Tak Salah Pilih Tak pula Menyesal

Tak Salah Pilih Tak pula Menyesal

Oleh : Ust. Abu Ammar al-Ghoyami

Pernikahan adalah ibadah yang mulia. Ia disyariatkan selain sebagai wujud ketaatan dan rasa syukur, juga demi kebaikan seluruh makhluk dan kelangsungan hidup mereka. Oleh karenanya ia tidak disyariatkan hanya untuk masa sesaat atau dua saat saja, namun disyariatkan untuk dilalui selama hayat masih dikandung badan.

Untuk memberikan jaminan hidup yang lebih baik selama kehidupan kedua pasangan dan keluarganya, Islam mengajarkan mencari calon pasangan hidup yang sekufu, yaitu yang sebanding kebaikannya.

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula); dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (QS. an-Nur: 26)

            Dalam ayat tersebut Allah menggesa agar kita berlomba-lomba memperbaiki diri apabila kita ingin mendapatkan pasangan yang baik. Karena Allah akan memberikan pasangan yang baik bagi orang yang baik. Rasulullah ﷺ pun mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus mencari yang sekufu buat pasangan hidup kita maupun buat orang yang ada di bawah kita perwaliannya. Beliau ﷺ bersabda:

إذا خَطَبَ إِلَيْكُمْ من تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إلا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ في الأرض وَفَسَادٌ عَرِيضٌ 

Apabila datang meminang (putrimu) laki-laki yang agama dan akhlaknya kalian ridhai (karena baiknya) maka nikahkanlah (ia dengan putrimu). Apabila kalian tidak menikahkannya tentu akan terjadi fitnah (bala’) di bumi dan kerusakan yang meluas (keburukannya).”[1]

JIKA PASANGAN TAK SESUAI HARAPAN

            Namun demikian, tidak semua orang mendapatkan pasangan sekufu yang mulia. Ada yang mendapatkan pasangan sekufu yang buruk, sebab sama-sama tidak baiknya, namun ada juga orang yang baik-baik mendapati pasangannya tidak seperti dirinya. Inilah yang perlu ditilik pada pembahasan kita kali ini. Sebab tak jarang biduk rumah tangga yang selalu oleng disebabkan pasangan yang tak sekufu, entah istri yang tidak baik maupun si suami. Bahkan tidak jarang rumah tangga yang gagal mengarungi samudra dan pecah biduknya, salah satu sebabnya adalah pasangan tak sekufu.

            Ada beberapa sebab dan keadaan pasangan yang tak sekufu, di antaranya:

  1. Karena dijodohkan semata-mata.

Kebiasaan menjodohkan anak dengan seseorang semata-mata, tanpa ada pengenalan, justru dengan paksaan mungkin merupakan salah satu sebab gagalnya pasutri membina rumah tangga. Salah satu sebab menjodohkan ini dilakukan tanpa nazhar (calon pasutri melihat masing-masingnya).

Jika hal seperti ini yang terjadi, memungkinkan sekali terjadi ketersiksaan yang sangat, semisal karena salah satu pasangan parasnya menarik sedangkan yang lainnya buruk rupa. Atau ternyata pasangan buta sebelah matanya, pincang sebelah kakinya dan semisalnya.[2] Meski rupa hanya jasad dan lahiriah semata, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ia merupakan faktor kebahagiaan hidup. Karenanya pihak yang dipaksa boleh memilih antara melanjutkan pernikahannya atau meminta diceraikan demi memperbaiki kehidupan berumah tangganya.

  1. Karena penipuan dan pengkhianatan[3]

Yang dimaksudkan ialah penipuan atau pengkhianatan pasangan sendiri atau walinya. Misalnya penipuan atau pengkhianatan karena menyembunyikan penyakit sopak yang memang tersembunyi, hilangnya keperawanan akibat dahulunya seorang pezina dan semisalnya, ternyata pasangan sangat buruk agama dan akhlaknya, dan semisalnya.

Juga seandainya ternyata pasangan punya sakit jiwa atau gila, sakit kusta, atau istri sakit di kemaluan sehingga menghilangkan kenikmatan bersebadan, atau suami telah mengebiri dirinya atau menderita impotensi sehingga tidak bisa menggauli istri dan memuaskannya.

Juga seandainya ternyata yang ia nikahi bukan seorang muslimah, namun ternyata ia seorang Nasrani, Yahudi atau wanita musyrik (selain ahli kitab).

Bila hal serupa terjadi maka pasutri boleh memilih perpisahan karena memang pasangan tak sesuai harapan.

