Harga Sebuah Nikmat Kesehatan

Harga Sebuah Nikmat Kesehatan 

Oleh: Ust. Rifaq Ashfiya’ Lc.

Teks Hadits

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ﷺ : إَنَّ أوّلُ مَا يُحاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَنْ يُقَالَ لَهُ: أَلَمْ أُصِحَّ لَكَ جِسْمَكَ وأَرْوِكَ مِنَ المَاءِ البَارِدْ ؟

Dari Abu Hurairah a\, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya perkara pertama yang akan dihisab oleh Allah, yang dikatakan padanya, ‘Bukankah Aku sehatkan badanmu dan Aku beri kamu minum dengan air yang dingin?”

Takhrij Hadits

Hadits ini di riwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (2/240), Ibnu Hibban no. 2585, al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain no. 7203 (4/153). Dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam as-Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 539 (2/76).

Penjelasan Hadits

Dengan datangnya hadits ini menjelaskan akan pandangan agama Islam tentang keutamaan sehat, dan itu merupakan nikmat Allah ﷻ yang sangat besar diberikan kepada hamba. bahkan Allah ﷻ menjadikan nikmat sehat yang paling agung setelah nikmat iman, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah ﷺ,

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغِ

“Dua nikmat, kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari: 6412)

Nikmat sehat sangatlah agung perkaranya di sisi Allah ﷻ, dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

Kedua kaki seorang hamba tidaklah berpindah pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai umurnya, di manakah ia habiskan; ilmunya, di manakah ia amalkan; hartanya, bagaimana cara ia mendapatkannya dan ke mana ia infakkan; dan mengenai badannya, di manakah usangnya.” (HR. at-Tirmidzi: 2417, Shahih)

Maka dengan demikian wajib bagi seorang muslim untuk menjaga nikmat yang sangat agung ini dan peringatan dari Allah akan menggunakan nikmat sehat ini untuk berbuat kemaksiatan atau hal-hal yang tidak diinginkan oleh Allah ﷻ. Jika sesorang mengingkari nikmat yang mulia ini, maka tidak ada yang ditunggu kecuali adzab dari Allah, sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ يُّبَدِّلْ نِعْمَةَ اللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُ فَاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Barangsiapa menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya. (QS. al-Baqarah: 211)

Sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah ﷻ atas nikmat sehat ini, yaitu dengan menjaga kesehatan tubuh kita dan melakukan segala hal untuk memperbaiki kondisi tubuh kita. Maka dengan ini setiap nasihat dan arahan dari dokter yang bermanfaat bagi kita, kita wajib melaksanakannya.

Dalam Islam juga Rasulullah ﷺ telah menjelaskan syariat Islam kepada kita yang memiliki manfaat dan hikmah bagi kesehatan manusia, semisal dalam masalah wudhu yang merupakan pintu seseorang melaksanakan shalat, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ،

“Tidak sah shalat seseorang tanpa wudhu.”[1]

Begitu pula dengan syariat mandi besar ketika selesai dari jimak maupun mandi janabah selain sebab jimak, sebagaimana Allah ﷻ berfirman:

وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ

Jika kamu junub maka mandilah. (QS. al-Maidah: 6)

Dan perintah Rasulullah ﷺ untuk menjaga kebersihan anggota badan tertentu, semisal perintah memotong kuku atau menggosok gigi dengan siwak. Rasulullah ﷺ bersabda,

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhai oleh Allah.” (HR. al-Bukhari, Fathul Bari 4/187)

Tujuan terbesar diutusnya Rasulullah ﷺ

Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang paling menginginkan kebaikan dan Rasul yang paling sayang kepada makhluk –khususnya kepada umatnya– sebagaimana Allah jelaskan tentang beliau. (QS. at-Taubah: 128)

Beliau tidak meninggalkan satu kebaikan pun kecuali telah beliau tunjukkan kepada umatnya. Beliau tidak membiarkan satu kejelekan pun kecuali telah beliau peringatkan dan beliau larang.

