سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…

Bagaimana Guru Mengikhlaskan Niat?
Bagaimana Guru Mengikhlaskan Niat?
Oleh: Abu Bakr
Tatkala menyebut profesi “guru”, sepintas akan terbayang bahwa bukanlah profesi istimewa. Dahulu tidak sedikit yang menganggapnya profesi melelahkan, mata pencaharian kelas menengah ke bawah dan identik dengan banyak utang.
Seiring dengan perhatian pemerintah yang semakin besar terhadap kesejahteraan guru, profesi ini naik daun dan menjadi incaran pemburu sertifikasi yang cukup menggiurkan. Apalagi lapangan kerja sekarang membutuhkan manusia yang memiliki skill khusus, bukan yang sekadar pintar “berteori”. Praktis, profesi guru adalah satu alternatif di tengah susahnya mencari kerja. Ironisnya, asumsi ini justru muncul dari sang guru sendiri. Ia anggap profesinya tidak terlalu istimewa, bahkan ia tidak menganjurkan anaknya menjadi seorang guru. Benarkah demikian? Bagaimana seorang guru mengikhlaskan niatnya?
Profesi guru dan pendidik adalah risalah
Guru adalah induk profesi, karena profesi apa pun yang dilakoni manusia pasti hasil dari jerih payah seorang guru. Guru bukanlah profesi kebanyakan orang yang sekadar mencari upah dari waktu dan tenaganya, namun sejatinya profesi tersebut adalah profesi da’i, pewaris Nabi dan Rasul dalam menyambung risalah kepada manusia. Abu Darda’ Radhiallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, sedang para Nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewarisi ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR. at-Tirmidzi: 2682 dan dihasankan oleh al-Albani dalam al-Misykah: 212)
Ibnul Qayyim berkata, “Sabda Nabi ‘Ulama adalah pewaris Nabi,’ merupakan dalil bahwa mereka orang yang paling dekat dengan para Nabi dalam keutamaan, kedudukan dan martabat. Karena orang yang paling dekat dengan harta warisan tentunya ahli warisnya.” (Miftah Dar as-Sa’adah 1/66)
Berkata Syaikh Shalih al-Munajjid, “Guru merupakan penjaga (agama), pendidik generasi penerus, pemakmur sekolah yang berhak mendapat pahala jihad, ucapan syukur para hamba dan pahala dari Allah di hari kebangkitan. Namun pembicaraan tentang mereka adalah problematika tersendiri dan mereka memiliki kegundahan dan kesusahan, cita-cita dan derita, kewajiban dan tanggung jawab.” (Nasha’ih lil Mu’alimin, Muqaddimah)
Berkata Dr. Utsman bin Hasan, “Seorang guru da’i akan menjaga peranan pentingnya dan bertekad melakukan tugasnya sebagai bentuk ibadah dan risalah yang harus disampaikan. Ia semangat atas hal tersebut, baik pada jadwal resmi maupun tidak. Madrasah atau universitas hanya sebagai wadah yang Allah mudahkan untuk menunaikan kewajiban ini. Oleh karena itu, ia tidak pernah berhenti dari kewajiban ini sekalipun berbeda wadah dan spesialisasi. Nabi Yusuf adalah seorang da’i, baik itu di rumah al-Aziz (Pembesar Mesir) sebagai pelayan, di penjara sebagai tahanan, maupun tatkala menjadi menteri di kerajaan. Perbedaan ranah tugas dan keadaannya tidaklah menjadikan ia berhenti menjadi seorang da’i.” (Al-Mu’allim Bainal Wajibil Wazhifi ila al-Wajibi ar-Risali hal. 10)
Profesi guru dan pendidik juga amanah
Mengajar dan mendidik termasuk amanah yang sangat besar sebagai tuntutan dari zakat ilmu yang dimiliki seseorang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
“Tidak akan bergeser dua kaki hamba pada hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya dalam hal apa dihabiskan? Tentang ilmunya dalam hal apa ia amalkan? Tentang hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan? Dan tentang badannya dalam hal apa ia rusakkan?” (HR. at-Tirmidzi: 2531, Shahih at-Tirmidzi: 1969)
Amanah bagi seorang guru adalah menjaga semua hak, kewajiban dan segala sesuatu yang bersifat materi maupun maknawi, baik itu terhadap Allah dan manusia lain, di kantor, murid maupun wali murid.
Amanah guru sejatinya ialah memberikan hak profesinya dengan mengerahkan semua usahanya untuk memberikan pelajaran dan manfaat kepada muridnya dan tidak menyembunyikan ilmu kepada mereka.