SYARAT DITETAPKAN PERPISAHAN[4]

            Apabila ternyata ada beberapa kekurangan, cacat, atau keburukan lainnya pada salah-satu pasangan berupa cacat pada jenis kelamin atau organ seksual yang menghalangi bersenang-senang dalam bersebadan, atau cacat berupa penyakit menular atau penyakit yang tidak mungkin seseorang bergaul dengannya selain dengan keterpaksaan dan ketersiksaan, maka dibolehkan berpisah dengan dua persyaratan:

  1. Yang meminta perpisahan belum mengetahui saat akad nikah dilangsungkan.

Apabila ia telah mengetahui sebelum akad nikah kemudian dilakukan akad pernikahan maka ia tidak lagi berhak meminta perpisahan, karena saat ia mau diakadnikahkan, padahal ia tahu cacat atau aib tersebut, menunjukkan ia ridha dengannya meski terdapat aib atau cacatnya.

  1. Yang meminta perpisahan memang tidak meridhai adanya aib atau cacat tersebut setelah akad nikah.

Apabila seandainya yang meminta perpisahan dalam keadaan tidak mengetahui adanya aib atau cacat, lalu setelah dilangsungkan akad baru mengetahui dan meridhainya, maka gugur haknya meminta perpisahan.

PERPISAHAN TIDAK WAJIB

            Memang tidak sedikit aib dan keadaan yang tak sekufu justru menjadikan lebih indahnya hubungan rumah tangga, selagi aib tersebut tidak menghalangi didapatkannya manfaat dan hikmah dari pernikahan, yaitu kepuasan di dalam bersenang-senang saat bersebadan. Misalnya si istri berkulit putih, sementara si suami berkulit hitam, suami kaya sedangkan istri miskin, istri sarjana sedangkan suami tamatan SD saja, suami anak pondokan sedangkan istri anak sekolahan dan semacamnya. Di mana pasutri sama-sama ridha dengan kekurangan yang ada atau untuk diperbaiki setelah menikah. Sehingga apabila pasutri saling ridha maka tidak boleh orang lain berusaha untuk memisahkan mereka dengan alasan tersebut.

KIAT AGAR SELAMAT DARI KEKECEWAAN

Yang penting tinggal bagaimana kiat agar pasutri tidak terjebak pada kekecewaan sesaat setelah akad pernikahan.

Pertama, lakukanlah proses pernikahan sesuai petunjuk Rasulullah ﷺ, terutama nazhar (melihat) calon pasangan dan pengenalan seperlunya, baik oleh calon pasutri maupun keluarganya.[5] Kemudian senantiasa jujur dan apa adanya serta jauhi sifat khianat dan mengada-ada. Sebab, jujur pangkal keberuntungan, sementara khianat pangkal kebinasaan.

Kedua, mulailah rumah tangga dengan saling terbuka untuk mengetahui dan mengenali karakter masing-masing guna sebisa mungkin diusahakan memberikan yang terbaik buat pasangan. Insya Allah, bila hal ini diperhatikan dan dilalui, hidup berumah tangga akan lebih baik dan biduknya pun tak mudah oleng oleh gelombang kehidupan.

Kisah berikut ini bisa menjadi pelajaran berharga:

TAK SALAH PILIH, TAK PULA MENYESAL[6]

Dikisahkan dari al-Haitsam bin Adi ath-Tha’i, dari Mujalid bercerita kepada kami, dari asy-Sya’bi, ia berkata: “Syuraih berkata kepadaku: ‘Wahai asy-Sya’bi, hendaknya engkau menikahi wanita-wanita bani Tamim, karena aku melihat mereka itu cerdas-cerdas.’

Asy-Sya’bi berkata: ‘Apa kecerdasan mereka yang kamu lihat?’

Ia berkata: ‘Aku pernah tiba dari mengantar jenazah pada suatu siang. Aku melewati pemukiman bani Tamim. Tiba-tiba aku melihat seorang nenek di pintu rumahnya berdampingan dengan seorang gadis cantik jelita. Maka aku berbelok dan meminta minum, padahal aku sedang tidak haus.’

Gadis itu bertanya: ‘Minuman apa yang kamu suka?’

Aku berkata: ‘Yang ada saja.’

Nenek itu berkata: ‘Berikan dia susu. Kelihatannya dia orang asing.’

Aku bertanya: ‘Siapa gadis ini?’

Nenek itu bilang: ‘Dia Zainab bintu Jarir, salah seorang wanita bani Hanzhalah.’

