سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Pernikahan; Syariat Agung yang Tersiakan
Oleh: Ust. Ahmad Sabiq Lc.
Dalam Islam, pernikahan tidaklah sesederhana yang dibayangkan sebagian kalangan, bahwa pernikahan hanyalah penyatuan dua orang lawan jenis untuk sepakat hidup bersama dalam sebuah naungan rumah tangga. Lebih dari itu, Islam menganggap pernikahan sebuah perkara yang sangat agung.
Di antara keagungan pernikahan di dalam Islam:
- Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai salah satu dari tanda kekuasaan-Nya. (QS. ar-Rum: 21) Bagaimana tidak disebut sebagai tanda kekuasan-Nya?! Bukankah nikah adalah penyatuan ikatan cinta yang paling kuat antara dua pasang manusia, padahal keduanya semula tidak terikat apa pun? Dalam sebuah hadits disebutkan:
لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
“Kami belum pernah melihat dua orang yang saling mencintai melebihi pernikahan.” (HR. Ibnu Majah: 1847, al-Hakim 2/160 dan lainnya, ash-Shahihah: 624)
- Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya sebagai perjanjian yang kuat. Firman-Nya:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. an-Nisa’: 21)
Padahal kata perjanjian yang kuat (mitsaq ghalizh) hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala gunakan dalam al-Qur’an untuk makna perjanjian keimanan, sebagaimana tertera dalam firman-Nya pada QS. an-Nisa’ ayat 154 dan QS. al-Ahzab ayat 7.
- Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai sebuah ibadah yang tercela bagi yang meninggalkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pun memerintahkannya. Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata,
كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – شَبَابًا لاَ نَجِدُ شَيْئًا فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Kami para pemuda yang tidak mampu pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam, lalu beliau bersabda, ‘Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa yang mampu nikah maka hendaknya dia menikah. Karena itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun barangsiapa yang tidak mampu maka hendaknya dia puasa, karena itu akan menjadi tameng baginya.’” (Muttafaq ‘alaihi)
Nikah juga dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam, bahkan beliau melarang membujang, sampaipun untuk alasan agar semakin rajin beribadah. Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu mengisahkan,
جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى متفق عليه
“Ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam untuk bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam. Ketika mereka diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak berarti. Mereka mengatakan, ‘Apa artinya kita dibandingkan Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan terkemudian?’ Salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku akan shalat malam selamanya.’ Orang kedua mengatakan, ‘Aku akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka.’ Orang ketiga mengatakan, ‘Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam datang lalu bertanya, ‘Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian?! Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnah-ku, maka ia bukan termasuk golonganku.’” (HR. al-Bukhari, Muslim)
Bukan hanya itu, orang yang sudah menikah tetapi kurang perhatian dengan hak dan kewajiban lainnya demi mempergiat ibadah ternyata juga dilarang oleh beliau Shallallahu ‘alaihi was salam.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Wahb bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Ketika Salman mengunjungi Abu Darda’, dia melihat Ummu Darda’ mubtadzilah (memakai baju seadanya dan tidak memakai pakaian yang bagus). Dia bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Ia menjawab, ‘Saudaramu, Abu Darda’, tidak butuh dunia ini (maksudnya, wanita). [Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat tambahan: ‘Ia berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari’].
Kemudian Abu Darda’ datang lalu Salman dibuatkan makanan. ‘Makanlah, karena aku sedang berpuasa,’ kata Abu Darda’. Ia menjawab, ‘Aku tidak akan makan hingga engkau makan.’ Abu Darda’ pun makan. Ketika malam datang, Abu Darda’ pergi untuk mengerjakan shalat. Salman berkata kepadanya, ‘Tidurlah!’ Ia pun tidur. Kemudian ia pergi untuk shalat, maka Salman berkata padanya, ‘Tidurlah!’ Ketika pada akhir malam, Salman berkata, ‘Bangunlah sekarang!’ Lantas keduanya melakukan shalat bersama.
