سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Kontroversi Pemimpin Nonmuslim
Kontroversi Pemimpin Nonmuslim
Disusun oleh Ustadz Hafidz Musthofa Abu Najah
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah! Kita hidup di sebuah zaman dan di sebuah negeri yang banyak sekali diteriakkan slogan-slogan kebebasan, toleransi, dan menjunjung HAM. Slogan-slogan semacam ini sekilas terdengar baik-baik saja dan tidak ada masalah. Dan memang pada asalnya tidak bermasalah karena Islam mengajarkan agar kita bertoleransi dan menghormati hak-hak sesama. Namun, bila slogan-slogan ini diterapkan tanpa mengenal kaidah-kaidah yang ada maka justru akan bertentangan dengan syari‘at. Salah satu hal buruk yang muncul akibat penerapan toleransi yang berlebih-lebihan adalah tersamarkannya perkara yang jelas-jelas batil, tersamarkannya perkara-perkara yang jelas-jelas mungkar. Tidak perlu banyak contoh, sebut saja LGBT; semua muslim baik yang mumpuni dalam ilmu Islam maupun yang sangat awam akan dengan mudah berkata bahwa LGBT adalah kemungkaran dan kebatilan tanpa ada keraguan sedikit pun. Namun, sebagian kalangan dengan menggunakan dalih toleransi dan HAM membela perbuatan nista tersebut. Sehingga yang terjadi adalah LGBT yang dahulu tampak jelas kemungkarannya menjadi samar bagi sebagian kalangan awam.
Masalah pemimpin nonmuslim juga telah tampak jelas keharamannya oleh umat Islam tanpa ada keraguan. Namun, sebagian kalangan dengan menggunakan dalih toleransi dan dalih-dalih yang lain beranggapan bahwa pemimpin tidak mesti muslim, yang penting jujur dan amanah. Akhirnya, banyak umat Islam yang meragukan keharaman pemimpin nonmuslim setelah tadinya mereka meyakini hal itu. Bahkan yang lebih ironis lagi, hari ini bila ada tokoh Islam yang berbicara tentang haramnya pemimpin nonmuslim—sebagai bentuk upaya menjalankan kewajiban yaitu menjelaskan ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasulullah n\ kepada umat Islam—ia justru dianggap oleh sebagian kalangan telah melanggar aturan karena telah berkampanye hitam dan melakukan provokasi dengan muatan SARA.
Melalui tulisan ini saya mengajak segenap kaum muslimin agar membuka mata lebar-lebar guna menelaah kembali agama kita dari sumbernya Serta lebih mengedepankan akal sehat serta wahyu Rabbul‘alamin daripada perasaan. Agar permasalahan ini tidak samar lagi bagi kita, berikut ini akan kami kemukakan beberapa argumen (baca: syubhat) yang biasa dikemukakan oleh para pengusung pendapat “pemimpin tidak harus muslim”, kemudian kami berikan tanggapan kami atas syubhat-syubhat tersebut. Selamat membaca.
Syubhat pertama:
Berkata Nur Maulana, “Kepemimpinan itu tidak bicara masalah agama. Memangnya kau tidak mau naik pesawat kalau pilotnya beragama lain? Masa kau mau tanya sama pramugari, pilotnya siapa atau agamanya apa? Tidak usah seperti itu.”1
Berkata Habib Lutfi bin Yahya ketika ditanya tentang pemimpin, “Jangan dipertentangkan soal Muslim non-Muslim, bukan soal itu. Kalau ada yang mau dioperasi jantung, sudah di meja operasi, dokter spesialis yang akan melakukan operasi non-Muslim apa harus nunggu dokter Muslim padahal tidak kompeten?”2
Jawaban:
Pemimpin tidak sama dengan pilot atau dokter bedah. Pilot adalah seorang yang kita upah untuk kita pekerjakan; meskipun ia mengendalikan kendaraan (pesawat terbang), ia berada di bawah keinginan kita. Demikian pula halnya dokter bedah. Sementara itu, pemimpin adalah orang yang berada di atas kita; dia akan menentukan kebijakan-kebijakan yang menyangkut urusan-urusan kita. Meskipun dalam konsep demokrasi dinyatakan bahwa “kedaulatan di tangan rakyat, pemimpin hanya menjalankan kedaulatan rakyat”, dalam kenyataannya tetap saja rakyat berada di bawah kekuasaan pemimpin. Peran pemimpin dalam mengendalikan rakyat lebih besar daripada peran rakyat mengendalikan pemimpin. Ini merupakan kenyataan yang tidak bisa dimungkiri. Maka dari itu, mengqiyaskan (menganalogikan) pemimpin dengan pilot atau dokter bedah adalah analogi dua masalah yang tidak memiliki kesamaan; dalam ushulfiqh dikenal dengan istilah al-qiyas ma‘al fariq.
