سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Apa Motivasi Anda Mencintai Allah
Apa Motivasi Anda Mencintai Allah ﷻ?
Oleh: Ust. Abdulloh Taslim al-Buthoni, M.A.
Allah ﷻ. Dialah satu-satunya Zat yang pantas untuk dicintai dari semua pertimbangan dan sudut pandang,[1] karena semua sebab yang menjadikan seorang manusia mencintai sesuatu maka semua itu secara sempurna ada pada Allah.
Di antara kandungan makna nama Allah ﷻ al-Wadud (Mahamencintai dan dicintai hamba-Nya yang shalih) adalah bahwa Dialah yang memberi taufiq kepada hamba-Nya yang beriman menuju sebab-sebab yang memudahkan mereka untuk mencintai-Nya, bahkan menjadikan-Nya lebih mereka cintai dari segala sesuatu yang ada di dunia.
Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Kebaikan semua kembali kepada Allah, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk menjadikan hamba-Nya cinta kepada-Nya. Dialah yang mengajak dan menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an) sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan.”[2]
Secara umum, faktor utama yang menjadikan manusia mencintai sesuatu kembali kepada dua hal, yaitu:
- Keindahan dan kesempurnaan yang ada sesuatu itu.
- Kebaikan dan kasih sayang yang bersumber dari sesuatu itu.
Telah kami nukil di atas penjelasan Syaikh as-Sa’di bahwa “sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai kesempurnaan” dan “sesungguhnya hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya”.[3]
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasa cinta ditinjau dari faktor yang membangkitkannya terbagi menjadi dua:
- Yang pertama: cinta yang timbul dari (faktor) kebaikan, menyaksikan banyaknya nikmat dan anugerah (yang dilimpahkan), karena sesungguhnya hati manusia secara tabiat mencintai pihak yang (selalu) berbuat kebaikan padanya dan membenci pihak yang (selalu) berlaku buruk padanya.
- (Yang kedua): (cinta yang timbul dari faktor) kesempurnaan dan keindahan. Jika terkumpul faktor kebaikan dan (banyaknya) limpahan nikmat dengan faktor kesempurnaan dan keindahan, maka tidak akan berpaling dari mencintai zat yang demikian keadaannya kecuali hati yang paling buruk, rendah dan hina serta paling jauh dari semua kebaikan, karena sesungguhnya Allah menjadikan fitrah pada hati manusia untuk mencintai pihak yang berbuat kebaikan (padanya) dan sempurna dalam sifat-sifat dan tingkah lakunya.”[4]
Berikut ini penjelasan tentang kedua faktor tersebut dalam menumbuhkan kecintaan kepada Allah ﷻ:
- Faktor kebaikan, kasih sayang dan banyaknya limpahan nikmat.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada satu pun yang kebaikannya lebih besar dibandingkan Allah ﷻ, karena sungguh kebaikan-Nya kepada hamba (tercurah) di setiap waktu dan (tarikan) napas (hamba tersebut). Hamba itu selalu mendapatkan limpahan kebaikan-Nya dalam semua keadaan, sehingga tidak ada cara (tidak mungkin) baginya untuk menghitung (secara persis) jenis-jenis kebaikan Allah ﷻ tersebut, apalagi macam-macam dan satuan-satuannya.”[5]
Allah ﷻ berfirman:
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْـَٔرُونَ
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya), dan bila kamu ditimpa bencana, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. (QS. an-Nahl: 53)
Kebaikan, nikmat dan kasih sayang yang Allah limpahkan kepada manusia, terlebih kepada hamba-Nya yang beriman, sungguh tiada terhitung, melebihi semua kebaikan yang diberikan oleh siapa pun di kalangan makhluk. Karena kebaikan dan nikmat-Nya untuk lahir dan batin manusia. Bahkan nikmat dan taufiq-Nya bagi manusia untuk mengenal dan mengikuti jalan Islam dan sunnah Rasulullah ﷺ merupakan anugerah terbesar dan paling sempurna bagi mereka. Karena inilah sebab kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat dan tidak ada yang mampu memberikan semua ini kecuali hanya Dia ﷻ semata. Inilah kenikmatan yang disebut-sebut oleh penduduk surga ketika mereka telah berada di dalamnya. (QS. al-A’raf: 43)
Termasuk kebaikan dan kasih sayang yang paling sempurna menurut pandangan manusia adalah kebaikan dan kasih sayang orang tuanya kepadanya, terutama ibunda. Tetapi, betapapun besarnya kebaikan dan kasih tersebut, tetap saja hanya pada batasan yang mampu dilakukan manusia. Karena tentu orang tua tidak mampu memberikan rezeki, mencegah penyakit atau bencana dari anaknya. Belum lagi kebaikan berupa taufiq untuk menempuh jalan Islam yang lurus. Karena itu, wajar jika Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh, Allah lebih penyayang kepada hamba-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya.”[6]
Coba mari kita bayangkan sejenak, bagaimana Allah telah menjadikan alam semesta untuk kita manfaatkan. Allah juga telah menurunkan kitab dan mengutus para Rasul-Nya guna menerangkan agama-Nya yang menjadi jalan manusia menuju surga. Allah pun mengizinkan manusia untuk selalu bermunajat kepada-Nya setiap saat yang mereka inginkan.
Tak sebatas itu, Allah bahkan melipatgandakan satu kebaikan kita dengan berkali-kali lipat dan hanya menulis satu dosa bila kita sekali tersalah. Jika manusia bertaubat Allah pun akan menghapus kesalahannya dan menggantinya dengan satu kebaikan.
