Hanya Bagi Mereka yang Mengurusi Anak Yatim

Hanya Bagi Mereka yang Mengurusi Anak Yatim
Oleh: Ust. RIfaq Ashfiya’ Lc.

Allah ﷻ sebagai Rabb kita, memiliki nama ar-Rahman yang memiliki arti Maha pengasih, Maha penyayang. Dan rahmat Allah sangatlah luas, meliputi segala sesuatu, di antara hikmah dan Kebaikannya Allah menciptakan manusia memiliki drajat kehidupan yang berbeda, dan yang kaya dan ada pula yang miskin. Serta Allah menjadikan kita sebagai seorang mukmin yang saling menyayangi dan mengasihi, di antaranya mengasihi anak yatim.

 CAKUPAN MAKNA ‘MENGURUSI ANAK YATIM’

Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Anak yatim bagi anak Adam adalah siapa saja yang telah ditinggal mati oleh bapaknya, karena bapaknya yang telah mendidiknya, memberi nafkah, serta yang membesarkannya.”[1]

Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya atau dari orang lain yang tak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali ketika mengomentari hadits berikut:

كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

“Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.[2]

Beliau berkata, “Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِه ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, saudara laki-lakinya atau pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu a’lam.”[3]

Sebagian ahli fikih juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lain. Dan seorang anak akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits:

لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ

“Tidak ada keyatiman setelah baligh.[4]

Kerabat atau keluarga serta pihak-pihak yang memiliki hubungan dengannya lebih berhak untuk berbuat baik kepada si yatim, memenuhi kebutuhannya, mendidik, mengarahkan, mengasihi, mengayomi, menyayangi serta mengasuhnya hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik dan matang, serta siap menghadapi hidup ketika ia telah dewasa. Meski demikian, syariat Islam yang sempurna tidak membatasi kewajiban berbuat baik kepada anak yatim hanya pada kerabatnya saja, namun kewajiban ini juga berlaku umum bagi setiap kaum muslimin sesuai dengan kadar kemampuan mereka.

Adapun Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar.[5]

PISAHKAN HARTA PRIBADI DARI MILIK ANAK YATIM

Banyak nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim dan menjanjikan balasan agung bagi para pemelihara anak yatim. Di antaranya, firman Allah ﷻ:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah, “Mengurusi urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu memperggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu.” (QS. al-Baqarah: 220)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan makna ayat di atas, “Ketika turun ayat:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. (QS. an-Nisa’: 10)

Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat) segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena khawatir akan memakan harta mereka, meski sebelumnya mereka terbiasa menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam kepengasuhannya-pen).

Mereka kemudian bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hal itu, maka Allah ﷻ memberi kabar, bahwa maksud (ayat tersebut) adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, dengan cara menjaga harta tersebut dan mengembangkannya dalam perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya boleh, asalkan tidak merugikan si yatim. Kerena mereka adalah saudara kalian juga. Dan (sudah menjadi umum), jika saudara bergaul dan berbaur dengan saudaranya sendiri. Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (pengasuh yatim). Allah Mahamengetahui siapa yang berniat untuk berbuat baik kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan harta yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa ada maksud demikian, maka ia tidak berdosa.

Allah Mahamengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan harta tersebut. Yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia makan. Demikian inilah yang berdosa. Karena wasilah (sarana) memiliki hukum yang sama dengan maksud (tujuannya).”[6]

SEBUAH KEBAIKAN PEMBERI NAFKAH ANAK YATIM

Dalam sebuah ayat, Allah menjelaskan tentang sebuah kebaikan dan balasan yang setimpal bagi pemberi nafkah anak yatim:

Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan, hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan kebaikan apa saja yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Mahamengetahuinya. (QS. al-Baqarah: 215)

 Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam Tafsirnya, “’Dan anak-anak yatim,’ Mereka adalah anak-anak kecil yang tidak memiliki orang yang menafkahi mereka, sehingga mereka adalah orang-orang yang biasanya sangat membutuhkan. Mereka tidak mampu mengurusi kemaslahatan diri mereka sendiri dan tak ada orang yang mencari nafkah untuk mereka. Allah mewasiatkan mereka kepada para hamba-Nya sebagai kasih sayang dari-Nya kepada mereka dan kemurahan-Nya.