Di samping itu, di dalam al-Qur’an telah ada nash khusus yang berbicara soal pemimpin. Di antaranya ialah firman Allah w\:
ﭽلَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُﭼ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin/pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)”. (QS Ali ‘Imran [3]: 28)
ﭽيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَﭼ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. 5. Al-Maa-idah : 51)
Manakala pada suatu masalah telah ada dalil berupa nash al-Qur’an atau sunnah maka qiyas tidak berlaku.
Syubhat kedua:
Madina online, salah satu situs Liberal mengutip ucapan Akhmad Sahal, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Amerika-Kanada: “terdapat perbedaan tafsir di kalangan ulama mengenai ayat-ayat yang sering dijadikan rujukan terkait pemimpin non-muslim (Ali Imran:28 dan al Maidah:51..pen). Kesalahan terjadi, lanjutnya, karena kata ‘auliya’ dalam ayat itu di Indonesia sering diterjemahkan sebagai ‘pemimpin-pemimpin’. Padahal banyak penafsir Al-Quran menerjemahkan kata tersebut dalam makna berbeda.
Dalam The Meaning of the Holy Qur’an karya Yusuf Ali kata ‘auliya’ diterjemahkan dengan teman dan pelindung. Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an dan M.A.S Abdel Haleem dalam The Qur’an sama-sama menerjemahkannya sebagai sekutu.
Sementara Muhammad Marmaduke Pickthal dalam The Glorious Qur’an mengalihbahaskan kata ‘auliya’ menjadi kawan. Begitu juga N.J. Dawood dalam The Koran dan MH. Shakir dalam The Qur’an. Sedangkan berdasar The Qur’an terjemahan T.B. Irving, ‘auliya’ diartikan sebagai pendukung (sponsor).
Menurut Sahal, agak mengherankan ketika dalam terjemahan Indonesia pengertian ‘auliya’ disempitkan, kalau bukan didistorsikan, menjadi “pemimpin”, yang maknanya mengarah pada pemimpin politik.3
Jawaban:
Pertama:
Tidak diingkari bahwa kata auliya memang memiliki banyak makna. Auliya bisa bermakna teman/kawan, penolong, pelindung, pendukung sebagaimana disebutkan di atas. Akan tetapi, itu semua tidak menghalangi kita untuk menafsirkan kata auliya dengan makna “pemimpin politik” karena memang makna itulah salah satu yang terkandung dalam cakupan kata auliya. Jadi, tidak ada penyempitan apalagi distorsi untuk makna auliya.
Para ulama tafsir banyak yang menafsirkan auliya dengan makna “pemimpin politik”. Al-Imam al-Qurthubi, misalnya, ketika menafsirkan surat Ali ‘Imran [3]: 28 beliau menukil ucapan Ibnu Abbas d\ bahwa ayat ini semakna dengan ayat 118 di surat Ali ‘Imran juga, yaitu:
ﭽيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْﭼ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu”. (QS Ali ‘Imran [3]: 118)
Lalu beliau berkata:
نَهَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْمُؤْمِنِينَ بِهٰذِهِ الْآيَةِ أَنْ يَتَّخِذُوا مِنَ الْكُفَّارِ وَالْيَهُودِ وَأَهْلِ الْأَهْوَاءِ دُخَلَاءَ وَوُلَجَاءَ، يُفَاوِضُونَهُمْ فِي الْآرَاءِ، وَيُسْنِدُونَ إِلَيْهِمْ أُمُورَهُمْ.