Seandainya dosa seorang hamba mencapai langit, kemudian dia mohon ampun kepada-Nya maka Dia akan ampuni. Seandainya hamba itu meninggal dengan membawa dosa sepenuh bumi, tapi dia membawa tauhid (mengesakan-Nya dalam ibadah) dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu maka Allah akan berikan ampunan sepenuh bumi baginya.
Dia yang mensyariatkan bagi mereka taubat yang menggugurkan dosa. Dia juga yang memberi taufiq kepada mereka untuk melakukannya, kemudian Dia menerima taubat itu dari mereka. Demikian pula dalam semua amal ibadah dan ketaatan lainnya.
Ibnul Qayyim mengatakan: “Maka bagaimana mungkin tidak akan dicintai Zat yang demikian keadaan (sifat-sifat kebaikan)-Nya? Bagaimana mungkin seorang hamba tidak merasa malu memalingkan rasa cinta kepada selain-Nya? Siapakah yang lebih pantas untuk dipuji, disanjung dan dicintai selain Allah?! Siapakah yang lebih banyak kemurahan, kedermawanan dan kebaikannya dari Allah?! Maka mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tida sembahan yang benar kecuali Dia Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”[7]
- Faktor kesempurnaan dan keindahan.
Semua yang berakal sehat tentu mencintai keindahan dan kesempurnaan. Semakin indah dan sempurna sesuatu dalam penilaian manusia, tentu sesuatu itu semaikn dicintainya. Misalnya: pemandangan yang indah, kendaraan mewah atau barang elektronik yang canggih. Semakin indah dan sempurna benda-benda tersebut, tentu akan semakin disukai manusia.
Kalau keindahan dan kesempurnaan yang ada pada makhluk saja bisa menjadikan manusia yang mengenal dan mencintainya, padahal bagaimanapun tingginya keindahan dan kesempurnaan yang ada pada makhluk, tetap saja terbatas, maka bagaimana pula dengan keindahan yang maha sempurna dan kesempurnaan yang tidak terbatas pada Allah ﷻ? Dialah yang maha indah dan sempurna pada Zat-Nya, semua nama, sifat dan perbuatan-Nya. Maka tentu seorang hamba yang mengenal kemahaindahan dan kemahasempurnaan ini akan mencintai-Nya, bahkan menjadikan-Nya paling dicintai lebih dari segala yang ada di dunia.
Ibnul Qayyim berkata: “Kecintaan itu memiliki dua (sebab) yang membangkitkannya, (yaitu) keindahan dan pengagungan. Dan Allah ﷻ memiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu, karena Dia Mahaindah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena zatnya, kecuali Allah ﷻ.”[8]
Sebagai gambaran tentang sempurnanya kemahaindahan Allah ﷻ yang pasti menjadikan orang yang mengenalnya akan mencintai dan menjadikan-Nya paling dicintainya, melebihi segala yang ada di dunia, cobalah kita cermati dan renungkan hadits berikut:
Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah berfirman: ‘Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?’ Mereka menjawab: ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (adzab) neraka?’ Maka (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Mahamulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka cintai daripada melihat (wajah) Allah ﷻ.” Kemudian Rasulullah ﷺ membaca firman Allah:
لِّلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ ٱلْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (QS. Yunus: 26)[9]
Benarlah ucapan Ibnul Qayyim v\: “Barangsiapa yang mengenal Allah dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya maka dia pasti akan mencintai-Nya.”[10]
Di tempat lain beliau berkata: “Kalau kesempurnaan itu dicintai (manusia) karena zatnya, maka seharusnya Allah ﷻ lah yang dicintai (manusia) karena (kemahasempurnaan pada) zat dan sifat-Nya. Hal ini disebabkan karena Allah tidak ada sesuatu pun yang lebih sempurna dari pada Dia, semua nama, sifat dan perbuatan-Nya menunjukkan kesempurnaan. Maka Dialah yang dicintai dan dipuji dalam semua perbuatan dan semua yang diperintahkan-Nya. Karena tidak ada kesia-siaan dalam semua perbuatan-Nya dan tidak ada kesalahan dalam segala perintah-Nya. Semua perbuatan-Nya tidak lepas dari hikmah, kemaslahatan, keadilan, karunia dan rahmat (bagi hamba-Nya), dan masing-masing dari semua itu mengharuskan (manusia untuk) memuji, menyanjung dan mencintai-Nya. Semua firman-Nya benar dan adil, semua balasan-Nya karunia dan keadilan. Kalau Dia memberi (kepada hamba-Nya) maka (semua itu) dengan karunia, rahmat dan nikmat-Nya, kalau Dia tidak memberi atau menghukum (hamba-Nya yang berhak mendapat hukuman) maka (semua itu) dengan keadilan dan hikmah-Nya.”[11]
Sebagai kesimpulan tentang dua motivator cinta kepada Allah ﷻ di atas, maka jika telah terkumpul dua faktor kebaikan dan banyaknya limpahan nikmat dengan faktor kesempurnaan dan keindahan, tentu hati yang masih fitri akan menerimanya. Dan tidak ada yang berpaling darinya kecuali hati yang terlampau jelek.
[1] Al-Jawabul Kafi (hal. 276).
[2] Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 56).
[3] Hal 3-4 dalam makalah ini.
[4] Thariqul Hijratain (hal. 349 dan 352).
[5] Thariqul Hijratain (hal. 349).
[6] HSR. al-Bukhari (no. 5653) dan Muslim (no. 2754).
[7] Thariqul Hijratain (hal. 351).
[8] al-Jawabul Kafi (hal. 164).
[9] HSR. Muslim dalam Shahih Muslim (no. 181).
[10] Madarijus Salikin (3/17).
[11] Thariqul Hijratain (hal. 352).