سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
FIQIH KONTEMPORER Berdasarkan Dalil dan Kaidah Ilmiyah (Bag I)
FIQIH KONTEMPORER Berdasarkan Dalil dan Kaidah Ilmiyah
(Bagian I)
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
MUQODDIMAH PENULIS
بسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ :
Perkembangan zaman dengan segala realitas kehidupan yang ada di dalamnya telah memunculkan berbagai persoalan baru yang memerlukan respon keagamaan yang tepat dan argumentatif.
Banyak masalah-masalah baru yang tidak ada pada zaman dulu dan tidak ada dalam kitab-kitab klasik, tetapi hal ini membutuhkan kedalaman ilmu dan fatwa ulama masa kini untuk membahas persoalan baru tersebut yang releven dengan konteks kenyataan zaman sekarang.
Oleh karena itu, melalui buku ini, kita akan berusaha untuk membahas masalah-masalah aktual, modern, kotemporer atau apalah namanya, yang jelas dalam istilah ulama kita masa kini masalah itu dikenal dengan Fiqih Nawazil. Kita akan berusaha untuk membahas satu permasalahan secara sistematis dengan tetap menjaga keilmiahan bahasan, serta menampilkan keterangan para ahli ilmu dan para ahli di bidangnya.
Buku ini pada asalnya adalah kumpulan tulisan penulis dalam Majalah Al Furqon beberapa tahun lamanya, kemudian sebagian saudara kami mengusulkan untuk diterbitkan dalam buku tersendiri, maka kami memohon kepada Allah untuk mewujudkannya dengan melakukan penelitian ulang, tambahan dan perbaikan.
Kita memohon kepada Allah agar menambahkan kita ilmu yang bermanfaat dan menjadikan buku ini bermanfaat bagi kami pribadi dan umat secara umum. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari seluruh pihak.
MEMAHAMI FIQIH NAWAZIL
Sebelum memasuki inti permasalahan, kami akan mengajak saudara pembaca –semoga Allah selalu memberkahi anda- untuk terlebih dahulu mempelajari beberapa pengantar tentang fiqih Nawazil agar kita memiliki gambaran tentangnya:
DEFENISI FIQIH NAWAZIL
Sebelum mendefiniskan secara keseluruhan, sebaiknya kita mengetahui defenisi kosa kata-nya satu persatu, sebab seperti dikatakan oleh ar-Rozi: “Tidak mungkin kita memahami defenisi sesuatu kecuali setelah mengetahui kosa kata-nya satu persatu”.[1]
Fiqih Nawazil tersusun dari dua kata, yaitu “Fiqih” dan “Nawazil”.
- Fiqih secara bahasa adalah pemahaman. Allah berfirman:
وَٱحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِى يَفْقَهُوا۟ قَوْلِى
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahami perkataanku. (QS. Thoha: 27-28)
- Nawazil adalah bentuk jama’ dari nazilah yang artinya masalah rumit/kesusahan. Seorang penyair berkata:
وَلَرُبَّ نَازِلَةٍ يَضِيْقُ بِهَا الْفَتَى ذَرْعًا وَعِنْدَ اللهِ مِنْهَا مَخْرَجُ
Betapa banyak kesusahan berat yang menimpa seorang
Di sisi Allah ada jalan keluarnya.[2]
Oleh karena itu ada istilah “Qunut Nawazil” yakni karena ada permasalahan besar dan rumit yang menimpa kaum muslimin.[3]
Adapun makna Fiqih Nawazil adalah pengetahuan hukum-hukum syari’at tentang masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang membutuhkan keterangan hukum syar’i[4].
HUKUM MEMPELAJARI FIQIH NAWAZIL
Mempelajari fiqih nawazil hukumnya wajib bagi umat ini, hukumnya Fardhu Kifayah, bila ada sebagian kaum muslim yang telah bangkit mempelajarinya maka gugur kewajiban bagi lainnya, dan hukumnya bisa menjadi fardhu ‘ain pada sebagian orang tertentu.[5]
Dalil tentang wajibnya adalah firman Allah:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” (QS. Ali Imron: 187)
Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban para ahli ilmu dan penuntut ilmu untuk menerangkan ilmu dan menyebarkannya, sedangkan masalah-masalah aktual ini banyak tidak diketahui hukumnya oleh masyarakat awam.
