Mencermati Aktivitas Generasi Z di Media Sosial

Mencermati Aktivitas Generasi Z di Media Sosial 

Oleh, Ummu Muhammad Widyastuti Husadani, S.Psi.

Menjadi pengguna media sosial (medsos) merupakan trend yang kecenderungannya semakin menanjak. Pada Januari 2017, dilaporkan bahwa jumlah pengguna aktif medsos telah mencapai 37% dari penduduk dunia. Di Indonesia sendiri, jumlah pengguna aktif medsos mencapai 40% dari total populasi penduduk. Hasil survei di Indonesia juga menunjukkan bahwa setiap pengguna menghabiskan rata-rata waktu sebanyak 3 jam 16 menit di medsos.[1]

Yang dimaksud dengan Generasi Z

Generasi Z adalah generasi yang lahir pada tahun 1995 sampai 2012. Sementara generasi X adalah generasi yang lahir pada tahun 1966-1976, dan generasi Y adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1978-1994[2]. Pada tahun 2017 ini, sebagian besar generasi Z sedang berada dalam masa anak-anak dan remaja.

Salah satu kondisi khas yang dimiliki generasi Z adalah mereka lahir pada era di mana internet telah mewabah di berbagai penjuru, khususnya di wilayah perkotaan. Menurut Nukman Luthfie, seorang pakar Teknologi Informasi, generasi Z ini adalah generasi yang sangat digital. “Generasi Z ini tidak baca koran, kurang baca majalah dan kurang nonton televisi,” demikian tuturnya. Sumber informasi yang utama bagi mereka adalah media sosial.[3]

Keterlibatan generasi Z dengan media sosial menjadi sangat sulit untuk dihindarkan. Di satu sisi, banyak orang tua mengkhawatirkan dampak negatif aktivitas anak di medsos. Di sisi lain, kurang mengenal medsos adalah aib, hal yang memalukan bagi remaja.

Maka dimulailah hari-hari di mana Zaid tidak lagi bercanda ria dengan saudara-saudaranya di masa liburan. Ia sibuk berbalas pesan dengan kawan-kawannya di medsos.

Nadia, si gadis yang ramah itu pun lebih suka tersenyum sendiri di hadapan layar ponselnya, ketimbang bertegur sapa dengan orang-orang yang sedang safar bersamanya. Pikirannya dipenuhi dengan ide-ide yang sekiranya dapat mengundang banyak ‘jempol’ di medsos favoritnya.

Meski perilaku semacam ini juga kita jumpai pada banyak orang dewasa, ada beberapa karakteristik anak usia remaja yang menjadikan mereka lebih rentan terhadap berbagai potensi masalah yang berkaitan dengan aktivitas di media sosial.

Media Sosial dan Batasan Usia

Media-media sosial seperti Facebook, Instagram dan Pinterest menetapkan usia 13 tahun sebagai batasan minimum untuk membuat akun. Sementara Twitter tidak menanyakan usia ketika pengguna membuat akun, namun akan menutup akun pengguna yang belum berusia 13 tahun bila ada laporan dari orang tua.

Beberapa media sosial lain bahkan menetapkan batasan usia yang lebih tinggi. Usia minimum untuk memiliki akun LinkedIn, misalnya, adalah 14 tahun, WhatsApp 16 tahun, dan YouTube 18 tahun.[4]

Adanya batasan usia ini secara tidak langsung menunjukkan peringatan bahwa media sosial bukanlah tempat yang aman bagi anak dan remaja.

Pola Perilaku Generasi Z di Medsos

Ditinjau dari pola perilaku mereka di medsos, Nukman Luthfie membagi generasi Z menjadi dua kategori:

  1. Creator, yaitu mereka yang gemar membuat konten tertentu di blog, situs web, atau YouTube. Golongan ini senang menampilkan karya-karya mereka di medsos, seperti foto dan video. Hal ini dimungkinkan dengan adanya berbagai kemudahan teknologi saat ini.
  2. Conversationalist, yaitu mereka yang gemar menggunakan Facebook, Path dan Twitter untuk bercakap-cakap. Sekalipun mereka juga bisa menampilkan karya di media-media tersebut berupa puisi, tulisan atau lainnya, namun bercakap-cakap masih menjadi aktivitas yang dominan.

Secara sepintas kedua aktivitas ini mengandung banyak hal positif. Namun kalau kita mau mencermati, ada beberapa potensi masalah yang muncul ketika anak dan remaja mulai aktif di media sosial.

Potensi Masalah

Remaja memiliki karakter yang khas, yang dapat memancing terjadinya berbagai masalah saat bergaul di dunia maya:

  1. Pola pikir ini menjadi salah satu ciri dalam perkembangan remaja. Terkadang ia merasa semua orang memperhatikan dirinya, terkadang ia merasa dirinya tidak terlihat oleh siapa pun. Karena itu ia mudah bersikap terlalu peka di satu kesempatan, namun sangat kurang peka di waktu yang lain. Kecenderungan ini pada akhirnya ditampakkan di medsos berupa komentar yang menyinggung, tanggapan berlebihan, curhat masalah pribadinya, atau mengunggah foto-foto yang kurang pantas.

Remaja juga sering merasa tidak ada seorang pun yang memahami dirinya, dan mengira bahwa sudut pandangnya adalah sudut pandang yang paling benar. Hal ini dapat membuatnya mudah terjerumus dalam perdebatan yang tidak ilmiah di medsos, sehingga memicu permusuhan.

  1. Secara umum remaja memiliki kondisi emosi yang masih cenderung labil. Masalah yang sederhana di medsos dapat berubah menjadi cukup serius karena tanggapannya yang berlebihan. Apalagi dalam komunikasi yang berjalan secara tidak langsung ini seseorang biasanya lebih berani untuk mengatakan hal-hal yang bernada keras.
  1. Kurang pertimbangan.