“Allah w\ melarang kaum mukminin, berdasarkan ayat ini, untuk memilih orang kafir, orang yahudi, dan pengikut aliran sesat untuk dijadikan sebagai orang dekat, orang kepercayaan. Menyerahkan segala saran dan pemikiran kepada mereka serta menyerahkan urusan kepada mereka.” (Tafsir al-Qurthubi 4/179)
Kedua:
Anggaplah seandainya kata auliya dalam surat Ali ‘Imran tidak bermakna “pemimpin”, maka masih banyak ayat lain yang menunjukkan larangan memilih pemimpin nonmuslim. Seperti firman Allah w\:
ﭽوَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا ﭷ ﭼ
“Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukminin”. (QS an-Nisa’ [4]: 141)
Juga firman Allah w\:
ﭽ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ﯿ ﭼ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul-Nya, dan ulil-amri di antara kalian”. (QS an-Nisa’ [4]: 59)
Kalimat min-kum yang artinya “di antara kalian”, maknanya adalah “di antara kaum muslimin”. Sebab itu, mereka tidak boleh memilih pemimpin nonmuslim.
Juga, berdasarkan hadis dari Ubadah bin Shamit a\:
«بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللهِ فِيهِ بُرْهَانٌ».
“Kami berbai‘at kepada Nabi n\ untuk selalu mendengar dan taat kepada pemimpin, baik dalam suka maupun benci, sulit maupun mudah, dan beliau juga menegaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (Muttafaq ‘alaihi)
Dengan memadukan ayat-ayat dan hadits-hadits yang ada, para ulama telah sampai pada kesepakatan (ijma‘) bahwa hukum mengangkat pemimpin nonmuslim adalah haram. Al-Qadhi Iyadh berkata:
أجمع العلماءُ على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنَّه لو طرأ عليه الكفر انعزل
“Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Dan ketika ada pemimpin muslim yang melakukan kekufuran, maka dia harus dilengserkan.”4
Ibnul Mundzir berkata:
إنَّه قد أجمع كلُّ مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أنَّ الكافر لا ولايةَ له على المسلم بِحال
“Para ulama yang-dikenal telah sepakat bahwa orang kafir tidak ada peluang untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin apa pun keadaannya.”5
Catatan penting: Berkenaan dengan upaya melengserkan/menggulingkan pemimpin nonmuslim, para ulama memberikan catatan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan jika memberikan mudarat yang besar bagi masyarakat, menyebabkan terkoyaknya keamanan, dan tertumpahkannya banyak darah. Sebab, Islam selalu mempertimbangkan mana yang lebih maslahat.
Syubhat ketiga:
Berkata Said Agil Siradj, “Lebih baik pemimpin kafir tapi jujur daripada muslim tapi dzalim.” 6
Berkata Dimas Cokro ketika mendukung ucapan Said Agil Siradj, “Terlalu primitif jika dalam pemilihan pemimpin masih terbentur dengan SARA .”7
Berkata Gus Dur, “Bila kita berbuat baik dan maslahat bagi manusia, kita tidak penting untuk bertanya agama dia. Rasanya penting kita merevolusi cara pandang kita dalam hal keagamaan. Tidak penting kita ribet dan ribut karena identitas teologi seseorang. Jangan nilai seseorang dari agama yang dipeluknya. Tetapi, nilailah apa buah teologi dan kualitas imannya.”8
Jawaban:
Inti dari perkataan tiga tokoh di atas adalah bahwasanya “akhlaq tidak ada sangkut pautnya dengan aqidah; apabila akhlaq sudah bagus maka terserah mau beraqidah apa, beragama apa, tidak perlu dipersoalkan”. Demikianlah konsep akhlaq menurut para tokoh itu. Mungkin konsep tersebut sekilas terdengar manis; seolah-seolah menunjukkan penekanan pada akhlaq, moral, dan budi pekerti luhur. Namun, berikut ini akan kami kutip tiga konsep akhlaq yang pernah disampaikan oleh asy-Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Badr, salah satu ulama besar Madinah. Silakan anda timbang dan bandingkan konsep akhlaq yang beliau kemukakan dengan konsep akhlaq yang dikemukakan oleh Said Aqil Siradj dan Gus Dur. Berikut ini tiga konsep akhlaq yang dikemukakan oleh asy-Syaikh Abdurrazzaq9:
Konsep pertama: Akhlaq memiliki cakupan yang sangat luas
