Bila Calon Suamiku Lelaki yang ‘Miskin’

Bila Calon Suamiku Lelaki yang ‘Miskin’

Oleh: Ust. Abu Yusuf Ahmad Sabiq Lc.

 

Seringnya, manusia selalu membayangkan yang indah-indah dan enak-enak dalam kehidupannya. Khayalannya membumbung tinggi. Mengangkasa. Terkadang sampai tidak sadar bahwa dirinya masih menginjakkan kakinya di bumi.

Bayangan pernikahan yang nantinya akan dijalaninya, dia harap akan seindah apa yang dia bayangkan. Hidup bersandingkan seorang suami yang ‘wah’ tanpa cacat. Agama, fisik, materi, dan segalanya oke.

Saat dia membaca kriteria calon suami ideal, bayangan segera menyeruak dalam pikirannya, bahwa nantinya dia akan bersuamikan orang seperti dia. Apakah ini salah? tentu tidak. Karena semua orang menginginkan kesempurnaan dalam hidup, termasuk calon pendamping hidupnya.

Tapi seorang manusia harus sadar, bahwa terkadang takdir bicara lain. Bahkan seringnya angin berhembus bukan pada arah yang diinginkan nakhoda. Saat masa-masa penantian sudah tiba, saat seorang sudah siap membina kehidupan rumah tangga, datanglah seorang lelaki melamar, yang ternyata di luar ‘dugaannya’! Dia seorang ikhwan ‘miskin’, alias belum mapan ekonominya. Bagaimana calon istri harus bersikap? Bagaimana dia harus menjawab?

 

Jadikan agama tolok ukur pertama dan utama

Jika kita berbicara tentang kriteria dan tolok ukur, niscaya semua orang ingin yang lengkap dan sempurna. Tapi adakah? Jika ada, apakah memang dia cocok dengan diri kita?

Memang sangat ideal jika yang datang melamar itu adalah seorang yang memiliki segalanya. Dia baik agama dan akhlaknya, mampu memberi nafkah lahir batin, penyayang dan penyantun terhadap istri dan keluarga, berasal dari keluarga baik-baik, bertanggung jawab, dan lainnya. Tapi jika tidak demikian, maka jadikan standar pertama dan utama adalah agama dan akhlaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pernah bersabda,

 

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُواْ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِيْ الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ.

 

“Apabila datang pada kalian seseorang yang kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah. Kalau tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di bumi.” (HR. at-Tirmidzi 2/274/1092, Ibnu Majah 1/606, al-Hakim 2/164 dengan sanad hasan, Shahih Sunan at-Tirmidzi: 866)

 

Perhatikanlah, kenapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam hanya menyebut dua hal ini. Karena agamalah yang akan menjadi barometer kebaikan dia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia lain. Agamalah yang akan menuntunnya untuk berbuat baik dan menghindari yang haram. Agamalah yang membuat dia takut kepada Allah jika melanggar larangan-Nya. Dan agamalah yang akan menjadikan kehidupan rumah tangganya langgeng sampai hari kiamat, sampai di surga-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

Apakah Anda tidak menginginkan jika rumah tangga kita bukan hanya di dunia, tapi berlanjut di alam kenikmatan dan keabadian?

Adapun akhlak, dengan akhlak seseorang akan bersikap santun kepada keluarganya, bertanggung jawab sebagai suami dan orang tua bagi anak-anaknya. Dengan akhlak pula maka ia akan menjadi halus perangainya di hadapan keluarga dan masyarakatnya. Lalu apa lagi yang diinginkan oleh seorang wanita jika kedua hal ini sudah ada dalam diri seorang lelaki yang melamarnya?

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam menegaskan bahwa jika lamaran dari orang semacam dia ditolak, maka akan muncul kerusakan dan fitnah yang besar. Karena jika tidak demikian, berarti dia mencari lainnya. Wal’iyadzu billah!!

 

Kriteria lain, semakin lengkap semakin bagus

Adapun kriteria lain, maka bukan sesuatu yang terlarang bagi seseorang untuk menjadikannya sebagai bahan pertimbangan, asalkan bukan tolok ukur utama. Terutama jika dihadapkan pada beberapa pilihan. Dan itulah yang disarankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam kepada Fatimah binti Qais Radhiallahu ‘anha tatkala ada beberapa orang yang berniat melamarnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda kepadanya,

 

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ

 

“Adapun Abu Jahm, dia itu seorang yang suka memukul wanita, adapun Mu’awiyah maka dia itu tidak punya apa-apa. Nikahlah kamu dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)

 

Mungkin sebagian orang heran dengan nasihat Raslulullah Shallallahu ‘alaihi was salam ini. Kenapa Rasulullah menasihatkan untuk tidak menerima lamaran Mu’awiyah dan menasihatinya untuk menikah dengan Usamah, padahal keduanya sama-sama miskin? Salah satu yang bisa ditangkap, karena Usamah mempunyai nilai lebih dibanding dengan Mu’awiyah dalam masalah kedekatan karakter dan umur.

