Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap sunnahku

 

Wasiat Mulia Nabi 

HADITS KEDUAPULUH DELAPAN

Teks Hadits

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ:

 وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْعَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْوَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

[رَوَاهأبو داود والترمذي وقال: حديث حسن صحيح]

Dari Abu Najih al-‘Irbadh bin Sariah a\ dia berkata,“Rasulullah n\memberi kami nasihat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata,‘Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat.’Rasulullah n\ bersabda, “Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah q\, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegangteguhterhadapajarankudanajaranKhulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.Gigitlah (genggamlahdengankuat) dengan geraham.Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.’”

(HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, beliau berkata,“Hasan Shahih.”Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab as-Sunnah, bab keharusan mengikuti as-Sunnah no. 4607. Dan Imam at-Tirmidzi dalam kitab al-‘Ilmu,bab yang berkaitan dengan kewajiban mengikuti as-Sunnah dan menjauhi kebid’ahan no. 2676.Dan dalam Musnad Imam Ahmad 4/126.[1]Al-Hafizh Ibnu Rajab v\ dalam Jami’ al-‘Ulum, bahwa hadits ini hasan.Penghasananhaditsinidinyatakanpula oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadial-Wadi‘iv\, walaupunada sebagian ulama yang menshahihkannya, sehingga mereka bersepakat bahwa hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil atau argumen), kecualiIbnu al-Qaththanal-Fasiv\ yang mendha’ifkan hadits ini.)[2]

MUTIARA HADITS:

  1. Biografi Singkat Perawi Hadits.

Beliau bernamaIrbadhعِرْباض“kasrah huruf awal dansukunhurufra’,” YaituIbnu Sariah as-Salami atau dikenal dengan nama Abu Najih a\.Beliau adalah salah satu sahabat yang berasaldariShuffahdanmenjadisalah satu sebab turunnya surat at-Taubah ayat 92 yang artinya:

Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” (QS. at-Taubah: 92)[3]

Ada yang mengatakan bahwa beliau termasukdariahlishuffahyang kemudiantinggal di negeri Himsha.[4]Julukan beliau adalah Abu Najih.Sedangkanperiwayatdaribeliaudi antaranya;Abdurrahman bin ‘Amr, Jubairbin Nufair, Khalid bin Ma’bad dan lain-lain.[5]Beliau tinggal di Syam.[6]

Dari kalangan sahabat yang meriwayatkan dari beliauadalahAbu Ruhmdan Abu Umamah.Sedang dari kalangan tabi’in, yaitu orang-orang Syam.[7] Guru beliau adalah Abu Ubaidah Ibnu al-Jarrah a\.[8]

Al-‘Irbadhwafat pada tahun 75 H, saat fitnah Ibnu az-Zubair muncul.[9]Muhammad bin ‘Auf berkata,bahwa beliau termasuk orang yangmasuk Islam terdahulu.Khalifahbin Khayyatberkata,“Meninggalpada saat fitnahIbnuaz-Zubair muncul.”Abu Asharberkata, bahwa beliau meninggal setelah itu pada tahun 75 H.

  1. Anjuran Memberikan Nasihat.

Sebagaimana dalam hadits di sebutkan, “Rasulullahmemberikan kami nasihat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran.”

Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya :

Berilah nasihat kepada mereka dan katakanlah kepada mereka ucapan yang bisa dipahami, mengena dan menancap di jiwa-jiwa mereka. (QS. an-Nisa’: 63)

Nabi n\ memiliki sifat selalu memberikan bimbingan kepada jalan yang lurus terhadap siapa saja dari kalangan umatnya, sehingga ketika para sahabatnya meminta agar beliau memberikan nasihat maka beliau pun memenuhinya diiringi dengan hikmah.