Di antara dalilnya juga firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl: 43)
Ayat ini menunjukkan bahwa harus ada golongan umat ini yang ditanya tentang masalah-masalah agama. Dengan demikian maka “adanya para mujtahid dalam umat hukumnya fardhu kifayah”.[6]
Oleh karenanya, para ulama sejak dahulu kala telah menaruh perhatian tentang masalah ini seperti Abu Laits as-Samarqandi (376 H) dalam kitab An-Nawazil fil Fiqih, Ibnul Qosim al-Maliki dalam kitab Al-I’lam bi Nawazil Ahkam, Ibnul Haj dalam kitab Nawazil Ibnil Haj, dan al-Qodhi ‘Iyadh dalam Madzabil Hukkam fi Nawazil Ahkam.
BUAH MEMPELAJARI FIQIH NAWAZIL
Mengetahui buah mempelajari sebuah ilmu adalah sangat penting sekali sebagai penyemangat bagi orang yang hendak mempelajarinya. Al-Futuhi berkata: “Hendaknya bagi orang yang mempelajari suatu ilmu untuk memiliki gambaran tentangnya dan mengetahui tujuan dan buah yang akan dia petik bila mempelajarinya”. [7] Sebab hal itu akan memberikan kepada kita suntikan motivasi untuk bersemangat dalam mempelajarinya.
Adapun buah dan manfaat mempelajari fiqih nawazil banyak sekali, di antaranya:
- Sebagai penjelasan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna, bisa menjawab segala permasalan pada setiap masa dan tempat, sehingga tiada suatu permasalahanpun kecuali telah ada jawaban hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, sebagaimana hal ini diketahui oleh para ulama. Allah berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl: 89)
Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’I tatkala mengatakan: “Tidak ada suatu masalah baru-pun yang menimpa seorang yang memiliki pengetahuan agama kecuali dalam Al-Qur’an telah ada jawaban dan petunjuknya”. [8]
- Mewujudkan perintah Allah dan RasulNya dalam menyampaikan ilmu dan mengamalkannya. Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah: 11)
- Beribadah kepada Allah, sebab mempelajari masalah-masalah aktual ini termasuk mempelajari ilmu, sedangkan menuntut ilmu merupakan ibadah yang sangat agung dan berpahala besar.
- Meraih pahala, sebab seorang alim apabila mencurahkan tenaganya guna mempelajari hukum suatu masalah aktual, dia akan mendapatkan pahala dari Allah. Rasulullah bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
Apabila seorang hakim mencurahkan tenaganya lalu dia benar maka mendapatkan dua pahala dan apabila salah maka dia mendapatkan satu pahala. (HR. Bukhori: 6805 dan Muslim: 3240)
- Mengembangkan kekuatan pengetahuan fiqih seseorang.[9]
MACAM-MACAM FIQIH NAWAZIL
Fiqih Nawazil terbagi menjadi bermacam-macam ditinjau dari berbagai tinjaun:
- Ditinjau dari materinya, terbagi menjadi dua macam:
a. Nawazil Fiqih, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan fiqih dan hukum.
b. Nawazil bukan fiqih, seperti dalam aqidah muncul aliran-aliran baru dan bentuk-bentuk kesyirikan modern, dalam bahasa seperti memberi nama benda-benda baru, atau penemuan-penemuan baru.
- Ditinjau dari bahaya dan pentingnya, terbagi menjadi dua macam:
a. Masalah-masalah besar yang menimpa umat berupa makar-makar musuh untuk menhancurkan kaum muslimin, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, pemikiran dan lain sebagainya.
b. Masalah-masalah yang tidak sampai kepada derajat di atas. Tidak ragu lagi, bahwa masalah-masalah ini semestinya harus dibicarakan secara bersama, jauh dari fanatik bangsa dan golongan.
- Ditinjau dari banyak atau sedikit terjadinya, hal ini terbagi menjadi empat macam:
a. Masalah yang hampir seorang tidak bisa lepas darinya seperti foto atau uang.
b. Masalah yang sering terjadi, seperti sholat di atas pesawat, atau kartu bank.
c. Masalah yang jarang terjadi, seperti memasang kembali anggota tubuh yang luka karena hukuman syar’i.
d. Masalah yang sudah terputus, seperti penggunaan lampu untuk penetapan awal dan akhir Ramadhan.