Intinya, menjadikan karakter lain sebagai pertimbangan tidak terlarang secara mutlak, karena manusia memang tercipta telah difitrahkan dengan semua itu. (QS. Āli ‘Imrān: 14)

 

Saat berbicara tentang calon istri, Syaikh Mushthafa al-‘Adawi berkata, “Apabila seorang wanita memiliki ketaatan beragama, kecantikan, keturunan yang baik, dan kekayaan, maka itu lebih utama daripada seorang wanita yang hanya taat beragama namun tidak memiliki sifat yang lainnya. Artinya, seorang wanita yang cantik lagi taat beragama itu lebih baik daripada yang taat beragama namun tidak cantik. Namun bila seorang wanita cantik, dari keturunan yang baik, kaya tetapi tidak taat beragama, maka tidak diragukan lagi, bahwa wanita yang taat beragama itu lebih utama.” (Jami’ Ahkam anNisa’ 3/215, 5/327)

Dan ada hal lain yang perlu dipahami, yaitu:

 

Yang sempurna belum tentu yang sesuai

Pernahkah Anda melihat barang-barang elektronik? Kulkas misalkan. Dengan berbagai model, merek, harga, dan lainnya. Saat Anda ingin membelinya, maka yang dijadikan patokan adalah kesesuaian dengan kondisi Anda, bukan mesti kulkas dengan spesifikasi terbaik dan termahal yang harus Anda ambil.

Karena jika Anda memilih yang terbaik, belum tentu sesuai. Jika Anda membeli kulkas yang besar, mahal, bagus, dengan watt tinggi, Anda mungkin punya uang karena barusan jual tanah, namun saat sampai di rumah, mungkin akan sangat terasa tak serasi dengan ukuran rumah yang sempit. Bisa jadi malah tidak bisa digunakan, karena tegangan listrik di rumah Anda terlalu kecil.

Saya tidak sedang meremehkan, tapi ini hanya ilustrasi kecil. Bahwa yang sempurna belum tentu yang terbaik bagi Anda.

Lihat, siapakah Anda? Karena yang serba ‘wah’ bukan mesti yang terbaik. Orang yang bijak adalah orang yang mampu melihat dirinya sebelum dia melihat pada orang lain.

 

Meski seorang wanita, tak tercela walau jemput bola, asal dengan cara syar’i

Imam al-Bukhari membuat bab dalam Shahihnya, “Bab: Seseorang menawarkan putrinya atau saudara perempuannya kepada laki-laki yang baik.” Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘anhu mengisahkan ketika putrinya, Hafshah Radhiallahu ‘anha menjanda karena meninggalnya suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahmi Radhiallahu ‘anhu, seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam yang meninggal di Madinah. Umar bertutur, “Aku mendatangi Utsman bin Affan untuk menawarkan Hafshah kepadanya. Utsman berkata, ‘Aku akan melihat (bagaimana) perkaraku.’ Aku pun menunggu beberapa malam. Kemudian Utsman menjumpaiku seraya berkata, ‘Tampak bagiku, sepertinya aku tidak akan menikah dulu pada hari-hariku ini.’ Lalu aku menjumpai Abu Bakar seraya mengatakan, ‘Kalau engkau mau, aku nikahkan engkau dengan Hafshah binti Umar?’ Maka Abu Bakar diam tidak memberikan jawaban. Aku mendapatkan diriku lebih marah kepada Abu Bakar daripada kepada Utsman. Aku diam beberapa malam menunggu, ternyata Rasulullah melamar Hafshah. Aku pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah. Lalu Abu Bakar ash-Shiddiq menjumpaiku dan berkata, ‘Mungkin engkau akan marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah, aku tidak menjawab apa yang engkau tawarkan, kecuali karena aku tahu bahwa Rasulullah menyebut-nyebut Hafshah. Sedang aku tidak suka menyebarkan rahasia beliau. Seandainya Rasulullah meninggalkan keinginannya untuk menikahi Hafshah, maka aku akan menerima Hafshah.’”

Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahihnya (nomor: 5107) dari Ummu Habibah Radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Ya Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, putri Abu Sufyan.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam berkata, “Apakah engkau menyukai hal itu?” Aku katakan, “Ya. Bukan maksudku ingin menjauh darimu. Namun aku suka agar saudara perempuanku menyertaiku dalam kebaikan.” Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Yang demikian itu tidak halal bagiku.” Maka aku katakan, “Ya Rasulullah, demi Allah, kami berbicara bahwa engkau ingin menikahi Durrah binti Abi Salamah.” Rasulullah bertanya, “Putri Ummu Salamah?” Aku katakan, “Ya.” Beliau bersabda, “Demi Allah, seandainya pun Durrah itu tidak dalam pemeliharaanku, maka dia tidak halal bagiku, karena dia putra saudaraku sepersusuan. Aku dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah. Janganlah kalian tawarkan kepadaku putri-putri kalian dan saudara-saudara perempuan kalian.”

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya (nomor: 1446) dari Ali Radhiallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau memilih wanita dari kalangan Quraisy dan meninggalkan wanita kita?” Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam, “Apakah di sisi kalian ada wanita yang bisa aku nikahi?” Aku katakan, “Ya, putrinya Hamzah.” Rasulullah bersabda, “Ia tidak halal bagiku, karena ia putri saudara sepersusuan.”