Amanah seorang guru terhadap kantornya adalah konsisten dengan syarat dan perjanjian yang telah dibuat, jam mengajar yang telah ditentukan, menjunjung nama madrasah dengan profesionalitas kerja, kredibilitas dan inovasi.
Adapun amanah guru terhadap muridnya adalah dengan bersemangat memberikan pengajaran dan pelajaran, mencurahkan nasihat, menumbuhkan kreativitas mereka, mendukung mereka untuk cinta membaca dan menelaah, menyukai kebaikan buat mereka layaknya orang tua yang selalu mendampingi mereka.
Amanah guru terhadap wali murid yakni dengan mengadakan hubungan dengan mereka, memberikan laporan terhadap mereka tentang perkembangan anak-anaknya dan mengatasi masalah-masalah yang muncul pada diri murid bekerja sama dengan orang tua mereka. (Makalah: Min Shifat al-Mu’allim; ash-Shidqu al-Amanah, Dr. Thaha Faris)
Nafkah pendidik antara dunia dan akhirat
Masalah mencari nafkah untuk menghidupi diri sendiri, keluarga maupun orang tua merupakan masalah syar’i, bukan hanya duniawi.
Ka’b bin ‘Ujrah Radhiallahu ‘anhu berkata, “Seorang laki-laki melewati Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam kemudian para sahabat melihat bagaimana kuat dan rajinnya laki-laki tersebut, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, seandainya hal ini di jalan Allah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Jika ia keluar bekerja untuk menghidupi anaknya yang masih kecil maka dia fi sabilillah (di jalan Allah), jika ia keluar bekerja untuk kedua orang tuanya yang telah lanjut usia maka fi sabilillah, jika ia keluar bekerja untuk menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta maka ia fi sabilillah dan jika ia keluar karena riya’ dan sombong maka ia di jalan setan.’” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 19/129. Berkata al-Mundziri, “Rentetan perawi haditsnya shahih.” Dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib: 1692)
Adapun hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda,
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu agama yang seharusnya untuk mencari wajah Allah, ia tidak mempelajarinya melainkan hanya untuk mendapatkan bagian dunia maka ia tidak akan mencium harumnya surga pada hari kiamat” (HR. al-Hakim 1/85, Abu Dawud: 3664)
Ancaman ini hanya untuk orang yang tujuannya dunia semata tanpa melihat akhirat. Adapun yang menginginkan akhirat dengan ilmunya namun ia mendapat upah dari dunia maka tidaklah masuk dalam ancaman tersebut. Para fuqaha menjelaskan tentang bolehnya menggabungkan niat seperti dalam haji:
Tiada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. (QS. al-Baqarah: 198)
Maka harus dibedakan antara orang yang mengambil dunia agar konsentrasi untuk amalan akhirat dengan orang yang melakukan amalan akhirat untuk tujuan dunia. Renungkanlah, karena banyak orang yang salah paham.” (Al-Mirqah Syarhul al-Misykah, Mula Ali al-Qari 1/287)
Syaikhul Islam mengatakan, “Kesimpulannya, yang dianjurkan adalah mengambil (mencari) harta untuk berhaji, bukan haji untuk mencari harta. Hal ini pada semua rezeki yang diperoleh dari amal shalih. Barangsiapa yang mencari rezeki untuk belajar, mengajar atau berjihad maka itulah yang baik sebagaimana yang datang dari Nabi, beliau Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, ‘Permisalan orang-orang yang berperang dari umatku dan mendapatkan upah (ghanimah) semisal ibunya Musa yang menyusui anaknya dan mendapatkan upahnya.’ Nabi menyerupakan mereka dengan orang-orang yang melakukan suatu pekerjaan karena menyukainya, sebagaimana cintanya ibunda Musa menyusui anaknya, berbeda dengan tukang menyusui sewaan yang bukan ibunya. Adapun orang yang menyibukkan diri dengan bentuk amalan akhirat untuk mencari rezeki, ini termasuk amalan dunia, maka bedakanlah antara yang menjadikan agama adalah tujuan dan dunia sekadar perantara dan antara orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan dan akhirat sebagai perantara. Yang benar, perbuatan ini (berhaji untuk mencari uang) tidak akan mendapat bagian di akhirat sebagaimana dalil-dalil yang datang dan bukan di sini pembahasannya.” (Majmu’ al-Fatawa 26/19, 20) Wallahul Muwaffiq.