Memakmurkan Masjid, Sifat Terpuji yang Identik dengan Iman Kepada Allah ﷻ

Memakmurkan Masjid, Sifat Terpuji yang Identik dengan Iman Kepada Allah ﷻ 

Oleh: Ust. Abdulloh Taslim al-Buthoni, M.A.

Allah ﷻ berfirman:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah. Maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allah ). (QS. at-Taubah: 18)

Ayat yang mulia ini menunjukkan tentang besarnya keutamaan memakmurkan masjid yang didirikan karena Allah ﷻ, dalam semua bentuk pemakmuran masjid. Bahkan perbuatan terpuji ini merupakan bukti benarnya keimanan yang ada dalam hati seorang hamba.

Imam al-Qurthubi berkata, “Firman Allah ﷻ ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mempersaksikan orang-orang yang memakmurkan masjid dengan keimanan adalah (persaksian yang) benar, karena Allah ﷻ mengaitkan keimanan dengan perbuatan (terpuji) ini dan mengabarkan tentanganya dengan menetapi perbuatan ini. Salah seorang ulama salaf berkata, ‘Jika engkau melihat seorang hamba (yang selalu) memakmurkan masjid maka berbaik sangkalah kepadanya.’”[1]

Ada hadits dari Rasulullah ﷺ yang menyebutkan hal ini, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (5/12 dan 277), Ibnu Majah (no. 802), Ahmad (3/68 dan 76) dan al-Hakim (1/322 dan 2/363) dari Abu Sa’id al-Khudri a\, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika engkau melihat seorang hamba yang selalu mengunjungi masjid maka persaksikanlah keimanannya,” kemudian Rasulullah ﷺ membaca ayat dalam QS. at-Taubat tersebut di atas.

Akan tetapi hadits ini lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Darraj bin Sam’an Abu as-Samh al-Mishri, dia meriwayatkan hadits ini dari Abu al-Haitsam Sulaiman bin ‘Amru al-Mishri, dan riwayatnya dari Abu al-Haitsam lemah, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu hajar al-‘Asqalani.[2]

Hadits ini dinyatakan lemah oleh Imam adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani karena rawi di atas.[3]

Karena hadits ini lemah, maka tentu tidak bisa kita dijadikan sebagai sandaran dan argumentasi yang menunjukkan keutamaan perbuatan di atas. Akan tetapi cukuplah firman Allah ﷻ di atas dan hadits-hadits lain yang shahih dari Rasulullah ﷺ yang menunjukkan keutamaan tersebut.

Misalnya, hadits riwayat Abu Hurairah a\, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (‘Arsy)-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya… (di antaranya); seorang hamba yang hatinya selalu terikat dengan masjid.”[4]

Imam an-Nawawi berkata, “Artinya: dia sangat mencintai masjid dan selalu menetapinya untuk melaksanakan shalat berjamaah.”[5]

Hakikat memakmurkan masjid

Makna memakmurkan masjid, adalah menetapinya untuk melaksanakan ibadah di dalamnya dalam rangka mencari keridhaan-Nya, misalnya shalat, berdzikir kepada Allah ﷻ dan mempelajari ilmu agama. Juga termasuk maknanya adalah membangun masjid, menjaga dan memeliharanya.[6]

Dua makna inilah yang diungkapkan oleh para ulama ahli tafsir ketika menafsirkan ayat dia atas. Imam Ibnul Jauzi berkata, “Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid (dalam ayat di atas) ada dua pendapat:

  • Selalu mendatangi masjid dan berdiam di dalamnya (untuk beribadah kepada Allah ﷻ).
  • Membangun masjid dan memperbaikinya.”[7]

Maka hakikat memakmurkan masjid, adalah mencakup semua amal ibadah dan ketaatan kepada Allah ﷻ yang diperintahkan atau dianjurkan dalam Islam untuk dilaksanakan di masjid.

Oleh karena itu, tentu saja shalat berjamaah lima waktu di masjid bagi laki-laki adalah termasuk bentuk memakmurkan masjid, bahkan inilah bentuk memakmurkan masjid yang paling utama.

Imam Ibnu Katsir menukil dengan sanad beliau, ucapan shahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas d\, beliau berkata, “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan untuk shalat (berjamaah) kemudian dia tidak menjawabnya dengan mendatangi masjid dan shalat (berjamaah), maka tidak ada shalat baginya dan sungguh dia telah bermaksiat (durhaka) kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian Abdullah bin Abbas membaca ayat tersebut di atas.[8]

Sebaliknya, semua perbuatan yang bertentangan dengan petunjuk Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ, meskipun dihadiri oleh banyak orang dan menjadikan masjid penuh dan ramai, maka semua ini tidaklah termasuk memakmurkan masjid. Seperti pelaksanaan acara-acara bid’ah[9] yang dilakukan di beberapa masjid kaum muslimin oleh orang-orang yang belum mengetahui, apalagi jika dalam acara tersebut terdapat unsur kesyirikan (menyekutukan Allah ﷻ) dan hal-hal yang bertentangan dengan akidah Islam yang lurus.

