Shalat Jenazah kematian massal

Serba-Serbi Shalat Jenazah Ketika terjadi kematian massal

Oleh: Ust. Abdul Khaliq

            Ketika terjadi kematian massal antara laki-laki dan perempuan, seperti ketika terjadi peperangan, banjir, tanah longsor, gempa bumi atau yang lainnya yang biasanya memakan banyak korban jiwa, maka diperbolehkan para jenazah yang lelah dievakuasi untuk dishalati secara massal pula. Caranya yaitu, jenazah-jenazah yang ada disusun secara bebaris dengan urutan jenazah laki-laki yang paling dekat dengan imam, sedang jenazah-jenazah wanita dekat dengan arah kiblat. Posisi jenazah wanita juga agak digeser naik sehingga ketika imam berdiri sejajar dengan kepala jenazah laki-laki, akan lurus dengan bagian tengah dari jenazah wanita tersebut.

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ صَلَّى عَلَى تِسْعِ جَنَائِزَ جَمِيْعًا فَجَعَلَ الرَّجُلَ يَلُوْنَ اْلِامَامَ وَ النِّسَاءَ يَلِيْنَ الْقِبْلَةَ, فَصَفَّهُنَّ صَفًّا وَاحِدًا, وَوُضِعَتْ جَنَازَةُ اُمِّ كُلْثُوْمَ بِنْتَ عَلِيٍّ اِمْرَأَةُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنٌ لَهَا يُقَالُ لَهُ : زَيْدٌ, وُضِعَا جَمِيْعاً, وَ اْلِامَامُ يَوْمَئِذٍ سَعِيْدُ بْنُ الْعَاصِ وَ فِي النَّاسِ ابْنُ عُمَرَ وَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ وَ أَبُوْ سَعِيْدٍ وَ أَبُوْ قَتَادَةَ, وَوُضِعَ الْغُلَامُ مِمَّا يَلِيْ اْلِامَامَ, فَقاَلَ رَجُلٌ : فَأَنْكَرْتُ ذَلِكَ , فَنَظَرْتُ اِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ وَ أَبِيْ هُرَيْرَةَ وَ أَبِيْ سَعِيْدٍ وَ أَبِيْ قَتَادَةَ , فَقُلْتُ مَا هَذَا ؟ قَالُوا : هِيَ سُنَّةٌ .

Dari Nafi’, sesungguhnya Ibnu Umar a\ menshalati sembilan jenazah secara bersamaan. Maka beliau menjadikan jenazah laki-laki dekat dengan imam, dan jenazah wanita dekat dengan arah kiblat. Beliau menyusun jenazah-jenazah tersebut dalam satu barisan. Dan diletakkanlah jenazah Ummu Kultsum binti Ali, istri Umar bin Khaththab beserta anak laki-lakinya yang bernama Zaid. Keduanya diletakkan bersamaan. Yang menjadi imam ketika itu adalah Sa’id bin al-‘Ash. Di antara mereka ada Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah. Dan jenazah anak kecil laki-laki diletakkan dekat dengan imam. Ada seorang laki-laki yang berkata, “Saya mengingkari hal tersebut, lalu saya melihat kepada Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, seraya berkata, ‘Apa ini?’ Mereka pun menjawab, ‘Ini adalah Sunnah.’” (HR. an-Nasa’i, dishahihkan oleh al-Albani: 1978)

Wanita juga menshalati jenazah

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أَمَرَتْ أَنْ يُمَرَّ بِجَنَازَةَ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فِيْ الْمَسْجِدِ فَتُصَلّى عَلَيْهِ فَأَ نْكَرَ النَّاسُ عَلَيْهَا فَقَالَتْ : مَا أَسْرَعَ مَا نَسِيَ النَّاسُ مَا صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ عَلَى سُهَيْلِ بْنِ الْبَيْضَاءِ اِلَّا فِي الْمَسْجِدِ.

Dari Abdullah bin Zubair a\, “Sesungguhnya Aisyah memerintahkan supaya jenazah Sa’d bin Abi Waqqash dilewatkan di masjid supaya dia bisa menshalatinya. Maka banyak manusia yang mengingkari hal tersebut. Lalu Aisyah berkata, ‘Alangkah cepatnya manusia lupa! Tidakkah Rasulullah menshalati Suhail bin Baidha’ melainkan di tengah-tengah masjid?!” (HR. Muslim)

Bayi prematur dan meninggal dunia

            Telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa anak kecil yang belum baligh apabila meninggal dunia tidak wajib dishalati. Berkaitan dengan bayi prematur dan meninggal dunia, maka ulama menjelaskan, apabila lahirnya masih dalam keadaan hidup tetap disunnahkan untuk dishalati. Ibnul Mundzir berkata, “Ulama telah sepakat bahwa bayi yang meninggal, apabila telah diketahui hidupnya, seperti sempat menangis, hendaknya supaya dishalati.”

            Namun bagaimana apabila si bayi lahir sudah dalam keadaan meninggal dunia?