Rasulullah n\ ketika menyampaikan nasihat senantiasa memilih kata-kata yang tepat, lafazh yang indah, mengena di hati dan menancap dengan dalam.Beliau tidak menyampaikan nasihat dengan kalimat yang panjang lagi bertele-tele, namun cukup dengan kalimat yang ringkas namun mencakup dan dimengerti.Karena itulah beliau dikenal oleh para sahabatnya sebagai orang yang memilikijawami’ al-kalim (perkataan yang ringkas namun padat).Sebagaimana sabda beliau n\,“Akudiutusdenganjawami’ al-kalim.”[10]

‘Ammar bin Yasir a\ pernah menyampaikan khotbah dengan ringkas dan dipenuhi dengan kata-kata yang tepat, ibarat yang indah dan menancap di hati. Seusai khotbah, ada seseorang yang menegur.Maka ‘Ammar menanggapi dengan jawaban yang tepat, “Aku mendengar Rasulullah n\bersabda,“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan ringkas khotbahnya merupakan tanda kefaqihannya. Karenaitu, panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah khotbah. Sesungguhnya di antara penyampaian dan ucapan ada yang membuat orang tersihir.” (HR. Muslim: 869)

Jika para pendengar nasihat bisa memahami dan menerima maka akan memberikan pengaruh pada hatinya, sebagaimana dalam hadits di atas, “Nasihat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran.”[11]

Demikianlah nasihat Rasulullah n\, yang seolah-olah beliau akan pergi meninggalkan mereka dengan memberikan nasihat perpisahan. Sebagaimana yang telah diketahui, orang yang akan pergi jauh tidak akan meninggalkan sesuatu yang penting kecuali disampaikan dan dipesankannya.[12]

  1. Wasiat SupayaBertakwa Kepada Allah q\.

Sesungguhnya perkara yang paling penting di dalam memberikan wasiat adalah dengan wasiat takwa, sebagaimanaRasulullahn\ mengatakan, “Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah q\.”[13]Berkata ahlul ilmi, bahwa takwa merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala perkara.Seluruh seruan kepada pintu kebaikan maupun larangan dari kejelekan terkumpul dalam kalimat takwa ini.

Takwa ini pula merupakan wasiat Allah q\ kepada orang-orang terdahulu maupun yang belakangan, sebagaimana dalam firman-Nya:

ﮋ ﮟ  ﮠ  ﮡ  ﮢ  ﮣ  ﮤ    ﮥ  ﮦ  ﮧ  ﮨ  ﮩ  ﮪﮫﮊ

Sungguh Kami telahmewasiatkankepada orang-orang yang diberikan al-Kitab sebelummu dan juga kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. (QS. an-Nisa’: 131)

  1. Wasiat untuk Mendengar dan Taat.

Yang dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau n\ di sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin, sebagaimana sabda beliau, “Saya wasiatkan untuk tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak,”karena taat kepada mereka akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dengan menaati mereka akan baiklah kehidupan orang-orang yang dipimpin (rakyat) danmenjadiamanlahnegeri, di samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.

Hal ini merupakan kewajiban agama karena Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya:

Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada pemimpin di antara kalian. (QS. an-Nisa’: 59)

Kewajiban mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika yang menjadi pemimpin sekalipun seorang budak.Rasulullah n\ pernah berpesan,“Tetaplah kalian mendengar dan taat, sekalipun yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyah (Ethiopia) yang rambutnya seperti kismis.”[14]

Al-Imam Ibnu Daqiq al-‘Id v\ menyatakan, bahwa sebagian ulama berkata, “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin, akan tetapi penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah permisalan walaupun tidak mungkin terjadi.Samahalnya dengan sabda Nabi n\,‘Siapa yang membangun masjid untuk Allah, walaupun besarnya hanya seperti sarang burung maka Allah akan bangunkan untuknya sebuah rumah di surga.’Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia sebagai masjid, akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan.”

Dimungkinkan pula di sini Nabi n\ingin mengabarkan rusaknya perkara apabila diserahkan urusan kepada selain ahlinya, sampai akhirnya kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak (yang dia bukan ahlinya).Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan itu terjadi, tetaplah kalian mendengar dan taat (dalamrangkamenolakkemudharatan yang lebihbesarwalaupun) terpaksamenempuhkemudharatan yang lebihringan di antaraduamudharat yang ada, dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin.Yang mana bila membangkang terhadapnya akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.”[15]

Tentunya ketaatan kepada pemimpin itu sebatas dalam perkara yang ma‘ruf (baik), tanpa melanggar hak Allah q\, karena Rasulullah n\bersabda,“Ketaatan itu hanyalah dalam perkara kebaikan.” (HR. al-Bukhari: 4340 dan Muslim: 1840)

  1. Wasiat Berpegang Teguh dengan Sunnah.

Nabi n\ mengatakan, “Siapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak.Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.Gigit/pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.”