Akhlak dalam Islam tidak seperti yang dipahami oleh umumnya manusia yaitu sekadar bermu‘amalah dan berbuat baik terhadap sesama manusia. Akhlaq lebih luas daripada itu. Akhlaq mencakup hubungan antar sesama manusia dan juga mencakup sesuatu yang lebih agung daripada itu, yaitu beradab kepada Allah Rabbul‘alamin; bahkan ini adalah perkara yang paling asasi dalam akhlak. Orang yang kafir terhadap Allah w\, menyembah tuhan selain Allah w\, mendustakan rasul-Nya, mengolok-olok syari‘at-Nya, menyifatkan Allah w\ dengan sifat-sifat yang tidak pantas bagi-Nya, maka orang seperti ini bukanlah orang yang berakhlaq meskipun mu‘amalah dan pergaulannya dengan manusia baik. Bagaimana mau dikatakan berakhlaq, Allah w\ yang memberikan kepada dia kehidupan kemudian ia malah menyembah selain Allah w\. Bagaimana pula mau dikatakan berakhlaq, Allah w\ yang memberi rezeki kepadanya kemudian dia malah menisbahkan rezeki itu kepada selain Allah w\. Bagaimana mau dikatakan berakhlaq, semua nikmat yang ia rasakan berasal dari Allah w\ kemudian dia malah menganut agama yang tidak diridhai Allah w\.
Sebaliknya, seorang yang punya akhlak kepada Allah—ia menunggalkan/mengesakan Allah w\ dalam peribadatan, beriman kepada syari‘at-Nya—namun mu‘amalah dia terhadap sesama manusia tidak baik, dia juga belum sempurna akhlaqnya; akan tetapi, orang semacam ini bila dibandingkan dengan orang yang pertama (orang yang baik mu‘amalahnya terhadap sesama manusia tetapi tidak punya akhlaq kepada Allah) maka orang kedua ini lebih ringan keburukannya. Iya, kurang akhlaq terhadap manusia itu lebih ringan keburukannya daripada kurang akhlaq terhadap Sang Pencipta, Sang pemberi nikmat, Sang pemberi kehidupan. Alangkah indahnya ucapan Abdullah bin Mas‘ud a\ di saat menerangkan besarnya dosa bersumpah dengan nama selain Allah—yang mana itu termasuk syirik—:
لَأَنْ أَحْلِفَ بِاللهِ كاذِبًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ صَادِقًا
“Sungguh, aku bersumpah dusta dengan nama Allah lebih aku senangi daripada bersumpah jujur dengan nama selain Allah.” 10
Melalui ucapan di atas, beliau—Ibnu Mas‘ud a\—ingin mengajarkan kepada kita semua bahwa perbuatan syirik itu lebih berat dosanya daripada dusta. Dianalogikan dengan itu: “lebih baik muslim meskipun dia tidak jujur daripada orang jujur tetapi kafir terhadap Allah Sang Pencipta”. Begitulah Ibnu Mas‘ud a\ mengajarkan kepada kita. Silakan anda memilih! Ucapan Ibnu Mas‘ud a\ atau Said Agil Siradj?
Konsep kedua: Akhlaq adalah ibadah
Akhlaq bukanlah suatu perbuatan baik yang dilakukan manusia demi memperoleh manfaat-manfaat duniawi. Akan tetapi, akhlaq adalah ibadah yang dilakukan seseorang dalam rangka ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah w\ dan untuk memperoleh balasan akhirat dari-Nya. Demikianlah yang menjadi tujuan seorang muslim dalam akhlaq mereka. Ketika Allah w\ menyifatkan hamba-hamba-Nya yang berakhlaq mulia, Dia berfirman:
ﭽوَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﭨ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﭳإِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا ﭻ ﭼ
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (QS al-Insan [76]: 8–9)
Ketika menjelaskan tentang amalan yang diterima dan diberi balasan di sisi-Nya, Allah w\ berfirman:
ﭽوَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًاﭼ
“Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedang ia adalah seorang mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik”. (QS al-Isra’ [17]: 19)
Rasulullah n\ pernah ditanya oleh istri beliau, Aisyah s\, tentang Ibnu Jud‘an (seorang kafir yang rajin berderma):
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ، وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ، فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ؟ قَالَ: «لَا يَنْفَعُهُ، إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا: رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ».