Imam an-Nawawi menjelaskan, “Sesungguhnya bayi yang meninggal karena keguguran dia dishalati apabila telah ditiupkan ruh padanya, yaitu apabila usianya telah sempurna empat bulan kemudian meninggal. Namun apabila usianya kurang dari empat bulan lalu keguguran, maka tidak dishalati, karena seperti itu tidak dikatakan mayit. Dasarnya adalah hadits Rasulullah ﷺ yang menjelaskan tentang awal penciptaan manusia, beliau ﷺ bersabda:

اِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ اِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ…

Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa air mani, lalu berubah menjadi segumpal darah empat puluh hari pula, lalu berubah menjadi sekerat daging selama empat puluh hari juga, lalu diutus kepadanya Malaikat, lalu ditiupkan ruh padanya…” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Menshalati jenazah ahlu bid’ah dan pelaku dosa besar

            Kesimpulan dari penjelasan para ulama, bahwasanya setiap jenazah muslim, baik laki-laki maupun perempuan supaya dishalati, walaupun dia pelaku dosa besar atau pelaku kebid’ahan, selagi tidak sampai derajat kekufuran. Namun seandainya orang-orang dari kalangan tokoh agama atau orang yang memiliki kedudukan di tengah masyarakat tidak ikut menshalatinya sebagai bentuk nasihat bagi orang yang masih hidup, maka ini lebih afdhal. Hal ini sebagaimana Rasulullah ﷺ tidak mau menshalati orang yang mati karena bunuh diri, sebagai bentuk peringatan dan nasihat kepada orang yang masih hidup agar tidak mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Meski demikian beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Shalatilah sahabat kalian ini.”

Shalat Gaib

            Shalat gaib adalah shalat jenazah dengan cara dilaksanakan dari jarak jauh (jenazah tidak ada di hadapannya). Ulama berselisih pendapat tentang hukumnya; ada yang membolehkan, yang melarang dan ada yang memperinci. Yaitu, diperbolehkan shalat jenazah secara shalat gaib apabila seseorang meninggal dunia dan dikuburkan di tempat yang tidak ada seorang pun yang menshalatinya, seperti keberadaan raja Najasyi saat dia meninggal dunia di negri yang masyarakatnya beragama Nasrani. Maka dapat dipastikan bahwa raja Najasyi belum dishalatkan ketika dikuburkan. Karenanya Rasulullah dan para sahabat menshalatinya di Madinah dengan cara shalat gaib. Namun seandainya jenazah yang berada di tempat jauh telah dishalatkan di tempat dia meninggal dunia, maka tidak dianjurkan kaum muslimin yang berada di tempat yang lain untuk menshalatinya dengan cara shalat gaib, karena kewajiban mereka telah gugur. Hal ini mengingat karena Rasulullah melakukan shalat gaib hanya kepada Najasyi ketika dia meninggal dunia, dan tidak diketahui beliau melakukan shalat gaib untuk jenazah-jenazah yang lainnya. Pendapat yang ketiga inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dirajihkah (dikuatkan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

Menshalati jenazah di kuburan

            Orang yang luput dari shalat jenazah dikarenakan datang terlambat atau bahkan sudah selesai acara pemakaman, maka diperbolehkan baginya menshalati jenazah tersebut di atas kuburannya.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ أَسْوَدَ – رَجُلٌ أَوْ اِمْرَأَةٌ- كَانَ يَقُمُّ الْمَسْجِدَ فَمَاتَ , وَلَمْ يَعْلَمِ النَّبِيُّ بِمَوْتِهِ , فَذَكَرَهُ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ : مَا فَعَلَ ذَلِكَ اْلِانْسَانُ؟ قَالُوا: مَاتَ يَا رَسُوْل اللهِ. قَالَ : أَفَلَا أَذَنْتُمُوْنِي ؟ فَقَالُوا : اِنَّهُ كَانَ كَذَا وَ كَذَا… قَالَ :فَحَقَرُوْا شَأْنَهُ, قَالَ : فَدُلُّوْنِيْ عَلَى قَبْرِهِ ! فَأَتَى قَبْرَهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ.

Dari Abu Hurairah menceritakan, “Sesungguhnya seseorang berkulit hitam – laki-laki atau perempuan- yang biasa membersihkan masjid meninggal dunia, dan Rasulullah tidak mengetahui kematiannya. Maka suatu hari Rasulullah menanyakannya, ‘Apa yang dilakukan orang tersebut?’ Para sahabat menjawab, ‘Dia telah meninggal dunia, wahai Rasulullah.’ Beliau berkata, ‘Kenapa kalian tidak memberitahu saya?’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya dia hanya demikian dan demikian…..’, Abu Hurairah berkata, ‘Seolah-olah mereka meremehkan perkaranya.’ Lalu Rasulullah berkata, ‘Tunjukkan saya di mana kuburannya!’ Beliau pun mendatangi kuburannya dan menshalatinya (di sana).” (HR. al-Bukhari)

Masbuq dalam shalat jenazah

            Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwasanya orang yang masbuq ketika shalat jenazah dan ketinggalan beberapa takbir supaya dia mengqadha’ takbir-takbir yang ketinggalan setelah imam melakukan salam. Lalu terjadi khilaf di antara mereka, apakah membaca doa di antara takbir-takbir yang diqadha’ ataukah tidak? Ada yang mengatakan tetap membaca doa di antara takbir-takbir yang diqadha’, sedang sebagian mereka mengatakan tidak usah membaca doa, cukup mengqadha’ takbir-takbir yang ketinggalan saja. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah ﷺ:

وَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

“Dan apa yang kalian jumpai (dari shalat) maka shalatlah, dan apa yang kalian luput darinya maka sempurnakanlah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

            Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat tidak usah mengqadha’ takbir-takbir yang tertinggal, dan hendaknya dia langsung ikut salam bersama salamnya imam, walaupun ada takbir yang ketinggalan. Imam Ahmad mengatakan, ‘Apabila tidak mengqadha’, itu tidak apa-apa.”

Demikian apa yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan kali ini, semoga bermanfaat. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.