Aku bertanya: ‘Masih sendiri atau sudah bersuami?’

Nenek itu menjawab: ‘Dia masih sendiri.’

Aku berkata: ‘Nikahkanlah aku dengannya.’

Nenek itu berkata: ‘Kalau kamu sekufu’ (sepadan) dengannya (maka tidak mengapa).’

Lalu aku pulang ke rumah dan bergegas untuk tidur siang. Tapi aku tidak bisa tidur. Setelah shalat Zhuhur, aku mengajak saudara-saudaraku para qurra` (penghafal al-Qur’an) yang mulia (di antara mereka): Alqamah, al-Aswad, al-Musayyib dan Musa bin Urfuthah. Kemudian aku pergi menemui paman gadis itu. Dia menyambut dan berkata: ‘Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?’

Aku berkata: ‘Zainab, keponakanmu.’

Ia berkata: ‘Zainab tidak punya rasa tidak suka kepadamu.’

Maka ia pun menikahkanku dengan Zainab.

Setelah Zainab berada dalam ikatanku, aku menyesal. Aku berkata: ‘Apa yang sudah aku lakukan dengan wanita bani Tamim?’ Dan aku teringat dengan kasarnya hati mereka. Lalu aku bilang: ‘Aku akan menceraikannya.’ Namun kemudian aku berkata: ‘Tidak, aku akan hidup dengannya. Kalau aku mendapatkan yang aku suka, aku akan terus hidup dengannya. Tapi kalau tidak, aku akan menceraikannya.’ Maka kalau saja kamu melihat aku, wahai asy-Sya’bi, ketika para wanita bani Tamim itu datang mengiringi Zainab sampai ia diantarkan masuk kepadaku, aku berkata: ‘Termasuk hal yang sunnah, kalau seorang wanita masuk mendatangi suaminya, si suami shalat dua rakaat kemudian berdoa kepada Allah, meminta kebaikan istrinya dan berlindung dari keburukannya.’

Maka aku shalat dan aku akhiri dengan salam. Ternyata, Zaienab ada di belakangku mengikuti shalatku. Setelah selesai shalat, beberapa perempuan datang mengambil pakaianku dan memberikan sebuah selimut yang sudah dicelup dengan endapan ‘ushfur (sejenis tumbuhan yang baunya harum). Setelah suasana rumah menjadi sepi, aku mendekatinya. Aku julurkan tangan ke arahnya. Namun ia berkata: ‘Nanti dulu, Abu Umayyah. Diamlah di tempatmu!’

Lalu ia berkata: ‘Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan aku memohon pertolongan kepada-Nya. Kemudian aku bershalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Sesudah itu; Sesungguhnya aku adalah seorang gadis asing yang tidak mengetahui sifat dan perilakumu. Maka terangkanlah kepadaku apa yang kamu suka maka akan aku kerjakan, dan apa yang kamu tidak suka maka akan aku tinggalkan.’

Lalu ia melanjutkan: ‘Sesungguhnya di kaummu sudah diadakan perayaan pernikahan, dan di kaumku juga begitu. Akan tetapi kalau Allah menentukan sesuatu, pasti itu akan terjadi. Dan kini aku sudah menjadi milikmu. Maka perbuatlah apa yang telah Allah perintahkan. Yaitu menahan secara ma’ruf atau menceraikan dengan baik. Aku katakan perkataanku ini dan aku mohonkan ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu.’”

Syuraih berkata: “Demi Allah, asy-Sya’bi, Zainab membuatku perlu memberikan khotbah di waktu seperti itu. Maka (saat itu) aku katakan: ‘Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan aku memohon pertolongan-Nya. Dan aku bershalawat dan bersalam kepada Rasulullah dan keluarganya. Sesudah itu; Sesungguhnya engkau sudah mengatakan sebuah perkataan yang kalau engkau berkomitmen dengannya, engkau akan mendapatkan balasan yang besar. Tapi kalau engkau hanya sekadar mengada-ada, maka perkataan itu akan menjadi bukti yang memberatkanmu. Aku suka ini dan ini dan aku tidak suka itu dan itu ketika kita sedang bersama-sama, maka janganlah engkau pergi begitu saja. Dan apa yang kamu lihat baik, sebarkan. Sedang apa yang kamu lihat buruk, tutupi.’

Lalu Zainab mengatakan hal yang senantiasa kuingat (baik-baik): ‘Apakah kamu menyukai berkunjung ke keluarga?’

Aku berkata: ‘Aku tidak suka dijemukan dengan ipar-iparku.’

