘ah kemudian ia mati, maka matinya seperti mati jāhilīyah. Dan barang siapa mati di bawah bendera kefanatikan, dia marah karena fanatik kesukuan atau karena ingin menolong kebangsaan kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jāhilīyah. Dan barang siapa keluar dari umatku, kemudian menyerang orang-orang yang baik maupun yang fājir (jahat) tanpa mempedulikan orang mukmin, dan tidak pernah mengindahkan janji yang telah dibuatnya, maka dia tidak termasuk dari golonganku dan aku tidak termasuk dari golongannya.” {Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shaẖīẖ-nya: 1848}

Jauhilah fitnah dan jangan mendekatinya!

Di antara fiqih fitnah bahwa fitnah adalah dijauhi dan tidak didatangkan, maka fitnah dijauhi sekuat tenaga sebelum terjadinya dan di saat terjadinya, dijauhi pelakunya dan tidak menghadiri dan mendengarkannya, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

«مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ فَوَاللهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِيهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَيَتَّبِعُهُ مِمَّا يَبْعَثُ بِهِ مِنْ الشُّبُهَاتِ»

“Siapa yang mendengar (kedatangan) ad-Dajjāl hendaklah menjauhinya. Demi Allah, seorang laki-laki benar-benar akan mendatangi ad-Dajjāl dan mengira bahwa ia adalah seorang mukmin, lalu ia akan mengikuti setiap syubhat yang ditebarkannya.” {Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya 4:116 dan dinyatakan shaẖīẖ oleh Syaikh al-Albani di dalam Takhrīj Misykāt: 5488}

Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

«ستكون فتن القاعد فيها خير والقائم فيها خير من الماشي والماشي فيها خير من الساعي من تشرف لها تستشرفه ومن وجد فيها ملجأ فليعذ به»

“Akan terjadi fitnah; orang yang duduk (menghindar) dari fitnah itu lebih baik daripada yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari (yang terlibat dalam fitnah). Orang yang mendekatinya akan dibinasakan. Barang siapa mendapatkan tempat berlindung darinya, hendaklah ia berlindung.” {Diriwayatkan oleh al-Bukhārī di dalam Shaẖīẖ-nya: 6670 dan Muslim di dalam Shaẖīẖ-nya 4:2211}

Jika seorang muslim mendengar ada orang yang membuat kaidah-kaidah menyelisihi al-Kitāb dan as-Sunnah, dan mengajak manusia kepada fitnah, mengajak manusia untuk merebut kepemimpinan dari walīyul-amri dari para ulama dan pemerintah, maka wajib untuk menjauh dari orang tersebut, meskipun sebelumnya dia memandang bahwa orang itu da‘i kepada kebenaran. Maka yang wajib adalah menjauh dari fitnah sekuat-kuatnya.

Fitnah ditanyakan kepada ‘ulamā’ rabbānī

Di antara fiqih fitnah bahwa fitnah ditanyakan kepada orang yang mumpuni untuk berbicara tentangnya dari para ulama dikenal dengan ittibā‘ kepada sunnah dan kesantunannya dan mendapat rekomendasi dari orang-orang yang tsiqah. Dari H̱udzaifah رضي الله عنه bahwasanya beliau berkata: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم tentang perkara-perkara kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena aku takut akan menimpaku.” {Muttafaq ‘alaih, Shaẖīẖ al-Bukhārī: 3411 dan Shaẖīẖ Muslim: 1847}

Jangan tergesa-gesa dan berhati-hatilah!

Di antara fiqih fitnah adalah selalu berhati-hati dan tidak tergesa-gesa, sesuai dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada Asyajj ‘Abdul Qais رضي الله عنه:

«إن فيك خصلتين يحبهما الله الحلم والأناة»

“Sesungguhnya ada pada dirimu dua perangai yang Allah dan rasul-Nya mencintai keduanya, yaitu santun dan berhati-hati.” {Shaẖīẖ Muslim 1:48}

‘Abdullah bin Mas‘ud رضي الله عنه berkata:

تكون أمور مشتبهات، فعليكم بالتؤدة؛ فإن أحدكم أن يكون تابعاً في الخير خير من أن يكون رأساً في الشر. رواه البيهقي في الشعب (7:297)

“Akan terjadi perkara-perkara yang syubhat (samar); maka hendaknya kalian bersikap hati-hati karena sesungguhnya jika seorang dari kalian menjadi pengikut dalam kebaikan adalah lebih baik daripada menjadi gembong dalam kesesatan.” {Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam asy-Syu‘ab 7:297}

Berhati-hati dan bersantunlah dalam menghadapi fitnah dan ketika terjadi suasana yang tidak menentu adalah suatu hal yang sangat terpuji, karena dengan sikap hati-hati dan santun itulah seorang akan dapat melihat setiap permasalahan dengan sebenarnya.