Ini merupakan salah satu dari tanda kenabian beliau n\, di mana beliau mengabarkan kepada para sahabatnya tentang perkara yang akan datang sepeninggalnya, yakni akan terjadi perselisihan yang banyak di kalangan umat beliau. Hal inisesuaidenganpengabaranbeliau,bahwaumat ini akan berpecah belah menjadi 70 lebih golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu yang selamat, yaitu mereka yang berpegangdengan yang dipegangiolehRasulullahdan para sahabatnya. (Shahih Sunan at-Tirmidzi: 2129)

Karena itulah, sebagai bahtera penyelamat dari gelombang perselisihan dan perpecahan ini adalah berpegang teguh dengan sunnah beliau dan para al-Khulafa’ ar-Rasyidin.Amat kuatnya keharusan berpegang tersebut hingga diibaratkan seperti menggigit dengan geraham.[16]Ditambahkan oleh Syaikhul Islam,bahwadikhususkannyapenyebutangerahamdalam hadits ini sebab gigitannya sangat kokoh.[17]

Kata al-Imam as-Sindi v\, “Hal ini menunjukkan keharusan untuk bersabar terhadap kepayahan yang menimpanya di jalan Allah, sebagaimana yang harus dihadapi orang yang sakit terhadap derita yang menimpanya dari sakitnya.”[18]

Adapun sunnah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi n\ ini adalah jalan hidup beliau yang lurus dan jelas.[19]

Selain mengikuti sunnah beliau, diperintahkan pula setelahnyauntukmemegangisunnahal-Khulafa’ ar-Rasyidin dan mereka yang dimaksud di sini adalah Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali f\, kata Ibnu Daqiq al-‘Id. Para khalifah ini disifati dengan (ar-Rasyidin) karena mereka mengetahui, mengenali kebenaran dan memutuskan dengannya. Merekalah (al-Mahdiyyin) karena Allah telah memberi petunjuk mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut.[20]

Nabi n\ menggandengkansunnahal-Khulafa’ ar-Rasyidin dengan sunnah beliau karena para khalifah ini tatkala menetapkan sunnah bisa jadi mengikuti sunnah Nabi itu sendiri, bisa pula mereka mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah Nabi secara global dan rinci, yang mana perkara tersebut tersembunyi bagi yang lainnya.[21]

Al-Imam asy-Syaukani v\ dalam al-Fathu ar-Rabbani mengatakan,“Sunnah adalah jalan yang ditempuh, sehingga seakan-akan Nabi n\bersabda, ‘Tempuhlah jalanku dan jalannya al-Khulafa’ ar-Rasyidin.’ Jalannya al-Khulafa’ ar-Rasyidin di sini sama dengan jalan Rasulullah n\ karena mereka merupakan orang yang paling bersemangat dalam berpegang dengan sunnah beliau dan mengamalkannya dalam segala perkara. Bagaimana pun keadaannya, mereka sangatlah berhati-hati dan menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke dalam perkara yang menyelisihi Rasulullah n\, sekalipun dalamperkara yang terbilangkecil, terlebihlagi dalam perkara yang besar.”

Beliau kemudian melanjutkan: “Minimal darifaidahhaditsiniadalahra`yu (pendapat) yang bersumber dari mereka adalah lebih utama dari pendapat orang selain mereka, sekalipun ternyata setelah ditinjau kembali hal itu merupakan Sunnah Rasulullah, dan juga lebih baik daripada tidak ada dalil.”[22]

  1. Wasiat SupayaMewaspadai Bid‘ah.

Ucapan Nabi n\,“Hati-hati kalian dari perkara-perkara baru,” merupakan peringatan kepada umat beliau dari perkara baru yang diada-adakan lalu disandarkan kepada agama sementara perkara tersebut tidak ada asalnya sama sekali di dalam syariat. Karena kalimat ( إِيَّا) pada kalimat, “hendaknya kalian,” memiliki makna peringatan dari melakukan perkara baru dalam urusan agama. Dan beliautekankanlagiperingatanini dengan sabdanya, “Karena setiap bid’ah itu sesat.