Oleh karena itu, jika sampai berita kepada Anda bahwa di sana ada seorang laki-laki yang sangat sesuai dengan kondisi Anda, maka tidak mengapa menawarkan diri dengan cara-cara yang syar’i, bukan dengan pacaran atau yang semisalnya.

 

Jika lelaki yang melamar itu miskin

Dari semua penjabaran di atas, maka jelaslah bahwa kaya dan miskin bukan patokan utama. Bahkan bukan pula patokan kedua, tapi dia bisa jadi pertimbangan setelah pertimbangan-pertimbangan yang lebih utama lainnya beres. Jika Anda melihat bahwa lelaki itu adalah seorang ikhwan yang baik agamanya, baik akhlaknya, penyantun, dan tanggung jawab, insya Allah, maka kenapa masih ragu dan bimbang menerimanya?

Bukankah kita semua merasa yakin bahwa rezeki di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala? Betapa banyak harta datang dalam sekejap dan hilang pula dalam sekejap? Lihatlah Shuhaib ar-Rumi, yang berangkat dari Romawi setelah bebas dari perbudakan ke kota Makkah tanpa membawa apa-apa. Sesampainya di kota Makkah, Allah menjadikannya sebagai orang kaya dengan perdagangan yang dia jalankan.

Ingatkah Anda dengan Abdurrahman bin Auf Radhiallahu ‘anhu? Saat hijrah, dia meninggalkan semua hartanya di Makkah. Sesampainya di kota Madinah, tak berselang lama dia menjadi orang yang berada.

Dan bukankah kita semua melihat banyak permisalan di sekitar kita? Seseorang yang berangkat dari keluarga miskin, menikah dengan istri yang juga miskin, namun Allah meluaskan rezeki-Nya? Kebalikannya juga, betapa banyak pernikahan yang dibangun di atas kesamaan kekayaan, namun berujung dengan kebangkrutan?

Semua itu adalah pelajaran bagi kita. Ambillah pelajaran dari kehidupan orang lain, sebelum orang lain menjadikan kita sebagai pelajaran.

 

Qana’ah dan ridha dengan takdir, siapkan diri melebur bersamanya

Kalau begitu, yang penting adalah menyiapkan diri untuk menerima ikhwan yang baik agama dan akhlaknya, meski dia miskin harta dengan kesiapan diri untuk melebur dalam hidup bersama. Berjuang bersama mengarungi kehidupan rumah tangga.

Mari kita tilik sedikit potret salaf. Putri konglomerat, Asma’ binti Abu Bakar Radhiallahu ‘anha yang menikah dengan sahabat mulia tapi miskin, Zubair bin Awwam Radhiallahu ‘anhu.

Asma’ mengisahkan, “Zubair menikahiku, saat itu dia tidak memiliki harta apa pun di muka bumi dan tidak pula budak, melainkan seekor unta untuk mengairi sawah dan seekor kudanya. Sayalah yang memberi makan kudanya, saya pula yang mengambil air dan membuat timbanya, sekaligus yang memasak adonan roti. Saat itu saya belum bisa membuat adonan roti, hanya saja tetangga-tetanggaku para wanita Anshar yang membuatkan roti untukku. Mereka adalah wanita-wanita yang baik. Saya membawa biji kurma di atas kepalaku dari tanah Zubair yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam kepadanya. Tanah itu berjarak 2/3 farsakh. Suatu hari saya datang sambil membawa biji kurma. Di tengah jalan saya bertemu dengan Rasulullah bersama para sahabat Anshar. Beliau memanggilku agar saya membonceng di belakang beliau. Namun saya malu harus berjalan bersama kaum laki-laki. Saya pun ingat cemburunya Zubair. Dia adalah lelaki yang sangat pencemburu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam mengetahui bahwa saya malu. Akhirnya beliau pun berlalu. Di rumah, saya bertemu dengan Zubair. Saya ceritakan kepadanya bahwa saya bertemu dengan Rasulullah saat membawa biji kurma di atas kepala. Saat itu beliau bersama para sahabat Anshar. Beliau memintaku naik, tapi saya malu dan teringat cemburumu. Maka Zubair berkata, ‘Sebenarnya lebih berat bagiku jika engkau membawa biji kurma tersebut daripada engkau seandainya membonceng Rasulullah.’

Sampai suatu saat Abu Bakar mengirimkan seorang pembantu kepadaku yang mengurusi kuda. Dengan itu seakan-akan dia telah memerdekakan aku.” (HR.al- Bukhari: 5224, Muslim: 2182)

Kehidupan mereka bahagia, karena kekayaan dan kebahagiannya bukan pada materi, tapi pada hati yang qana’ah dengan pemberian Allah dan ridha dengan ketentuan-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

 

Sungguh, sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya, dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya.(HR. Muslim: 1054)

 

Beliau Shallallahu ‘alaihi was salam juga bersabda, “Ridhalah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan).” (Hasan.HR. at-Tirmidzi: 2305 dan Ahmad 2/310)

 

Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.