Ketika Allah ﷻ mengkhususkan mereka yang telah disebutkan dalam ayat itu karena kebutuhan mereka yang sangat mendesak, Allah menyebutkan secara umum seraya berfirman, ‘Dan kebaikan apa saja yang kamu buat,’ seperti bersedekah terhadap atau selain mereka, bahkan segala bentuk ketaatan dan pendekatan diri, karena itu termasuk dalam kategori kebaikan, ‘maka sesungguhnya Allah Mahamengetahuinya,’ maka Allah membalasnya buat kalian dan menjaganya untuk kalian, sesuai dengan niat dan keikhlasannya, banyak dan sedikitnya nafkah yang diberikan, kebutuhan yang mendesak terhadapnya dan besarnya manfaat serta gunanya.”

Imam an-Nawawi mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kafilul yatim, yaitu siapa saja yang mengurusi dan memenuhi kebutuhannya dalam memberi nafkah, memberi pakaian, serta mendidiknya.[7]

KEBAIKAN SEBUAH RUMAH BERPENGHUNI ANAK YATIM

Rasulullah ﷺ bersabda,

خَيْرُ بَيْتٍ فِي الْمُسْلِمِينَ بَيْتٌ فِيهِ يَتِيمٌ يُحْسَنُ إِلَيْهِ ، وَشَرُّ بَيْتٍ فِي الْمُسْلِمِينَ بَيْتٌ فِيهِ يَتِيمٌ يُسَاءُ إِلَيْهِ

Sebaik-baik rumah orang muslim ialah yang di dalamnya ada anak yatim dan diasuh dengan baik. Seburuk-buruk rumah orang Islam adalah yang ada di dalamnya anak yatim yang diperlakukan dengan jahat.”[8]

 BAGI YANG INGIN MENEMANI NABI DI SURGA

Dalam satu haditsnya, Nabi ﷺ bersabda:

أنا وَكَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَأشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ الوُسْطَى وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا

Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua jari) ini,” dan beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan memisahkan keduanya.[9]

Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni anak yatim, sehingga Imam al-Bukhari mencantumkannya dalam bab: Keutamaan Orang yang Mengasuh Anak Yatim. Orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan tinggi di surga, dekat dengan Rasulullah ﷺ.[10]

Keutamaan ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya.[11]

Ibnu Hajar menjelaskan (Fathul Bari 10/536-537), “Imam Ibnu Baththal berkata, ‘Orang yang mendengar hadis ini wajib melaksanakannya, agar ia bisa menjadi sahabat Nabi ﷺ di surga. Di akhirat, tidak ada kedudukan yang lebih utama dari itu.’” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Isyarat ini cukup untuk menegaskan kedekatan kedudukan pemberi santunan kepada anak yatim dan kedudukan Nabi, karena tidak ada jari yang memisahkan telunjuk dengan jari tengah.”

MULIAKANLAH ANAK YATIM, NISCAYA HATIMU MENJADI LUNAK

Jika di antara kita ada yang mengeluhkan kerasnya hatinya, maka menyantuni anak yatim merupakan sarana yang bisa menjadikan hati lunak. Ialah obat yang diwasiatkan oleh Nabi ﷺ. Abu Darda’ a\ berkata:

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يَشْكُوْ قَسْوَةَ قَلْبِهِ، قَالَ : أَتُحِبُّ أَنْ يَلِيْنَ قَلْبُكَ، وَتُدْرَكَ حَاجَتُكَ ؟ اِرْحَمِ الْيَتِيْمَ، وَامْسَحْ رَأْسَهُ، وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ، يَلِنْ قَلْبُكَ، وَتُدْرَكْ حَاجَتُكَ

“Ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi mengeluhkan kerasnya hati. Nabi pun bertanya, ‘Sukakah kamu, jika hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu terpenuhi? Kasihilah anak yatim, usaplah kepalanya, dan berilah makan dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu akan terpenuhi.”[12]