Adapun perkara baru dalam urusan dunia, maka bisa jadi perkara baru yang baik dan bisa menjadi perkara baru yang jelek, tergantung dengan maksud dan tujuan.[23]

Adapun ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian bid‘ah maka kembalinya hal tersebut kepada pengertian bid‘ah secara bahasa, bukan bid‘ah menurut syariat. Seperti perkataan Umar a\ ketika melihat kaum muslimin shalat tarawih berjamaah dipimpin oleh seorang imam, ia berucap, “Sebaik-baik bid‘ah adalah perbuatan ini.

Shalat tarawih berjamaah ini bukanlah bid‘ah dalam pengertian syar‘i, karena perbuatan ini telah ada asalnya dalam syariat, di mana Nabi n\ pernah melakukannya bersama para sahabat selama beberapa malam dari malam-malam Ramadhan. Adapun Umar, hanya menghidupkannya kembali setelah Nabi n\ tidak melanjutkan pelaksanaannya karena khawatir perkara tersebut akan diwajibkan atas umat beliau, sementara mungkin ada di antara mereka yang tidak mampu melaksanakannya.

Dan dalam hadits ini pula menunjukkan kesalahpahaman yang membagi bid’ah dalam 5 hukum atau dalam 3 hukum.Semisal bid’ah yang baik, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh, bid’ah yang haram, serta bid’ah yang wajib.Karena kita meyakini bahwa hamba yang paling tahu terhadap syariat serta hukum Allah adalah Rasulullah n\,maka bagaimanakitabisamelangkahisyariatNabi Muhammad n\?![24]

Wallahua’lambishshawab.


[1]Syarh al-Arba’in an-Nawawi oleh Syaikh Ibnu‘Utsaiminhal. 300.

[2]As-Sunnah Ibnu Abi ‘Ashim no. 27, ash-Shahih al-Musnad 2/71, Jami‘ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/110, Mizan al-I’tidal 2/207, Tahdzib at-Tahdzib 2/188, 6/215).

[3]Al-Ishabahfi Tamyizash-Shahabah 4/234.

[4]Tarikh Madinah Dimasyqa 40/176.

[5]Usdual-Ghabahfi Ma’rifatiash-Shahabah 4/19.

[6]Tahdzibal-Asma’ waal-Lughah1/330.

[7]Al-Isti’abfi Ma’rifatial-Ash-hab1/384.

[8]Tahdzibal-Kamal[MaktabahSyamilah].

[9]Usdual-Ghabahfi Ma’rifatiash-Shahabah 4/19.

[10]HR. al-Bukhari: 2977 dan Muslim: 523.

[11]Syarh al-Arba’inoleh Ibnu Utsaimin,hal. 304.

[12]Tuhfah al-Ahwadzi, 7/366, ‘Aun al-Ma`bud, 12/234

[13]Syarh al-Arba’inoleh Ibnu‘Utsaimin,hal. 305.

[14]HR. al-Bukhari dari Anas bin Malik a\ no. 7142 dan Muslim dari Abu Dzar a\ no. 648.

[15]Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, hal. 75.

[16]Jami’ al-‘Ulum 2/126.

[17]Majmu’al-Fatawa 22/225.

[18]Syarh Ibnu Majah, al-Imam as-Sindi.

[19]Syarh al-Arba’in, hal. 75.

[20]Syarh al-Arba’in, hal.75, Jami’ al-‘Ulum 1/127.

[21]Al-I’tisham 1/118.

[22]Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/367

[23]SyarhArbainOleh Ibn Utsaimin Hal 311

[24]SyarhArbainOleh Ibn Utsaimin Hal 311

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.