سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Abdullah Bin Ummi Maktum Radhiallahu ‘anhu
ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM Radhiallahu ‘anhu
Oleh: Ust. Abdur-Rahman al-Buthoni
Iman adalah mencintai Allah, Rasul dan agama-Nya serta para wali kekasih Allah. Sedangkan lawannya adalah memusuhi Allah, Rasul, agama serta wali Allah. Para wali Allah mengajak manusia kepada jalan Allah sebagai rahmat dan santun mereka terhadap umat manusia. Adapun wali setan mengajak, menakut-nakuti dan menghalangi manusia dari jalan Allah sebagai hasad, dendam dan kezaliman. Bahkan menakut-nakuti dan mengancam wali-wali Allah itu sendiri.
Mereka tidak tahu atau pura-pura tak tahu, menyangka bahwa wali Allah takut kepada selain-Nya. Mereka mengira bahwa wali Allah seperti wali setan yang tak punya penolong sedikit pun, sehingga sangat takut kepada selemah-lemah makhluk tanpa ada yang menakut-nakuti. Lalu, bagaimana jika ditakut-takuti?
Mereka pura-pura tidak mengetahui bahwa wali-wali Allah tak ada rasa takut bagi mereka dan tak bersedih hati.
Mereka berpura-pura tidak mengetahui bahwa para sahabat dahulu meruntuhkan Romawi dan Persia, Yahudi Nasrani dan seluruh penganut agama batil yang sangat banyak dan tangguh. Mereka tidak mengetahui bahwa Romawi dan Persia adalah bangsa adidaya. Namun para sahabat jauh lebih kuat dengan iman, ilmu dan amal shalih, sehingga kekuatan tentara dan harta lebih lemah dibanding dengan kekuatan mereka. Bukankah kekuatan tubuh tergantung pada kekuatan hati, sementara kekuatan hati tidak tergantung kepada kekuatan fisik, kecuali sebagai sarana saja, itu pun bukan yang paling pokok? Apakah mereka tidak mengetahui, bahwa sepanjang sejarah kebatilan tidak pernah mengalahkan kebenaran, kecuali karena ahlinya lemah. Adapun menang dengan kekuatan, maka belum pernah terjadi dalam sejarah bahwa ahli batil bisa mengalahkan ahli haq tanpa adanya faktor kelemahan umat Islam.
Para pelaku teror menakut-nakuti Ahlissunnah di negeri ini, bahwa mereka akan memindah konflik Suriah. Sungguh, tidakkah mereka mengetahui bahwa negeri ini memiliki sejarah mulia yang gemilang? Yaitu, Allah mengusir dan menghinakan seluruh bangsa penjajah kafir Katolik, Protestan dan Komunis lewat para mujahidin Ahlissunnah atau perlawanan dan jihad yang ditegakkan oleh para ulama dan santri? Umat Islam negeri ini, khususnya Ahlissunnah tidak akan melupakan perjuangan para ulama dan tokoh mujahidin seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Zainal Mustofa, Syarif Hidayatullah, Diponegoro, Imam Bonjol, Bung Tomo dan lainnya?
Umat Islam tidak akan melupakan jihad yang ditegakkan oleh Shalahuddin al-Ayyubi, Thariq bin Ziyad, Muhamad al-Fatih dan lainnya. Apalagi jihad para sahabat, tabi’in dan pengikut mereka dengan baik. Tidak mungkin umat Islam melupakan jihad Umar bin Khaththab dengan panglima perang Sa’d bin Abi Waqqash menghancurkan Majusi Persia. Mereka menakut-nakuti umat Islam dengan memindahkan konflik, padahal yang namanya konflik adalah membunuh dan dibunuh. Adapun Ahlissunnah menyebarkan rahmat, melindungi yang terzalimi dan menghalangi setiap pelaku kezaliman.
Namun sungguh disayangkan sebagian umat Islam di negeri ini menghidupkan istilah Wahabi yang dahulu sebagai makar buruk penjajah Belanda untuk memecah belah umat Islam. Lebih disayangkan, tatkala sebagian salafiyyin menjadikan NU sebagai musuh dalam keadaan dia tidak mengetahui bahwa apa yang ada pada sebagian jamaah bukanlah ajaran para ulama Nahdhiyyin.