Imam Ibnu Katsir berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid Allah hanya dengan menghiasi dan mendirikan fisik (bangunan)nya saja, akan tetapi memakmurkannya adalah dengan berdzikir kepada Allah dan menegakkan syariat-Nya di dalamnya, serta membersihkannya dari kotoran (maksiat) dan syirik (menyekutukan Allah).”[10]

Demikian pula, perbuatan yang dilakukan oleh sebagian dari orang-orang awam ketika mendirikan masjid, dengan berlebih-lebihan menghiasi dan meninggikannya, sehingga mengeluarkan biaya yang sangat besar, bukan untuk memperluas masjid sehingga bisa menampung jumlah kaum muslimin yang banyak ketika shalat berjamaah, tapi hanya untuk menghiasi dan mempertinggi bangunan fisiknya.

Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk Allah ﷻ yang diturunkan kepada Rasul-Nya ﷺ, sebagaimana yang dinyatakan dalam beberapa hadits shahih berikut:

Dari Anas bin Malik a\, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah terjadi hari kiamat sampai manusia berbangga-bangga dengan masjid.”[11]

Arti “berbangga-bangga dengan masjid,” adalah membanggakan indahnya bangunan, hiasan, ukiran dan tinggi bangunan masjid, supaya terlihat lebih indah dan megah dibandingkan dengan masjid-masjid yang lain.[12]

Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diharamkan dalam Islam, karena perbuatan itu dikaitkan dengan keadaan di akhir zaman sebelum terjadinya hari kiamat, yang waktu tersebut tersebar berbagai macam kerusakan dan keburukan, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits shahih lainnya.[13]

Dalam hadits lain, dari Abdullah bin Abbas d\, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku tidak diperintahkan untuk menghiasi (atau meninggikan bangunan) masjid (secara berlebihan).” Abdullah bin Abbas berkata, “(Artinya) menghiasinya seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani menghiasi (tempat-tempat ibadah mereka).”[14]

Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut di atas haram hukumnya dalam Islam, karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani, sedang ini dilarang oleh Rasulullah ﷺ dalam sabda beliau, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk (bagian) dari mereka.”[15]

Bahkan perbuatan ini bertentangan dengan petunjuk dari sunnah Rasulullah ﷺ dan termasuk bid’ah, ditambah lagi dengan pemborosan harta untuk biaya hiasan dan peninggian bangunan tersebut, serta hilangnya kekhusyukan dalam ibadah akibat dari hiasan-hiasan yang melalaikan hati tersebut, padahal khusyuk adalah ruh ibadah.[16]

Berdasarkan keterangan di atas, maka yang sesuai dengan sunnah Rasulullah ﷺ dalam mendirikan masjid, adalah memilih yang sederhana dalam bangunan dan hiasan masjid.

Imam Ibnu Baththal dan para ulama lain berkata, “Dalam hadits di atas terdapat dalil (yang menunjukkan) bahwa (yang sesuai dengan) sunnah Rasulullah ﷺ dalam mendirikan masjid adalah (bersikap) sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam menghiasinya. Sungguh Umar bin al-Khaththab a\ di zaman (kekhalifahan) beliau, meskipun banyak negeri musuh yang ditaklukkan dan ada kelapangan harta, tetapi beliau tidak mengubah Masjid Nabawi dari keadaannya semula… Lalu di zaman (kekhalifahan) Utsman bin ‘Affan a\ yang waktu itu harta lebih banyak, tetapi beliau hanya memperindah (menambah luas) Masjid Nabawi tanpa menghiasinya (secara berlebihan).”[17]


[1] Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (8/83).

[2] Dalam kitab “Taqribut Tahdzib” (hal. 201).

[3] Lihat kitab “Tamamul Minnah” (hal. 291-292).

[4] HSR. al-Bukhari (no. 1357) dan Muslim (no. 1031).

[5] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam “Syarh Shahih Muslim” (7/121).

[6] Lihat kitab “Aisarut Tafasir” (2/66).

[7] Kitab “Zadul Masir” (3/408).

[8] Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (2/449).

[9] Yaitu semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah n\.

[10] Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (1/216).

[11] HR. Ahmad (3/134), Abu Dawud (no. 449), Ibnu Khuzaimah (2/282), Ibnu Hibban (4/493) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, as-Suyuthi dan Syaikh al-Albani (Shahihul Jami’ no. 7421).

[12] ‘Aunul Ma’bud (2/84) dan Taudhihul Ahkam (2/137).

[13] Lihat penjelasan Syaikh Abdullah al-Bassam dalam kitab “Taudhihul Ahkam” (2/138).

[14] HR. Abu dawud (no. 448) dan Ibnu Hibban (4/493) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban, as-Suyuthi dan Syaikh al-Albani (Shahihul Jami’ no. 5550).

[15] HR. Abu Dawud (no. 4031) dan Ahmad (2/50), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

[16] Lihat kitab “Taudhihul Ahkam” (2/139-140).

[17] Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab “Fathul Bari” (1/540).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.