- Ditinjau dari sifatnya, terbagi menjadi dua macam:
a. Masalah yang baru, tidak pernah terjadi sebelumnya sama sekali, seperti bayi tabung.
b. Masalah yang sudah pernah terjadi hanya saja model dan sifatnya ada perubahan dan perkembangan, seperti jual beli kredit, nikah dengan niat cerai dan sebagainya.
FAKTOR MUNCULNYA MASALAH KONTEMPORER
Pada setiap zaman biasanya akan ada masalah baru, hanya saja pada zaman kita sekarang mencuat masalah-masalah aktual secara cepat, hal itu karena dua sebab yang penting:
- Perkembangan alat-alat modern
Lihatlah, perubahan alat transportasi berupa mobil, pesawat, kereta, perubahan alat komunikasi berupa telepon, hp, radio, internet, perubahan alat kedokteran yang tidak ada pada zaman dahulu. Semua perkembangan ini sangat mempengaruhi adanya masalah-masalah aktual yang menuntut diketahui hukum agama mengenainya.
- Pelanggaran
Hal itu disebabkan kurangnya manusia dalam konsekwensi mereka terhadap agamanya. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Munculnya aturan dan undang-undang baru itu sesuai dengan pelanggaran dan kejahatan manusia”.[10]
KIAT MENGHUKUMI MASALAH AKTUAL
Setiap orang yang hendak mempelajari hukum suatu masalah, hendaknya dia menempuh beberapa langkah berikut:
- Mengetahui gambaran masalah secara jelas
- Mencari dalil atau kaidah yang sesuai dengan hukum masalah
- Mempraktekkan hukum syar’I tersebut pada permasalahan
Syaikh as-Sa’di berkata: “Semua permasalahan yang muncul pada setiap waktu harus diketahui gambarannya secara jelas terlebih dahulu. Apabila telah diketahui hakekatnya, sifatnya dan gambarannya secara gambling, maka setelah itu dikembalikan kepada nash-nash syar’I dan kaidah-kaidahnya, karena syari’at mampu memberikan solusi setiap problematika yang menimpa masyarakat atau pribadi, sebuah solusi yang akan diterima oleh akal yang sehat dan fithrah yang bersih. Dan seorang yang cerdas hendaknya mempelajari permasalahan dari setiap sudutnya, baik dari tinjaun kenyataan di lapangan dan hukum syara’nya”.[11]
Dan apabila seseorang tidak mampu untuk sampai kepada hukumnya, baik karena belum memahami gambaran permasalahan secara jelas atau belum menemukan dalilnya, maka hendaknya dia berhenti terlebih dahulu. Ibnu Abdil Barr berkata: “Barangsiapa yang kesulitan tentang sesuatu maka hendaknya berhenti, tidak boleh baginya untuk menisbatkan kepada Allah suatu ucapan dalam agamaNya padahal tidak ada dalilnya. Hal ini tiada perselisihan di kalangan ulama umat semenjak dahulu hingga sekarang. Perhatikanlah”.[12]
HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN
Ketika seorang hendak mempelajari masalah-masalah kontemporer, maka dia harus memperhatikan hal-hal berikut:
- Mengikhlaskan niat hanya untuk Allah karena ini adalah ibadah yang mulia
- Meninggalkan dosa dan maksiat karena dosa melemahkan akal untuk memahami dalil
- Mengecek kebenaran adanya masalah kontemporer tersebut
- Memahaminya secara terperinci dengan mengumpulkan data-data, bertanya kepada para ahli bidangnya serta melakukan gambaran fiqih terhadapnya
- Berusaha mengembalikan permasalahan kepada dalil-dalil Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas serta kaidah-kaidah fiqih dan ushul fiqih untuk menemukan hukumnya.
- Memperhatikan Maqoshid Syari’ah (tujuan pokok syari’at) untuk kemaslahatan hamba
- Mendahulukan dalil daripada logika
- Mengambil manfaat dari keterangan para ulama dan peneliti sebelumnya tanpa ta’ashub (fanatik) kepada siapapun.
- Memperhatikan perbedaan-perbedaan masalah fiqih sehingga tidak tercampur dengan masalah lainnya.