Sebaliknya, Wahabi dianggap sesat dalam keadaan mereka tidak mengetahui bahwa dakwah Syaikh Hasyim Asy’ari –rahimahullah– dan semisalnya adalah dakwah Wahabi. Yaitu menegakkan tauhid dan sunnah, dan mengingkari serta memberantas syirik, bid’ah dan khurafat.
Akan tetapi dengan berlalunya zaman dan kelalaian generasi belakangan, menjadikan mereka tidak mengetahui ajaran para pendahulunya. Maka alangkah indahnya jika kita semua kembali kepada khithah (jalan) para ulama pendahulu dan tidak fanatik buta pada apa yang dilakukan oleh generasi belakangan.
KEUTAMAAN ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM
Beliau adalah salah satu sahabat mulia. Walaupun buta, namun Ibnu Ummi Maktum merupakan muadzin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersama Bilal di masjid Nabi. Sedangkan Sa’d Qurazh di Quba’ dan Abu Mahzhurah di Makkah.
Beliau hijrah setelah perang Badar. Ibnu Saad mengatakan, “Rasulullah menghormatinya, menjadikannya sebagai pengganti di Madinah jika beliau safar dan mengimami manusia di sana.”
Al-Bara’ berkata, “Yang pertama kali datang kepada kami di Madinah adalah Mush’ab bin Umair dan Abdullah bin Ummi Maktum. Keduanya mengajarkan kepada kami al-Qur’an.”
Sesungguhnya Jibril datang kepada Rasulullah, di sisinya ada Ibnu Ummi Maktum seraya bertanya, “Sejak kapan penglihatanmu tak ada?” Jawabnya, “Sejak aku kecil.” Maka beliau berkata, “Allah berfirman, ‘Apabila Aku mengambil penglihatan hamba-Ku maka tidak ada balasan baginya kecuali surga.’”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Sesungguhnya Bilal melakukan adzan pada malam hari maka makan dan minumlah hingga kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
TETAP BERSEMANGAT SEKALIPUN BUTA
Alangkah indahnya seorang muslim, apalagi kaum muda, memiliki semangat yang tinggi dalam ilmu dan amal shalih. Dan betapa rendahnya jika mereka kalah dalam kebaikan dengan seorang buta seperti Ibnu Ummi Maktum, sebagai muadzin rutin, bukan yang kadang-kadang atau musiman dan malas. Sebagai seorang da’i yang bersemangat, bahkan di tempat yang jauh dari negerinya, tidak seperti guru dan da’i di tempatnya sendiri yang kurang bersemangat dan malas. Bahkan Ibnu Ummi Maktum pun sebagai mujahid, ikut berperang dan sebagai pembawa bendera perang.
JANGAN MENYEPELEKAN ORANG BUTA ATAU LEMAH
Terkadang seseorang lupa dengan hak orang yang lemah dan lebih mengutamakan para pembesar yang terhormat. Maka perhatikan nasihat Allah kepada Rasul-Nya tatkala berpaling dari orang buta dan menghadap kepada para pembesar berikut ini. Urwah (bin Zubair) berkata, “Rasulullah bersama para pembesar Quraisy, di antaranya ‘Utbah bin Rabi’ah, lalu datang Ibnu Ummi Maktum bertanya kepada beliau tentang sesuatu, maka Nabi berpaling darinya. Lantas turunlah ayat:
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. (QS. ‘Abasa: 1-2)
Ibnu Ummi Maktum tidak ada kewajiban untuk berperang di jalan Allah karena buta, namun beliau tidak mau ketinggalan dari jihad. Beliau berkata, “Aku orang buta, maka serahkan bendera perang kepadaku. Aku yang membawanya, sebab tak mungkin aku lari meninggalkan medan peperangan. Dan tempatkan aku di antara dua pasukan; Islam dan kafir.” Sungguh, luar biasa tingginya semangat sahabat ini.
Berkata Anas, “Sesungguhnya Abdullah bin Ummi Maktum pada perang Qadisiah membawa bendera hitam dan memakai baju besi miliknya.”
Ada yang menyebutkan, bahwa beliau syahid dalam perang ini. Sesungguhnya para sahabat sangat mencintai kematian dan negeri akhirat, mereka sangat membenci dunia dan lari darinya. Karena itu mereka sangat berani dalam membela kebenaran dan tak takut kepada selain Allah. Jauh berbeda dengan orang yang cinta dunia dan takut mati.
- Siyar A’lam an-Nubala’ 3/224-227.