Termasuk dalam masalah ini, yaitu anjuran beliau kepada umat ini dengan sesuatu yang bisa menjaga kesehatan mereka dan mencegah hal-hal yang bisa menimbulkan penyakit pada badan dan jiwa. Juga larangan beliau dari setiap yang membahayakan dan menghindari madharat sebelum terjadi. Inilah yang dinamakan dengan ath-Thibbun Nabawi al-Wiqa’i (Tindakan Nabi yang bersifat preventif), yang banyak terdapat dalam Sunnah dan bahkan dianjurkan oleh al-Qur’an. Dan Anda dapat menyimpulkan, bahwa kaidah-kaidah menjaga kesehatan yang dijelaskan oleh al-Qur’an dan al-Hadits dapat dibagi menjadi tiga;

Pertama: Menjaga kesehatan.

Allah ﷻ mengisyaratkan dalam firman-Nya:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ

Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. al-Baqarah: 184)

Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Dalam ayat ini Allah membolehkan berbuka bagi orang yang sakit, karena alasan sakitnya. Dan bagi orang yang bersafar karena berkumpulnya berbagai kesusahan yang akan menyebabkan lemahnya badan, sehingga Allah membolehkan orang yang bersafar untuk berbuka, agar memelihara kekuatan mereka dari hal-hal yang bisa melemahkannya.”

Kedua: Menjaga (diri) dari hal-hal yang membahayakan.

Kaidah ini telah diisyaratkan Allah ﷻ dalam firman-Nya:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا

Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan (safar) atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). (QS. an-Nisa’: 43)

Dalam ayat ini Allah membolehkan orang yang sakit untuk menggunakan debu yang suci dan tidak menggunakan air, demi menjaga badan dari hal-hal yang bisa membahayakannya. Di sini juga terdapat peringatan agar menjaga diri dari setiap hal yang bisa membahayakan, baik dari dalam maupun dari luar.

Ketiga: Membuang zat-zat yang rusak.

Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖٓ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ ۚ

Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah atau berkorban. (QS. al-Baqarah: 196)

Dalam ayat ini Allah membolehkan bagi orang yang sakit atau yang ada gangguan di kepalanya, seperti: kutu, atau rasa gatal, atau yang lainnnya; maka boleh baginya memotong rambutnya walaupun sedang dalam keadaan ihram, untuk menyingkirkan zat-zat yang menyebabkan penyakit di kepalanya.

 Keutamaan mukmin yang kuat

Rasulullah ﷺ pernah bersabda menjelaskan tentang keutamaan mukmin yang kuat di sisi Allah ﷻ,

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah.”[2]

Maknanya adalah mukmin yang kuat imannya, tubuhnya, dan amalnya lebih baik daripada mukmin yang lemah imannya atau lemah dalam hal amalan serta tubuhnya. Sebab, mukmin yang kuat dapat melakukan sesuatu untuk kaum muslimin. Dia dapat memberikan manfaat kepada kaum muslimin dengan kekuatan tubuh, iman, dan amalnya.

Mereka (yang memiliki kekuatan) memberikan manfaat besar dengan kekuatan tersebut dalam jihad fi sabilillah, merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin, membela Islam dan kaum muslimin serta merendahkan musuh Islam dan berdiri menghadapi musuh tersebut. Semua ini tidak mampu dilakukan oleh mukmin yang lemah.

Dalam hadits ini, terdapat dorongan untuk memiliki kekuatan. Agama Islam sendiri adalah agama yang kuat, memiliki kemuliaan dan tinggi. Sehingga selalu dan selamanya dituntut adanya kekuatan dari kaum muslimin. Allah ﷻ berfirman,

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ

Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka (orang-orang kafir) kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuh kalian. (QS. al-Anfal: 60)

Firman-Nya:

وَلِلّٰهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهٖ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ

Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. (QS. al-Munafiqun: 8)

Dengan demikian, kekuatan adalah sesuatu yang dituntut dan dicari dalam Islam. Kekuatan dalam keimanan dan akidah/keyakinan, kekuatan dalam beramal/berbuat, dan kekuatan tubuh. Sebab, hal tersebut menghasilkan kebaikan bagi kaum muslimin.”[3]

Semoga sabda Nabi ﷺ berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini Shahih).

 Wallahu a’lam. 


[1] Hasan; Shahih Sunan Ibni Majah (no. 320), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’bud) (I/174 no. 101), dan Sunan Ibni Majah (I/140 no. 399).

[2] HR. Muslim no. 2664, Ahmad (2/366, 370); Ibnu Majah no. 79, 4168, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Hidayatur Ruwat ila Takhriji Ahaditsil Mashabih wal Misykat (no. 5228).

[3] Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan 1/198—199.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.