Sesungguhnya orang yang berbuat kebaikan kepada anak orang lain adalah yang telah memasukkan rasa gembira di hati mereka. Tak diragukan lagi, Allah pasti tidak akan menyia-nyiakannya, karena Dia Maha Pengasih dan mencintai semua yang pengasih. Nabi ﷺ bersabda :

الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ تَبَاركَ وَتَعَالى اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِيْ السَّمَاءِ

Orang-orang yang pengasih, akan dikasihi oleh arRahman (Yang Maha Pengasih) Tabaraka wa Ta’ala. Kasihilah siapa yang ada di bumi, niscaya engkau dikasihi oleh yang ada di langit.[13]

 SEBAIK-BAIK HARTA IALAH YANG DIBERIKAN UNTUK ANAK YATIM

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَنِعْمَ صَاحِبُ الْمُسْلِمِ ، مَا أَعْطَى مِنْهُ الْمِسْكِينَ وَالْيَتِيمَ وَابْنَ السَّبِيلِ ،

“Sesungguhnya harta adalah kelembutan dan keelokan, maka sebaik-baik harta adalah milik seorang muslim, yang diberikan/diinfakkan kepada orang-orang miskin, anak yatim, dan ibnu sabil.” (HR. al-Bukhari: 1465, Muslim: 1052)

Di antara kebaikan sahabat Rasulullah, mereka tidaklah makan kecuali bersama anak yatim, seperti dalam sebuah riwayat Imam al-Bukhari, bahwa Abdullah bin Umar d\ tidaklah makan pada nampannya melainkan bersamanya anak yatim.[14]

Allah ﷻ berfirman,

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS. al-Insan: 8)

 ASUHLAH ANAK YATIM SEBAGIAMANA ANAK SENDIRI

Allah ﷻ berfirman,

Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah, “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Mahabijaksana. (QS. al-Baqarah: 220)

Memberikan kasih sayang kepada anak yatim tidaklah melarang ia untuk memberikan pelajaran kepadanya, seperti memberi pukulan yang wajar, sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, bahwa Aisyah s\ pernah ditanya tentang pendidikan terhadap anak yatim, beliau menjawab:

إِنِّي لَأَضْرِبُ الْيَتِيْمَ حَتَّى يَنْبَسِطَ

“Sesungguhnya aku pernah memukul anak yatim sampai (menangis) tertelungkup.”[15]

Dalam riwayat Imam Bukhari yang lain, dari Asma’ binti Ubaid berkata, aku mengatakan kepada Ibnu Sirin, “Aku memiliki anak yatim, maka beliau mengatakan,

اصْنَعْ بِهِ مَا تَصْنَعُ بِوَلَدِكَ، اضْرِبْهُ مَا تَضْرِبُ وَلَدَكَ‏.

“Perlakukanlah ia semisal engkau memperlakukan anakmu, pukullah ia sebagaimana engkau memukul anakmu.”[16]

Semoga bermanfaat.


[1] Majmu’ Fatawa 34/108.

[2] HR. Muslim: 2.983, Bahjatun Nazhirin 1/350.

[3] Bahjatun Nazhirin 1/350.

[4] Sunan Abu Dawud no. 2.873, Tafsir Ibni Katsir 2/ 215, tafsir ayat ke-6 dari surat an-Nisa’.

[5] Syarh Shahih Muslim 18/113.

[6] Taisir Karimir Rahman 1/211.

[7] Syarh Shahih Muslim 13/118.

[8] HR. al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 137 dan Ibnu Majah no. 3679.

[9] HR. al-Bukhari (9/ 439, Fath al-Bari), Bahjatun Nazhirin 1/ 350.

[10] ’Aunul Ma’bud 14/41 dan Tuhfatul Ahwadzi 6/39.

[11] Syarh Shahih Muslim 18/113 dan Faidhul Qadir 3/49.

[12] HR. ath-Thabrani, Abdurrazzaq dan Abu Nu’aim.  Hadis ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib: 2544, Shahih al-Jami’: 80.

[13] HR. Abu Dawud: 4941, at-Tirmidzi 1/350, dan lain-lain, ash-Shahihah 2/630.

[14] Shahih al-Adab al-Mufrad tahqiq Syaikh al-Albani 102/136.

[15] Dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 105: shahihul isnad.

[16] Dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 104: shahihul isnad.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.