Menjadi Orang yang Bersyukur

Oleh: Ust. Abu Bakr

Tatkala terjadi kelangkaan BBM, masyarakat sangat panik dan hampir putus asa. Roda perekonomian macet. Ternyata hampir semua sektor bergantung kepada “cairan ajaib” ini. Itu baru satu nikmat yang “dikurangi” oleh Allah, bagaimana kalau dihilangkan? Maka menjadi suatu kewajiban bagi kita untuk mensyukuri semua nikmat-Nya yang kecil maupun besar. Lalu bagaimana cara mensyukurinya…?

Hakikat Syukur

Hakikat syukur adalah nampaknya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada seseorang berbentuk pujian dalam lisan, pengakuan dalam hati dan ketundukan anggota badan. (Majmu Fatawa 14/304, Tafsir asSa’di 4/204)

 

Macam-macam nikmat dan hakikatnya

Nikmat ada dua macam:

  1. Nikmat mutlak yang khusus diberikan kepada orang beriman. Yaitu nikmat yang berhubungan dengan kebahagiaan abadi seperti nikmat Islam dan Sunnah yang kita diperintahkan untuk memintanya setiap shalat. ( al-Fātihah: 7, an-Nisā’: 69)
  2. Nikmat terbatas yang diperoleh oleh setiap mukmin dan kafir, taat dan jahat seperti nikmat kesehatan, kekayaan, jabatan, anak yang banyak dan istri yang menarik. Nikmat ini merupakan pemberian Allah bagi semua makhluk-Nya.[1]

Nikmat dan musibah adalah ujian dari Allah untuk disyukuri. Bukanlah nikmat yang banyak pertanda Allah mencintai seseorang, demikian pula bukanlah musibah yang bertubi-tubi pertanda ia dimurkai dan dihinakan. Musibah juga merupakan nikmat bagi seorang mukmin karena dapat menghapus dosa dan akan membuatnya bersabar sehingga mendapat pahala. Karena itu tatkala seorang mukmin ditimpa musibah ia bersabar dan ketika diberi nikmat ia bersyukur. Namun jika ia tidak bersabar dan tidak bersyukur maka keduanya berakibat jelek baginya. Bahkan bisa jadi itu adalah istidraj.

Bersabar dari ujian kesenangan dan mensyukurinya serta berbuat baik dengannya lebih berat dirasakan oleh jiwa daripada bersabar dari musibah atau hal-hal yang tidak disukai. Karena nikmat yang menyenangkan kebanyakan bersifat melalaikan seseorang. Kebanyakan nikmat harta dan rezeki akan mengantarkan kepada kesombongan dan pelit bersyukur, di samping juga menghamburkan harta atau sebaliknya, menjadi bakhil. Demikianlah. Semua nikmat Allah tidak akan lepas dari ujian, kecuali bagi hamba yang mengingat Allah dan dijaga oleh-Nya.

Bagaimana kita bersyukur?

Syukur dan iman adalah setangkai sebagaimana kufur dan tidak bersyukur selalu bergandengan. Lantas, bagaimana kita bersyukur?

Manusia tidak akan bisa mensyukuri semua nikmat yang diberikan Allah karena nikmat tersebut tak pernah terhitung. Karena tidak dapat dihitung, maka tentunya tidak disyukuri. Bakar bin Abdillah al-Muzani berkata: “Jadilah orang yang berusaha menghitung nikmat Allah agar bisa mensyukurinya. Jika kamu melupakannya maka besar kemungkinan engkau akan mengingkarinya.”[2]

Karena itu nikmat-nikmat tersebut dapat kita syukuri dengan beberapa cara:

  1. Syukur hati.

Dengan mengetahui dan menetapkan bahwa semua nikmat tersebut dari Allah semata, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya. (QS. an-Nahl: 53) Syaikh Abdur-Rahman as-Sa’di berkata: “Kewajiban bagi makhluk adalah menyandarkan nikmat kepada Allah baik dengan perkataan maupun pengakuan hati. Dengan begitu akan sempurnalah tauhid. Barangsiapa yang mengingkari nikmat Allah dengan hati atau lisannya maka ia telah kafir, tidak punya agama. Barangsiapa yang mengakui bahwa nikmat tersebut dari Allah namun lisannya terkadang menyandarkannya kepada Allah dan terkadang menyandarkannya pada dirinya, usahanya atau kepada usaha orang lain maka wajib baginya bertaubat dan hendaknya menyandarkan nikmat tersebut hanya kepada Rabbnya serta terus melatih dirinya seperti itu…”[3]

  1. Syukur Lisan.

Yaitu memuji dan menyanjung Allah dengan kecintaan, menampakkan dan menceritakan nikmat tersebut tanpa riya’ dan sum’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda: “Allah ridha dengan seorang hamba yang jika memakan makanan ia memuji-Nya dan apabila ia minum ia memuji-Nya. (HR. Ahmad 19/95, ash-Shahihah: 667) Namun syukur lisan tidak akan sempurna tanpa dibarengi syukur hati dan anggota badan.