Dari Aisyah s\ beliau berkata, “Wahai Rasulullah, Ibnu Jud‘an dulu di masa jahiliyyah gemar menyambung silaturahmi dan memberi makan orang miskin, apakah amalan dia itu bermanfaat untuknya?” Rasulullah n\ menjawab, “Tidak akan bermanfaat untuknya, karena ia tidak pernah berucap: ‘Ya Tuhanku ampuni dosa-dosaku pada hari pembalasan’.”11
Sabda Rasulullah n\ di atas mengisyaratkan bahwa akhlaq baik itu hanya akan bermanfaat bagi pemiliknya manakala akhlaq itu muncul dari keimanan kepada Allah w\ dan hari pembalasan.
Orang yang semisal dengannya adalah Hatim at-Tha’i. Dia sangat terkenal dengan sifat kedermawanannya. Bahkan dia menjadi simbol sifat kedermawanan sehingga kalau sifat dermawan sedang dibicarakan, pikiran orang-orang langsung tertuju kepadanya. Suatu ketika, putranya, yaitu Adi bin Hatim a\, bertanya kepada Rasulullah n\:
يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أبِي كَانَ يَصِلُ الرَحِم، وكَانَ يَفْعَل ويَفْعَل. قال: «إِنَّ أباكَ أرادَ أمْرًا فأدرَكهُ –يعني : الذِّكْر-».
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku dahulu menyambung silaturahmi dan berbuat kebaikan ini dan itu, apakah dia memperoleh pahala?” Rasulullah n\ menjawab, “Sesungguhnya ayahmu menginginkan sesuatu, yaitu pujian, dan ia telah memperolehnya.”12
Inilah akhlaq sebenarnya yang teranggap di sisi Allah w\, yaitu perbuatan baik yang ditujukan untuk Allah w\ dan mengharapkan balasan dari-Nya di akhirat. Inilah yang tidak dimiliki oleh nonmuslim. Mereka berbuat baik, tetapi perbuatan baik itu tidak mereka tujukan kepada Allah w\, tidak juga untuk meraup pahala akhirat di sisi-Nya, melainkan untuk sembahan selain Allah w\. Kesimpulannya, tidak cukup kita melihat dari sisi perbuatan baik itu semata, tetapi lihatlah untuk siapa perbuatan baik itu ditujukan.
Konsep ketiga: Semua penganut agama bertingkat-tingkat dalam hal akhlaq dan budi pekerti
Kita semua menyadari adanya kekurangan pada diri kita masing-masing dalam hal akhlaq dan budi pekerti. Keadaan kita bertingkat-tingkat dalam hal akhlaq dan perilaku. Dan demikianlah keadaan semua penganut agama di dunia ini, mereka pun bertingkat-tingkat dalam hal perilaku. Kalaulah di antara nonmuslim ada yang bagus perilakunya, bersih, jujur, amanah, maka ketahuilah ada juga dari kalangan kaum muslimin yang memiliki perilaku baik, jujur, amanah, dan peduli akan sesama. Dan kalaulah di kalangan muslimin ada yang buruk perilakunya maka ketahuilah di kalangan nonmuslim pun ada juga yang buruk perilakunya. Maka dari itu, tidaklah adil kalau hanya dengan melihat perilaku baik dari sebagian nonmuslim dan perilaku buruk dari sebagian muslim lantas kita lebih loyal kepada nonmuslim dan meninggalkan umat Islam.