Bersikap ar-rifq (lemah lembut)

Di antara fiqih fitnah adalah bersikap ar-rifq (lemah lembut), karena Nabi صلى الله عليه وسلم pernah bersabda:

«إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه ولا ينزع من شيء إلا شانه»

“Sesungguhnya ar-rifq (sifat lemah lembut) itu tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu itu kecuali ia akan memburukkannya.” {Shaẖīẖ Muslim 4:2004}

Dan di dalam hadits yang lain Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

«إن الله يحب الرفق في الأمر كله»

“Sesungguhnya Allah mencintai ar-rifq (sifat lemah lembut) di segala perkara.” {Shaẖīẖ al-Bukhārī 5:2242 dan Shaẖīẖ Muslim 4:1706}

Hadits ini dibawakan oleh al-Imam al-Bukhari di dalam Shaẖīẖ-nya di bawah judul “Bab lemah lembut di segala perkara”.

Maka kelembutan adalah baik di dalam segala perkara dan paling dibutuhkan ketika fitnah. Karena di dalam fitnah hati mengalami kegoncangan yang sangat, sangat dibutuhkan kelembutan.

Menempuh jalan yang jelas dan menjauhi jalan yang syubhat

Di antara fiqih fitnah adalah menempuh jalan yang jelas dan menjauh dari jalan yang syubhat. Sebab, syari‘at Islam sudah sempurna dan jalan-jalan menuju Surga banyak lagi jelas. Maka hendaknya seorang mukmin berupaya mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى dengan hal-hal yang jelas tidak ada keraguan di dalamnya, dan meninggalkan hal-hal yang syubhat yang memperdaya, Mutharrif berkata: “ Sungguh mengambil keyakinan di dalam diam lebih aku sukai daripada aku mencari keutamaan jihad dengan hal yang memperdaya.” {ath-Thabaqāt al-Kubrá 7:143}

Dari Ibnu Sirin beliau berkata: Dikatakan kepada Sa‘d bin Abi Waqqash رضي الله عنه: “Tidakkah engkau berperang karena engkau termasuk ahli syūrá, sedangkan engkau lebih berhak atas perkara ini daripada selainmu?” Sa‘d berkata: “Aku tidak berperang hingga mereka mendatangkan kepadaku dengan pedang yang memiliki dua mata dan dua bibir.” {Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq di dalam al-Mushannaf 11:357 dan al-H̱akim di dalam al-Mustadrak 4/491 dan dikatakan oleh al-H̱akim: “Shaẖīẖ atas syarat Syaikhain.”}

Berlindung kepada Allah Ta‘ālá

Di antara fiqih fitnah adalah kembali kepada Allah سبحانه وتعالى dan berdo‘a agar dilindungi dari fitnah-fitnah sebelum terjadinya dan berdo‘a kepada Allah سبحانه وتعالى setelah terjadinya.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan agar umatnya berlindung kepada Allah سبحانه وتعالى dari fitnah-fitnah:

«تعوذوا بالله من الفتن ما ظهر منها وما بطن»

“Berlindunglah kepada Allah dari fitnah-fitnah yang tampak dan yang tidak tampak.” {Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shaẖīẖ-nya 4:2199}

Rasulullah صلى الله عليه وسلم selalu mengajarkan kepada umatnya agar di dalam akhir shalatnya selalu berdo‘a memohon perlindungan dari fitnah-fitnah; yaitu do‘a sebelum salam yang berbunyi:

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab Jahannam dan dari adzab kubur, dan dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejelekan fitnah al-Masīẖ ad-Dajjāl.” {Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shaẖīẖ-nya 1:412}

Adalah para sahabat, mereka selalu berlindung kepada Allah dari fitnah-fitnah; ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنه berkata:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الْفِتَنِ

“Aku berlindung kepada Allah dari fitnah-fitnah.” {Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shaẖīẖ-nya 1:172}

Di antara isi risalah al-Imam Aẖmad bin Hanbal kepada Musaddad bin Musarhad adalah:

نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ كُلِّ فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ

“Kami berlindung kepada Allah dari fitnah yang menyesatkan.” {al-Maqshad al-Arsyad Fī Dzikri Ashẖābi al-Imāmi Aẖmad 3:25}

Penutup

Itulah yang bisa kami paparkan tentang sebagian pokok-pokok di dalam “fiqih fitnah”. Semoga sedikit yang telah kami paparkan bisa menjadi penerang di dalam masalah ini dan menjadi rambu-rambu di dalam kita melangkah. Dan siapa yang ingin mendapatkan bahasan yang lebih terperinci, silakan merujuk kepada kitab Fiqhul-Fitān oleh Syaikh Prof. Dr. Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili.

Akhirnya, semoga Allah selalu memberikan taufiq kepada kita agar menjauhi segala macam fitnah dan menyelamatkan kita dari segala fitnah yang tampak dan tidak tampak. Dan semoga Allah selalu meneguhkan kita di jalan-Nya dan menjauhkan kita dari semua jalan-jalan yang menyimpang darinya. Āmīn.

والله أعلم بالصواب

Disusun oleh Ustadz Arif Fathul Ulum bin Aẖmad Saifullah

One Reply to “Fiqih Fitnah”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.