سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Hamba Allah, Jaga kesucian Dirimu!
HAMBA ALLAH, JAGA KESUCIAN DIRIMU!
Oleh: Abu Faiz Sholahuddin
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ : الإِمَامُ الْعَادِلُ , وَشَابٌ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ , وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ , وَرَجُلاَنِ تَحَابَّ فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ , وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصَبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ : إِنِّي أَخَافُ اللهَ , وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ, وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِياً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada 7 golongan yang kelak akan Allah naungi dalam naungan-Nya di hari yang sudah tiada lagi naungan kecuali naungan-Nya (mereka adalah): Imam yang adil, dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seorang yang hatinya selalu bergantung kepada masjid, dan dua orang yang saling mencintai karena Allah; berkumpul dan berpisah hanya karena-Nya, dan seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita cantik lagi bertahta lalu ia berkata, ‘Tidak, aku takut kepada Allah!’ dan seorang yang bersedekah dengan sedekah yang disembunyikan, sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang telah di infakkan oleh tangan kanannya.”[1]
MAHALNYA KESUCIAN DIRI
Di antara 7 golongan manusia yang akan bahagia dengan naungan ar-Rahman, pada hari yang sangat panas, tatkala matahari didekatkan sedekat-dekatnya di atas kepala manusia, mereka adalah seorang lelaki yang mau menjaga kesucian dirinya, tatkala diajak untuk berbuat mesum oleh seorang wanita yang cantik jelita lagi bertahta, namun dia berkata, “Tidak, aku takut kepada Allah!”
Dikhususkan dengan godaan wanita yang cantik lagi bertahta, karena biasanya hati laki-laki akan lebih tergoda dengan seorang wanita yang cantik, apalagi memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat. Maka mendapatkan hatinya bukan perkara gampang, karena padanya terdapat dua kelebihan dari sekian wanita yang lain, yaitu kecantikan dan harta. Maka wanita yang berstatus sosial tinggi pun ia tidak akan gampang memberikan hatinya pada orang lain. Karenanya jika menahan godaan terhadap wanita adalah perkara yang berat, maka menahan godaan dari seorang wanita cantik dan bertahta itu jauh lebih berat. Karena tidak ada yang menghalangi dari hawa nafsunya tersebut kecuali hanya bersabar dan rasa takutnya kepada Allah, dan itu ketaatan kepada Allah yang kelak akan diganjar dengan perlindungan di bawah naungan-Nya kelak pada hari kiamat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pun sangat menganjurkan seorang muslim agar selalu menjaga kehormatan dirinya. Abu Sa’id al-Khudri Radhiallahu ‘anhu mengatakan, bahwa manusia dari Anshar datang dan meminta harta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam, mereka pun diberi, lalu mereka meminta lagi dan mereka diberi, sehingga jika sudah tidak ada lagi sesuatu yang akan diberikan maka Nabi bersabda:
“Tidaklah aku memiliki kebaikan (harta) lalu aku simpan dan tidak aku berikan kepada kalian. Dan barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya maka Allah akan menjaganya, barangsiapa meminta kecukupan kepada Allah maka Allah akan cukupkan. Barangsiapa yang bersabar, maka Allah akan beri kesabaran kepadanya. Dan tidaklah seseorang diberi dengan pemberian yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.”[2]
Al-Imam an-Nawawi berkomentar, “Dari hadits di atas diambil pelajaran tentang anjuran untuk kita agar menjaga kehormatan diri, qana’ah dan sabar menahan beratnya godaan hidup dan beratnya fitnah dunia.”[3] Sedangkan dalam memahami dalil, yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh bukan kekhususan sebab, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam mengatakan, bahwa barangsiapa yang menjaga kehormatan dan kesucian dirinya, niscaya Allah akan menjaganya. Apalagi hidup di zaman akhir ini, di mana godaan wanita selalu ada di depan mata, dengan berbagai macam tawaran; dari yang berbayar hingga yang gartis, semakin berat bagi diri kita untuk selalu berusaha menjaga kesucian diri agar tidak terjerumus pada perbuatan yang sangat dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
SEGERALAH MENIKAH
Di antara solusi agar terhindar dari perbuatan zina adalah menikah. Terlebih bagi seorang pemuda yang telah dewasa dan telah memiliki bekal, maka tidak ada solusi terbaik dan paling menjaga kesucian diri selain menikahi seorang wanita.