Kemudian Salman berkata kepadanya, ‘Rabbmu mempunyai hak atasmu, dirimu mempunyai hak atasmu, dan keluargamu mempunyai hak atasmu. Oleh karena itu, berikanlah hak kepada masing-masing pemiliknya.’ Kemudian Abu Darda’ datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam menceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab, ‘Salman benar.’”(HR. al-Bukhari: 1968)
Bahkan menikah dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam sebagai penyempurna separuh agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
إذا تزوج العبد ، فقد استكمل نصف الدين ، فليتق الله فيما بقي
“Apabila seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya, maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah dalam setengah lainnya.” (HR. ath-Thabarani, ash-Shahihah: 625)
Hikmah pernikahan[1]
Pernikahan tidak akan menjadi seagung itu melainkan mengandung hikmah yang sangat agung pula. Di antara hikmah agung pernikahan adalah:
- Memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi. Cinta lawan jenis adalah fitrah manusia. Tidak bisa dilarang. Karenanya Islam mengaturnya dalam pernikahan. (QS. Ali ‘Imran: 114)
- Membentengi akhlaq yang luhur dan menundukkan pandangan. Sasaran utama dari disyariatkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan keji yang dapat merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan,serta melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah. Karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (Muttafaq ‘alaihi)
- Untuk menegakkan rumah tangga yang islami. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya dalam ayat berikut:
Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (QS. al-Baqarah: 229)
Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:
Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan. (QS. al-Baqarah: 230)
Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syariat Islam dalam rumah tangganya. Sedangkan hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syariat Islam adalah wajib.
- Meningkatkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih, di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain. Bahkan berhubungan suami istri pun termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
…وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.
“… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan istrinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasul, para sahabat heran) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap istrinya akan mendapat pahala?” Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (suami) bersetubuh dengan selain istrinya; bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.” (HR. Muslim: 1006, al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad: 227, Ahmad 5/167, 168, Ibnu Hibban: 4155 [at-Ta’liqatul Hisan], dan al-Baihaqi 4/188)
- Memperoleh keturunan yang shalih. Tujuan pernikahan di antaranya ialah untuk memperoleh keturunan yang shalih, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. an-Nahl ayat 72. Yang terpenting lagi, dalam pernikahan bukan hanya sekadar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas. Yaitu mencari anak yang shalih dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar. Hal itu meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.
Doa agung yang disiakan
Karena pernikahan yang begitu agung dan hikmahnya yang begitu mulia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pun mengajarkan doa untuk pernikahan, baik kepada kedua mempelai atau shahibul hajah dengan sebuah doa yang agung pula. Yang sayangnya sekarang mulai tak diperhatikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam mengajarkan doa untuk kedua mempelai:
عن أبي هريرة أن النبي ﷺ كان إذا رفأ الإنسان إذا تزوج قال:
( بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ اللهُ عَلَيْكَ وَجَمَعُ بَيَنَكَمَا فِي خَيِرَ )
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam mendoakan orang yang menikah, “Semoga Allah memberikan keberkahan padamu saat senang, dan semoga Allah memberi keberkahan padamu saat engkau susah, serta semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (Shahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan yang lainnya)
Doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam ini untuk menggantikan sebuah doa yang masyhur diucapkan oleh manusia bagi mempelai sejak zaman dahulu, dan sampai sekarang pun juga masih banyak yang melafalkan doa tersebut.
عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ عَقِيْلَ بْنَ أَبِيْ طَالِبٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ جُشَمٍ فَدَخَلَ عَلَيْهِ الْقَوْمُ فَقَالُوْا:)) بِالرَّفَاءِ وَالْبَنِيْنَ(( فَقَالَ: لَا تَفْعَلُوْا ذَلِكَ فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ ذَلِكَ قَالُوْا: فَمَا نَقُوْلُ يَا أَبَا زَيْدٍ؟ قَالَ: قُوْلُوْا)) بَارَكَ اللهُ لَكُمْ وَبَارَكَ عَلَيْكُمْ(( إِنَّا كَذَلِكَ كُنَّا نُؤْمَرُ.
Dari al-Hasan, bahwa Aqil bin Abi thalib menikah dengan seorang wanita dari bani Jusym, maka orang-orang pun menemuinya sambil mendoakan, “Semoga serasi bahagia dan mendapat banyak anak.” Maka Aqil mengatakan, “Jangan kalian katakan itu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam melarangnya.” Mereka pun bertanya, “Lalu apa yang harus kami katakan, wahai Abu Zaid?” Beliau menjawab, “Katakan: ‘Semoga Allah memberikan keberkahan padamu saat engkau senang, dan semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu saat engkau susah.’ Begitulah dahulu kami diperintahkan.” (HR. an-Nasa’i dan Ibnu Majah. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, bahwa perawinya terpercaya, hanya saja Hasan tidak mendengar dari Aqil.)
Adapun doa untuk keluarga shahibul hajah adalah sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Busr Radhiallahu ‘anhu, bahwa ayahnya membuatkan makanan untuk mengundang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam. Saat Rasul selesai menikmati hidangan, beliau berdoa:
اللهم اغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
“Ya Allah, ampunilah mereka, rahmatilah mereka dan berkahilah terhadap apa yang Engkau berikan rezeki kepada mereka.” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam.
[1] Disalin dengan beberapa penyesuaian dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis: Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka at-Taqwa Bogor – Jawa Barat, cet. ke-II Dzulqa’dah 1427 H/Desember 2006]