  1. Syukur anggota badan.

Syukur dengan anggota badan diwujudkan dengan memanfaatkan anggota badan untuk menaati Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai bentuk amalan yang dicintai-Nya, baik yang nampak maupun tersembunyi.[4]

Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam shalat malam sampai telapak kaki beliau bengkak kemudian beliau ditanya: “Mengapa engkau mengerjakan ini, padahal dosamu telah diampuni yang lalu dan yang akan datang?!Beliau Shallallahu ‘alaihi was salam menjawab: “Apakah tidak boleh saya menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Muslim: 2819)

Kenapa manusia sedikit sekali bersyukur?

Di antara penyebab kurangnya bersyukur adalah:

  1. Lalai dari nikmat.

Tatkala nikmat bertambah akan membuat orang sulit untuk melepaskan diri darinya dan menganggap bahwa hal itu biasa-biasa saja sehingga membuatnya lalai dari bersyukur. Karena itu sebagian ulama mengatakan: “Nikmat dari Allah kepada hamba-Nya tidak diketahui, tatkala dihilangkan barulah ia mengetahuinya”[5]

  1. Tidak mengenal hakikat nikmat.

Kebanyakan manusia mengira bahwa nikmat hanyalah berupa kesehatan dan harta, padahal itu hanyalah sebagian kecil saja. Mereka melupakan nikmat lain yang sangat berharga seperti nikmat Islam, penciptaan dirinya, akal, bisa beramal dan beribadah, nikmat dapat tidur, keamanan, istri yang shalihah, anak, ilmu, nikmat bisa bersyukur, dan nikmat lain yang sering kita anggap hal biasa.

  1. Selalu melihat orang yang di atasnya dalam urusan dunia.
  2. Melupakan masa lalunya yang penuh kesusahan.

Kisah tiga orang bani Isra’il yang belang, botak dan buta perlu untuk dijadikan pelajaran, karena ternyata yang bersyukur hanyalah yang buta. (Shahih Muslim: 2843) Begitulah keadaan kebanyakan manusia. Tidak mengakui keadaan mereka sebelumnya yang serba kekurangan, bodoh, fakir dan penuh dosa kemudian Allah memberikan nikmat kepadanya dengan mengubah keadaan menjadi sebaliknya.

Supaya kita bersyukur

  1. Perhatikan dan ingat nikmat Allah, karena tidaklah satu detik dari kehidupan kita kecuali berada dalam nikmat-Nya.
  2. Memohon kepada Allah agar dijadikan hamba-Nya yang bersyukur sebagaimana doa Rasul-Nya yang shalih. (QS. al-Ahqāf: 15, an-Naml: 19)
  3. Ingatlah bahwa semua manusia akan ditanya tentang nikmat yang telah diberikan kepadanya; apakah ia bersyukur?
  4. Ingat selalu bahwa jika nikmat disyukuri akan bertambah dan akan hilang jika diingkari. Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Hendaknya kalian terus bersyukur karena sedikit sekali nikmat yang hilang dari suatu kaum akan kembali lagi kepada mereka” (Miftah Daris Sa’adah 1/211)
  5. Lihat ke bawah dalam urusan dunia. Sekecil apapun nikmat yang diberikan Allah, pandanglah sebagai karunia dan keutamaan, bukan sebagai hak kita.
  6. Selalu saling mengingatkan tentang nikmat-nikmat Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pernah bertanya kepada seseorang: “Bagaimana kabarmu?” Ia menjawab: “Saya memuji Allah bersamamu wahai Rasulullah.” Beliau berkata: “Itu yang aku inginkan darimu. (HR. al-Bukhari 11/229- alFath)

Syukur manusia kepada manusia yang lain

Kita wajib bersyukur kepada orang tua kita (QS. Luqmān: 14) dan bersyukur terhadap orang yang berbuat baik kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda: “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.[6]

Ibnul Atsir mengatakan: “Maknanya, Allah tidak akan menerima syukur seseorang kepada-Nya jika ia tidak mensyukuri kebaikan manusia kepadanya. Ada juga yang mengatakan, maknanya: Barangsiapa yang tabiat dan kebiasaannya mengingkari kebaikan manusia serta tidak bersyukur kepadanya maka ia juga terbiasa mengingkari nikmat Allah dan tidak bersyukur kepada-Nya.” (An-Nihayah 2/493)

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang bersyukur. Amin.

[1] Madarijus Salikin 1/112, Jami’ur Rasail wal Masail 1/109.

[2] Rabi’ul Abrar 4/319.

[3] AlQaulus Sadid fi Maqashid at-Tauhid hal. 137-138.

[4] Al-Fawa’id: 234.

[5] Miftah Daris Sa’adah 1/216.

[6] HR. Abu Dawud: 4813, Shahih at-Targhib: 973.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.