Ia berkata: ‘Siapa tetangga yang kamu sukai untuk masuk ke rumahmu, sehingga aku akan mengizinkan mereka masuk dan siapa juga yang tidak kamu sukai sehingga aku juga tidak menyukai mereka?’

Aku berkata: ‘Bani Fulan itu orang-orang baik. Sedang bani Fulan itu orang-orang buruk.’”

Syuraih berkata lagi: ‘Maka waktu itu aku bermalam dengan malam yang paling nikmat, asy-Sya’bi. Dan Zainab tinggal bersamaku selama setahun, tidak pernah aku lihat kecuali yang aku suka. Pada awal tahun berikutnya, aku datang dari sebuah majelis pengadilan. Tiba-tiba ada seorang nenek yang menyuruh begini dan melarang begitu di dalam rumah. Aku bertanya: ‘Siapa ini?’

Mereka berkata: ‘Fulanah, mertuamu.’

Maka hilanglah perasaan janggal dalam hatiku. Setelah aku duduk, nenek itu mendatangiku dan berkata: ‘Assalamu ’alaika, wahai Abu Umayyah!’

Aku berkata: ‘Wa’alaikissalaam. Siapa engkau?’

Dia berkata: ‘Aku Fulanah, mertuamu.’

Aku berkata: ‘Semoga Allah mendekatkanmu kepada-Nya.’

Dia berkata: ‘Bagaimana pandanganmu terhadap istrimu?’

Aku katakan: ‘Sebaik-baik istri (adalah ia).’

Ia berkata padaku: ‘Wahai Abu Umayyah! Sesungguhnya seorang perempuan tidak akan menjadi lebih buruk dari si Zainab itu dalam dua keadaan: kalau ia melahirkan seorang anak laki-laki atau ia memiliki kedudukan di sisi suaminya. Maka kalau ada sesuatu yang membuatmu ragu, pakai saja cemeti (untuk memberinya pelajaran). Demi Allah, tidak ada sesuatu yang didapatkan oleh seorang pria di rumahnya yang lebih buruk dari seorang istri yang manja.’

Aku berkata: ‘Demi Allah, engkau benar-benar sudah mendidik dengan pendidikan yang baik dan sudah melatih dengan pelatihan yang baik.’

Ia berkata: ‘Apakah kamu suka kalau para mertuamu datang berkunjung?’

Aku berkata: ‘Kapan saja mereka mau (dengan suka hati aku menyambutnya)’”

Syuraih berkata: “Maka nenek itu terus mendatangiku setiap awal tahun dengan memberiku wasiat yang sama. Zainab pun tinggal bersamaku selama 20 tahun, tidak pernah aku menegurnya dalam satu perkara pun (karena kesalahannya), kecuali sekali saja, dan (itu ternyata) aku telah berbuat aniaya terhadapnya. (Kisahnya) muadzin sudah mengumandangkan iqamat setelah aku shalat dua rakaat fajar. Dan aku adalah imam shalat di kampung tersebut. Tiba-tiba ada seekor kalajengking merayap. Maka aku ambil sebuah wadah dan aku telungkupkan wadah itu di atasnya kemudian aku katakan: ‘Zainab! Jangan bergerak sampai aku datang.’

Kalau saja engkau melihatku wahai asy-Sya’bi, setelah aku shalat dan pulang, ternyata aku sudah di dekat kalajengking yang sudah menyengat Zainab. Seketika itu aku meminta air dan garam kemudian aku rendam jarinya dan aku bacakan surat al-Fatihah dan al-Mu’awwidzatain, (dan hanya itulah kesalahannya).”

            Wallahul muwaffiq.


[1] HR at-Tirmidzi: 1084, 1085 dan beliau mengatakan: “Hadits ini hasan”. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah: 1967

[2] Minhajul Muslim, al-Jazairi, halm. 464-465.

[3] Shahih Fiqh Sunnah, halm. 398-400, Minhajul Muslim, halm. 464-465.

[4] Shahih Fiqh Sunnah, halm. 396-397.

[5] Nazhar dan berkenalan yang dimaksudkan bukan “pacaran”, namun ta’aruf yang dibenarkan oleh syariat.

[6] Kisah ini kami gubah dari al-Mustathraf fi Kulli Fannin Mustazhraf, oleh Abul Fath al-Ibsyihiy, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut, tahun 1986, tahqiq DR Mufid Muhammad Qamihah, 2/480-481, sebagaimana di dalam asy-Syamilah, dengan tambahan dari Thaba’iun Nisa’, Ibnu Abdi Rabbih al-Andalusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.