سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Berlapis Berkah Dalam Sifat Pemaaf
Oleh: Abu Ammar – Magelang
Hidup laksana tumpukan irisan buah yang bermacam-macam, ada yang manis, asam, segar, pun ada yang pahit. Tetapi dalam setiap lapisan yang beraneka macam rasa tersebut terdapat manfaat yang berbeda-beda pula. Semisal rasa asam yang mengandung vitamin C, berguna bagi kekebalan tubuh, dan yang lainnya.
Demikian pula dengan kehidupan dunia, kadang kita merasa gembira, terkadang juga kita merasakan kesedihan. Ada kalanya kita diuji dengan melimpahnya kenikmatan, pun kita juga diuji dengan kesulitan-kesulitan; manis, asam, pahit semua pernah kita rasakan. Tapi sebagai seorang yang beriman, kita harus yakin bahwa dalam setiap lapis kehidupan yang kita rasakan pasti ada hikmah dan berlapis-lapis keberkahan yang pasti kita rasakan.
Rasulullah menggambarkan sifat orang yang beriman, “Alangkah menakjubkan perkara orang mukmin, semua urusannya baik baginya. Jika dia diuji dengan kesulitan, ia bersabar maka itu baik baginya. Sedangkan jika diuji dengan kesulitan ia bersabar, maka itu baik pula baginya. Dan semua ini tidak akan diperoleh kecuali oleh orang yang beriman.”
Di antara lapis kehidupan kita adalah kita pernah direndahkan, dihina, dicaci, dan dizalimi. Jika mampu mengatasi keadaan, menguasai hawa nafsu, dan bisa mengalahkan bisikan setan, kemudian kita memaafkan orang yang menzalimi kita, apalagi kita bisa memberinya udzur dan mendoakan kebaikan baginya, sudah pasti keberkahan demi keberkahan akan turun kepada kita. Berat memang, lebih-lebih tatkala kita telah berada di atas dan berkuasa untuk membalas. Ditambah lagi bila kita yakin pula berada di atas kebenaran.
Lihatlah Rasulullah, imam para qudwah. Al-Bukhari meriwayatkan sebuah kisah yang menakjubkan. Bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, “Apakah engkau pernah mengalami hari yang lebih berat dari (perang) Uhud?”
Ada apa dengan Uhud? Benar, karena pada hari itu merupakan hari yang begitu berat bagi Rasulullah dan kaum muslimin. Pada hari itu terjadi perang besar antara kaum muslimin dan orang-orang musyrik Makkah. Bermodalkan kekalahan pada perang Badar dan rasa dendam yang memuncak terhadap Rasulullah dan kaum muslimin secara umum, kaum kafir Quraisy yang berhasil mengumpulkan tiga ribu pasukan menyiapkan keberangkatan mereka menuju Madinah pada bulan Syawal tahun 3 Hijriah.
Ketika mendengar berita keberangkatan mereka, Rasul mengadakan majelis musyawarah bersama para sahabat untuk menetapkan sikap; apakah keluar Madinah dan menghadapi musuh, ataukah memilih siasat bertahan di dalam kota. Pada akhir majelis, para pemuda dan orang-orang yang belum sempat merasakan kemenangan di Badar sedikit mendesak Rasul agar keluar Madinah dan menghadapi Quraisy di Uhud. Seribu orang pun berangkat.
Ujian pertama yang diterima oleh Rasulullah adalah membelotnya 300 orang atas hasutan tokoh munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul. Kejadian itu bermula ketika Rasulullah telah sampai di Shauth. Setelah Shubuh, para sahabat sudah bisa melihat kekuatan barisan kaum musyrikin Makkah, begitu juga mereka dapat melihat kaum muslimin dengan jelas. Ketika itulah Abdullah bin Ubay bin Salul mengatakan dengan nada protes, “Kami tidak tahu, atas dasar apa pula kami harus membunuh diri kami sendiri?!” Sambil menampakkan kesan protes karena Rasul menolak pendapatnya dan menyetujui pendapat para sahabat yang lebih memilih perang terbuka. Dengan begitu, tinggallah Rasul bersama sekitar 700 orang.
Menyalalah api peperangan. Pertempuran antara dua pasukan menghebat di setiap sudut. Tak lama, pasukan musyrik terpukul mundur di awal siang. Maka mulailah pasukan muslimin mengumpulkan ghanimah.