Wahai tokoh muslim yang loyal kepada nonmuslim! Apakah sudah tidak ada tokoh muslim yang jujur dan amanah sehingga anda membuat perbandingan “lebih baik pemimpin kafir tapi jujur daripada muslim tapi dzalim”?
Syubhat keempat:
Yang kita butuhkan bukan agamanya tapi kemampuannya memimpin, kalau dia bisa mensejahterakan rakyat, menaikkan taraf ekonomi bangsa kenapa kita ribut mempersoalkan agamanya?
Jawaban:
Boleh saja memilih pemimpin yang dipandang bisa menyejahterakan rakyat, menaikkan ekonomi bangsa, dan mewujudkan manfaat-manfaat duniawi karena itu memang salah satu fungsi pemimpin. Akan tetapi, tidak boleh melihat hanya pada sisi duniawi saja dengan mengesampingkan agama. Kita khawatir bila umat Islam mengangkat pemimpin hanya dengan pertimbangan duniawi dan mengabaikan agama, mereka akan terancam dengan sabda Rasulullah n\:
«ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يُزَكِّيهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ، وَذَكَرَ مِنْهُم: وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَا».
“Akan ada tiga golongan manusia yang pada hari kiamat nanti tidak dipandang oleh Allah, tidak dibersihkan oleh-Nya, dan mereka akan memperoleh adzab yang pedih, salah satunya adalah: orang yang membai‘at pemimpin hanya semata-mata untuk masalah dunia.”13
Syubhat kelima:
Orang yang menolak calon pemimpin nonmuslim dan mengajak manusia untuk menolaknya, berarti ia sedang berkampanye hitam dan melakukan provokasi yang mengandung muatan SARA!
Jawaban:
Kami sangat menghargai dan sangat bertoleransi terhadap pemeluk agama lain. Maka dari itu, kami tidak mengganggu mereka dan tidak mencampuri urusan mereka. Kami hanya ingin menjelaskan kepada saudara-saudara kami—kaum muslimin—bagaimana ajaran agama Islam yang sesungguhnya, dan itu adalah hak kami. Bahkan itu adalah kewajiban kami selaku umat Islam untuk saling menasihati antar sesama agar memegangi al-haq.
Sungguh amat sempit cara berpikir seorang muslim yang memandang upaya kami semacam ini sebagai ‘kampanye hitam’. Anda menganggap hal ini sebagai kampanye hitam karena anda menilai hal ini bisa menjatuhkan kredibilitas seorang calon pemimpin nonmuslim. Sementara itu, anda sendiri tenang-tenang saja melihat kredibilitas ayat-ayat Allah dan sunnah rasul-Nya dijatuhkan oleh pendukung calon pemimpin nonmuslim. Sungguh ini cara pandang yang tidak adil.
******
Demikian yang bisa kami paparkan. Semoga Allah w\ memberikan kepada kita bashirah (cara pandang yang benar) dalam menilai setiap permasalahan. Amin.
http://m.harianindo.com/2016/05/06/105788/simak-ucapan-habib-lutfi-terkait-pemimpin-muslim-dan-non-muslim/
Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi, 6/315.
Ahkam Ahlu Dzimmah 2/787
http://www.konfrontasi.com/content/politik/said-aqil-siradj-undang-polemik-lebih-baik-pemimpin-kafir-tapi-jujur#sthash.qnwwjZQG.dpuf
Ibid.
http://icrp-online.org/2014/08/28/tak-penting-tanya-agama-warren-buffett/
Dikutip dari ceramah beliau berjudul “Islam agama Akhlaq” lihat: https://www.youtube.com/watch?v=QsX6lBUKLJQ
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (8/469) dan ath-Thabarani dalam al-Kabir (8902),berkata al-Mundziri dalam at-Targhib (3/607) dan al-Haitsami dalam Majma‘uz Zawa’id (4/177), “Para perawinya adalah perawi hadits shahih.”
HR Muslim: 214
Hasan. HR Ahmad 20/300.
HR al-Bukhari: 2358 dan Muslim: 173
One Reply to “Kontroversi Pemimpin Nonmuslim”
-
Ping-balik: Kontroversi Pemimpin Nonmuslim – PONDOK PESANTREN AL FURQON AL ISLAMI