Kecenderungan remaja untuk tergesa-gesa dalam bertindak juga dapat menjadi bumerang baginya kala beraktivitas di medsos. Khususnya ketika berkaitan dengan masalah berbagi informasi pribadi, seperti alamat rumah, rencana bepergian, rahasia keluarga, dan semacamnya. Informasi pribadi semacam ini dapat memancing tindak kriminal dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

  1. Rasa ingin tahu yang sangat besar.

Medsos pada kenyataannya tidak hanya menjadi sarana pertemanan dan bisnis. Medsos juga menjadi sarana untuk menyebarkan pemikiran berbagai agama dan kelompok, serta materi-materi negatif seperti pornografi. Kontak dengan hal-hal tersebut tetap bisa terjadi sekalipun kita telah bersikap selektif dalam memilih teman. Misalnya melalui iklan. Bisa juga melalui akun yang diretas atau dibajak, yang kemudian digunakan untuk mengirim konten-konten berbahaya.

Dorongan rasa ingin tahu remaja yang begitu besar dapat membuatnya menelusuri lebih jauh kiriman-kiriman negatif tersebut. Tindakan ini pada akhirnya menjerumuskan diri remaja pada penyimpangan seperti bergabung dengan aliran sesat atau kecanduan pornografi.

  1. Mulai tertarik dengan lawan jenis.

Sebenarnya ini adalah gejala yang normal. Masalahnya, bagi remaja ini adalah pengalaman baru, dan ia masih belajar untuk mengendalikan gejolak hatinya. Bila remaja belum memiliki cukup kesadaran untuk membatasi pergaulan dirinya dengan lawan jenis, maka medsos akan menjadi sarana yang memudahkan dirinya untuk terjatuh dalam kemaksiatan yang sangat besar.

Menyikapi Aktivitas Anak di Medsos

Sikap keras kepada remaja cenderung menuai perlawanan. Sementara sikap permisif atau terlalu lunak kepada mereka dapat menjadi awal dari terbentuknya pribadi dengan akhlak yang kurang baik. Maka sebagai orang tua, hendaknya kita pandai-pandai dalam menentukan sikap. Tidak terlalu keras, tidak terlalu lunak.

Menjadi contoh yang baik bagi anak adalah sikap yang paling utama. Bagaimanapun besarnya keinginan remaja untuk melawan kebijakan orang tua, contoh positif yang ditunjukkan ayah dan ibu secara konsisten dapat meninggalkan kesan yang cukup mendalam dan memberi pengaruh signifikan baginya.

Sebelum terlanjur, upayakan agar sebisa mungkin Anda menunda usia penggunaan gadget oleh anak. Aktivitas belajar, bermain dan bersosialisasi di dunia nyata akan jauh lebih bermanfaat bagi perkembangan fisik dan mentalnya. Penundaan ini juga bermanfaat untuk mengurangi risiko kecanduan game dan medsos pada mereka.

Menjaga komunikasi dengan anak remaja adalah sangat penting. Dengan demikian Anda akan selalu memiliki kesempatan untuk mengikuti perkembangan terakhir putra-putri Anda. Apa yang terjadi di sekolah, bagaimana kabar kawan-kawan dekatnya, topik apa yang sedang ramai di medsos, dan sebagainya. Ketika komunikasi sudah terjalin, orang tua akan berpeluang untuk memberi masukan-masukan penting, khususnya seputar aktivitas di medsos.

Berikan panduan-panduan pokok kepada anak dalam pergaulan di medsos. Seperti tidak berteman dengan lawan jenis, tidak menunjukkan alamat rumah, tidak mengunggah foto diri, dan sebagainya. Tunjukkan kasus-kasus yang pernah terjadi akibat kecerobohan dalam masalah ini.

Tekankan kepada anak-anak Anda untuk tidak menulis atau mengunggah di medsos apa-apa yang mereka tidak ingin diketahui oleh orang tua. Karena hal ini merupakan pertanda bahwa mereka akan mengunggah sesuatu yang kurang baik, dan akan mereka sesali di kemudian hari.

Jangan pernah lalai dalam memonitor perkembangan sikap anak. Sebagaimana pergaulan di dunia nyata, pergaulan di dunia maya juga dapat mempengaruhi kesehariannya. Sikap murung, banyak melamun dan menarik diri bisa juga disebabkan adanya masalah dengan kawan-kawan di medsos.

Yang terakhir, doronglah anak untuk banyak beraktivitas di dunia nyata, yang bermanfaat untuk pengembangan dirinya. Seperti menjalin silaturahmi, mendatangi majelis ilmu, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, olahraga, atau kursus-kursus keterampilan. Kita berharap aktivitas-aktivitas tersebut dapat mengalihkan atau setidaknya mengurangi minat anak dari pergaulan di dunia tak nyata. Wallahu a’lam. 


[1] Digital in 2017 : Global Overview, https://wearesocial.com/special-reports/digital-in-2017-global-overview, 8 Juli 2017

[2] Generations X, Y, Z and the Others, http://socialmarketing.org/archives/generations-xy-z-and-the-others/, 9 Juli 2017

[3] Membaca Generasi Z Lewat Perilaku di Media Sosial, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160812134839-277-150948/membaca-generasi-z-lewat-perilaku-di-media-sosial/, 9 Juli 2017

[4] Minimum Age Requirements : Facebook, Instagram, Snapchat, WhatsApp, Secret [INFOGRAPHIC], http://www.adweek.com/digital/social-media-minimum-age/, 8 Juli 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.