Sebenarnya, sebelum peperangan menyala, Rasulullah telah memilih sekitar 50 orang pemanah jitu yang ditugaskan untuk menjaga pertahanan belakang dari pasukan berkuda musyrikin. Tatkala para pemanah ini melihat kaum muslimin berhasil memukul mundur kaum musyrikin dan mulai mengumpulkan ghanimah. Mereka mengatakan, “Sungguh, kami akan turun dari gunung ini guna membantu kaum muslimin mengumpulkan ghanimah!” Begitulah prasangka mereka. Maka komandan mereka, Abdullah bin Jubair, mengingatkan mereka dengan mandat Rasulullah agar tetap di tempat, baik menang maupun kalah. Akan tetapi, qaddarallahu wama sya’a fa’al, para pemanah terburu-buru (semoga Allah memaafkan kita dan mereka), dan kebanyakan mereka turun.
Melalui celah itulah pasukan Quraisy menyerang kaum muslimin dari arah belakang pasukan pemanah yang sudah kosong. Akibatnya, sekitar 70 orang sahabat gugur sebagai syahid. Lalu, bagaimana dengan Rasulullah??
Ujian selanjutnya menghampiri baginda Rasul. Tidak tersisa bersama Nabi pada pertempuran tersebut kecuali Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’d bin Abi Waqqash. Itulah saat tersulit dalam kehidupan Rasulullah dan kesempatan emas bagi pasukan musyrik yang menginginkan kematian beliau. Bak orang kehausan yang mencari mata air, pasukan Quraisy pun segera mencari tempat Rasulullah berada. Ketika tempat beliau diketahui, salah satu pasukan Quraisy melemparkan sebongkah batu dan mengenai lambung beliau, gigi seri beliau tanggal, bibir beliau pecah berdarah. Satu orang pasukan berkuda musyrik datang lagi ke arah beliau, dia pun mengayunkan bilah pedangnya ke arah pundak Rasulullah dan memukulkannya dengan sangat keras. Karena luka itulah Rasul masih merasakan sakitnya hingga satu bulan. Orang itu kembali lagi, kali ini dia membidik kepala Rasul dan menghantamnya dengan keras, hingga untaian rantai pelindung wajah beliau masuk ke pipi.
Namun Rasulullah menjawab pertanyaan Aisyah di atas tadi, “Apakah engkau pernah mengalami hari yang lebih berat dari (prang) Uhud?” jawab beliau, “Pernah.” Kemudian Rasulullah mengisahkan dakwah beliau bersama Zaid bin Haritsah ke Tha’if. Ketika di Makkah, dakwah Rasul dibalas dengan ancaman dan intimidasi. Saat itulah beliau berharap banyak kepada orang-orang Tha’if agar masuk Islam. Kenyataannya, masyarakat Tha’if lebih buruk dari Quraisy. Semua penduduk Tha’if berkumpul di pinggir jalan; lelaki, wanita, anak-anak, orang tua, budak maupun merdeka, untuk melempari Rasulullah dengan apa saja yang mereka temukan. Kaki beliau berdarah, badan beliau penuh kotoran. Rasul keluar kota dengan kesedihan mendalam.
Lalu Rasul menuturkan, “Aku tak lagi menyadari apa yang terjadi kecuali sampai aku tiba di dekat Qarn ats-Tsa’alib. Ketika kuangkat kepalaku, tiba-tiba gumpalan awan menaungi. Aku dongakkan pandanganku, ternyata ada Jibril memanggil. Dia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan tanggapan mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu Malaikat Gunung untuk engkau perintahkan sesuai kehendakmu terhadap mereka.’ Malaikat Gunung tersebut memberi salam dan berkata, ‘Wahai Muhammad, hal itu terserah padamu. Jika engkau mau aku ratakan mereka dengan al-Akhsyabain (dua bukit di Makkah), aku akan lakukan.’ Namun Nabi menjawab tawaran itu, ‘Bahkan aku berharap kelak Allah munculkan dari tulang punggung mereka kaum yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu pun.’”[1]
Allah pun mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Allah saja.[2]
Lihatlah, Rasulullah telah disakiti dengan sedemikian dahsyatnya. Meski demikian, Rasul tetap memaafkan mereka. Sebagai balasannya, Allah pun memberikan pertolongan dan kemenangan kepada beliau. Maka sudah selayaknya kita untuk saling memaafkan, apalagi yang menyakiti kita masih saudara kita seiman, dan itu pun tak seberat apa yang dirasakan oleh sang Utusan. Jika kita mampu berbuat demikian, niscaya berlapis-lapis keberkahan akan kita dapatkan. Wallahul Muwaffiq.
[1] Disarikan dari Shahih al-Bukhari dan Muslim.
[2] Dirangkum secara bebas dari Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 2/458 dan ar-Rahiq al-Makhtum.