- Mengambi sikap bijak dan tengah-tengah dalam menyikapi masalah tanpa berlebihan dan meremehkan atau mencari-cari pendapat lemah yang sesuai hawa nafsu.[13]
KESALAHAN YANG HARUS DIWASPADAI
Sebagian kalangan terjatuh dalam beberapa kesalahan yang harus diwasapadai tatkala menghadapi masalah kontemporer, di antaranya:
- Memahami masalah hanya setengah matang dan tidak menyeluruh sehingga memberikan hukum yang tidak tepat
- Lari dari fakta dan kenyataan
- Tidak memahami istilah-istilah dan lafadz-lafadz dalam permasalahan terutama di bidang ekonomi
- Tidak mengikuti perkembangan masalah dan perubahannya
- Cenderung untuk mencari kemudahan dan berlebihan tanpa memperhatikan kepada dalil dan kaidah
- Mencukupkan diri hanya kepada fatwa lembaga atau individu tanpa mengkajinya lebih detail.[14]
SUMBER REFERENSI MASALAH AKTUAL
Apabila seorang ingin mencari permasalahan-permasalahan aktual berikut jawabannya, maka dia bisa mencari di berbagai sumber berikut:
- Kitab-kitab yang membahas masalah-masalah aktual, seperti “Fiqhul Mustajaddat fi Babi Ibadat” karya Thohir bin Yusuf as-Shiddiqi dan Fiqhu Nawazil fil Ibadat oleh Dr. Khalid al-Musyaiqih (masalah ibadah), “Mu’amalat Maliyyah al-Mua’shiroh fil Fiqhil Islami” karya Muhammad Utsman Syubair dan al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh fi Dhouil Islam oleh Sa’duddin al-Kubbi (masalah muamalat ekonomi), dan lain sebagainya.
- Tulisan-tulisan yang dimuat di majalah seperti Majallah Mujamma’ Fiqih Islami Jeddah atau Mekkah.
- Keputusan-keputusan yang diadakan dalam muktamar atau seminar seperti muktamar tentang zakat yang diadakan di Sudan, muktamar ekonomi yang diadakan oleh Bank Islami, seminar ilmu kedokteran yang diadakan di Kuwait dan sebagainya.
- Fatwa-fatwa dari berbagai lembaga agama setiap Negara, seperti Fatawa Lajnah Daimah Saudi Arabia, Fatwa-Fatwa MUI (Majlis Ulama Indonesia) dan sebagainya.
- Tulisan-Tulisan Magester atau Doktoral yang membahas masalah-masalah aktual.
- Internet, ada beberap webset yang spesialis menurunkan makalah-makalah aktual.
Daftar Referensi[15]
- Fiqhu Nawazil Dirosah Ta’shiliyyah Tathbiqiyyah. Muhammad bin Husain al-Jizani, cet Dar Ibnul Jauzi, KSA, cet ketiga 1429 H
- Fiqhu Nawazil fil Ibadat. Khalid bin Abdillah al-Musyaqih, Maktabah Ar-Rusyd, KSA, cet kedua 1434
[1] Al-Mahsul 1/91.
[2] Ath-Thoroif Adabiyyah hlm. 171.
[3] At-Talkhis al-Habir Ibnu Hajar 1/246.
[4] Al-Mantsur az-Zarkasyi 1/69.
[5] Lihat Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab an-Nawawi 1/27, 45. Lihat perbedaan antara fardhu ‘ain dan fardhu kifayah dalam Al-Qowaid wal Fawaid al-Ushuliyyah hlm. 253 oleh Ibnu Lahham.
[6] Ar-Raudhul Basim 1/20-21.
[7] Mukhtashor at-Tahrir hlm. 8.
[8] Ar-Risalah hlm. 20.
[9] Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR. Khalid bin Ali al-Musyaiqih hlm. 9-10.
[10] Al-Muntaqo Syarh al-Muwatho’ al-Baaji 6/140.
[11] Al-Fatawa as-Sa’diyyah hlm. 190-191.
[12] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 2/848.
[13] Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR. Khalid bin Ali al-Musyaiqih hlm. 13-14.
[14] Lihat lebih luas dalam Fiqih Nawazil 1/68-77 oleh Muhammad Husain al-Jizani.
[15] Ini adalah sumber referensi inti dalam tulisan kami dalam setiap pembahasan. Sengaja kami akan tetap membiarkan seperti asalnya dan tidak kami kumpulkan di akhir buku karena mengingat tema yang berbeda-beda. Demikian pula dalam judul-judul pembahasan selanjutnya.
Gresik, 15 Syawal 1434 H
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Bersambung…..