Setelah menikah, maka hindari segala celah yang menyebabkan pandangan kita jatuh kepada wanita lain, karena setan tidak akan berhenti dalam bekerja, dia akan selalu mencari jalan untuk menjerumuskan manusia. Sehingga seorang yang sudah menikah, terkadang masih belum selamat dari godaan perselingkuhan dan hubungan yang diharamkan. Seorang yang berjiwa lemah bisa saja ia akan ‘jajan’ di luar, demi memperturutkan nafsunya. Maka justru kondisi itu jauh lebih buruk ketimbang dahulu tatkala dia masih belum menikah. Karena setelah dia menikah, semestinya dorongan untuk berbuat zina semakin berkurang dibandingkan dahulu tatkala masih bujang saat gejolak syahwat belum dapat tersalurkan. Jika semakin kecil pendorong untuk berbuat kejelekan namun tetap dilanggar, maka dosa pelanggarannya akan menjadi semakin besar. Rasul Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Ada tiga golongan yang kelak tidak akan diajak bicara oleh Allah tidak akan dilihat, tidak akan disucikan dari dosa, dan bagi mereka adzab yang pedih, (mereka adalah): Seorang tua yang berzina, seorang raja yang berdusta, seorang miskin yang sombong.”[4]
Para ulama menjelaskan, di antara sebab tiga golongan tersebut disiksa dengan siksa yang sedemikian berat karena sebenarnya pendorong mereka untuk berbuat maksiat tersebut kecil namun hawa nafsu mereka telah mengalahkannya. Lihatlah, seorang yang telah tua, seharusnya faktor umur telah menjadikan akalnya lebih sempurna, akan berpikir lebih jauh dan lebih matang, dan gejolak syahwatnya pun tak seperti pemuda yang belum pernah menikah. Maka jika dia berzina itu menunjukkan lemahnya diri dan rapuhnya mental. Seorang raja, siapa orang yang harus ditakutinya sehingga ia berdusta, padahal dialah pemimpin kaum. Dan seorang miskin, apa kepunyaannya yang akan ia sombongkan? Maka mereka patut untuk disiksa dengan siksaan yang berat karena telah berbuat maksiat yang seharusnya mudah untuk mereka tinggalkan.
Maka hendaklah setiap diri membentengi dirinya dengan ilmu yang bermanfaat untuk menghindari setiap serangan setan berupa fitnah syubhat dan syahwat.
DORONGAN MENJAGA ‘KESUCIAN DIRI’
Seorang muslim adalah orang yang jika diingatkan maka dia akan segera kembali, bila didorong untuk berbuat kebaikan maka dia akan segera bangkit, dan jika ditakut-takuti dari kejelekan maka dia akan segera lari darinya.
Dan di antara dorongan agar kita selalu menjaga kesucian diri kita adalah mengingat-ingat akan janji Allah berupa kenikmatan dapat bersanding dengan para bidadari surga. Maka barangsiapa yang telah meminta kenikmatan itu di dunia dengan jalan haram, maka Allah akan mencegahnya dari menikmatinya kelak di surga yang abadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pernah bersabda:
مَنْ يَلْبَسِ الْحَرِيْرَ فِي الدُنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِي الآخِرَةِ , وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الآخِرَةِ
“Siapa yang memakai sutra di dunia, kelak dia tak akan memakainya di akhirat, dan siapa yang meminum khamer di dunia maka dia tidak akan meminumnya kelak di akhirat.”[5]
Maka Allah tidak akan menggabungkan kepada seorang hamba antara kenikmatan meminum khamer di dunia atau memakai kain sutra, dan bersenang-senang dengan wanita yang haram dengan kenikmatan yang ada di akhirat kelak. Maka silakan pilih, manakah dari dua kenikmatan itu yang kita ingini? Sungguh, tidaklah akan sama antara seorang yang menyegerakan untuk merasakan kenikmatannya di dunia dengan cara yang haram dengan seorang yang bersabar menunggunya hingga waktunya, saat dia telah berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
PADA MEREKA TERDAPAT TELADAN
Pertama, kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis salam yang telah diabadikan oleh Allah dalam al-Qur’an. Ketika tak ada sama sekali penghalang antara beliau dan dosa zina kecuali Allah dan pendorong untuk melampiaskan nafsu terlarang itu sangat besar, namun ketakutan Yusuf ‘Alaihis salam kepada Allah itu pun muncul dan menyelamatkannya dari ketergelinciran. Saat istri pemimpin Mesir yang jelita menggodanya, maka Nabi Yusuf dengan keimanannya justru mengatakan:
Aku berlindung kepada Allah, sungguh majikanku telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. (QS. Yusuf: 32)
Kedua, Ibn Umar Radhiallahu ‘anhuma bercerita, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam telah menceritakan dengan panjang tentang tiga orang yang terkurung di dalam gua, namun akhirnya sebongkah batu besar menutup rapat pintu gua sehingga mereka terkurung di dalam dan tidak mampu menggeser batu tersebut. Lalu mereka berkata, “Kali ini tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkan kalian kecuali kalian berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal kebaikan yang telah kalian perbuat.” Maka berkatalah seorang pemuda, bahwa dia adalah pemuda yang sangat mencintai putri pamannya. Dia berhasrat kepadanya namun wanita itu menolak, hingga tatkala datang musim paceklik panjang, datanglah wanita itu meminta bantuan lalu sang pemuda memberinya uang 120 dinar dengan syarat dia mau berzina dengannya. Karena terpaksa maka wanita itu menerima tawaran tersebut. Maka setelah laki-laki tersebut mampu melakukan keinginannya tiba-tiba wanita itu berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah! Janganlah kau urai cincin itu kecuali dengan haknya.’ Maka ia pun bangkit dan mengurungkan perbuatan tersebut dan meninggalkan wanita dan uangnya. Hingga akhirnya mereka terselamatkan dari gua tersebut berkat pertolongan Allah.[6]
Allahul Muwaffiq.
[1] HR. al-Bukhari 2/168 , Muslim: 1031.
[2] HR. al-Bukhari 3/392 , Muslim: 1053
[3] Syarh Shahih Muslim an-Nawawi 7/205.
[4] HR. Muslim 2/115.
[5] HR. al-Bukhari 10/296 Muslim: 2073.
[6] Selengkapnya dalam hadits riwayat al-Bukhari 4/525.