Dosa Penyebab Tertutupnya Hati

Dosa Penyebab Tertutupnya Hati

Oleh: Ust. Muhammad Aunus Shofy

 

Tafsir Surat al-Muthaffifīn [83]: 13 – 17

Yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu.” Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Rabb mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Kemudian, dikatakan (kepada mereka), “Inilah adzab yang dahulu selalu kamu dustakan.”

 

Maksiat merupakan sebab hancurnya manusia di dunia maupun di akhirat. Hati seseorang yang bermaksiat akan menjadi keras serta akan merasakan sempit di dalam dadanya, dan ini madharatnya lebih parah bagi hati daripada racun bagi badan. Maka ketahuilah, bahwa semua penyakit dan kejelekan, sebab utamanya adalah dosa dan maksiat yang mengeluarkan seseorang dari kebahagiaan serta kenikmatan menuju kesedihan dan kesempitan.

Bukankah kejadian yang ada di muka bumi dari gempa bumi, gunung meletus, angin topan, tsunami, dan fenomena gerhana merupakan sebab perbuatan manusia sendiri dari maksiat dan dosa?! Dan tidaklah Allah mengirimkan tanda-tanda kebesaran-Nya melainkan untuk menakut-nakuti para hamba agar segera bertaubat.

Abdullah bin al-Mubarak mengatakan:

Sungguh aku melihat dosa-dosa dapat mematikan hati

            Terus-menerus melakukannya akan mewariskan kehinaan

Meninggalkan dosa adalah kehidupan hati

            Dan lebih baik bagi dirimu meninggalkannya

Dan apabila dosa sudah menutupi hati, ia akan menolak kebenaran dari manapun datangnya. Kemudian, semakin hari akan bertambah jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan apabila sudah jauh dari Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjauhinya. Karena seseorang bila jauh dari Allah, hatinya gelap penuh dengan kemurungan dan kerisauan. Ini semua disebabkan banyaknya dosa dan maksiat. Karena dosa akan menjerumuskan kepada dosa yang lain, sebagaimana amal shalih akan membawa amal shalih yang lain. Oleh karena itu, orang yang bermaksiat tidak selayaknya melihat seberapa besar dosa dan maksiat yang dikerjakannya saja, tetapi hendaknya melihat kepada siapa dia bermaksiat. Allah, yang memiliki alam semesta.

 

Tafsir ayat:

Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kehancuran orang-orang yang curang dalam timbangan, dan merekalah orang yang mendustakan hari akhirat, pada ayat selanjutnya Allah menjelaskan bahwa orang yang bermaksiat tidak akan mampu memahami dan menerima kebenaran, disebabkan hati mereka telah tertutup, sehingga mereka masuk ke dalam neraka.

Yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu.”

Ibnu Katsir menafsirkan,[1] “Yaitu, apabila mendengar Kalamullah yang dibawa oleh Rasul, dia mendustakannya dan berprasangka jelek, lalu menyakini, itulah yang dibuat-buat dan terkumpul dalam kitab orang-orang terdahulu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Apakah yang telah diturunkan Rabbmu?” Mereka menjawab, “Dongeng-dongeng orang-orang dahulu.” (QS. An-Nahl: 24)

Dan mereka berkata, “Dongeng-dongeng orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang. (QS. Al-Furqān: 5).

Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan, “Mereka mengatakan, bahwa inilah kebohongan orang-orang terdahulu dan cerita orang-orang lampau, bukan dari sisi Allah, karena kesombongan dan kedurhakaannya.”[2]

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.

Ibnu Katsir menafsirkan,[3] “Yaitu, bukanlah perkaranya sebagaimana yang mereka sangka dan apa yang mereka katakan. Bahwa al-Qur’an adalah dongengan orang dahulu. Bahkan ia adalah Kalamullah dan wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Namun hati mereka telah tertutup dari keimanan disebabkan kotoran yang melekati hati mereka dari banyaknya dosa serta maksiat.”

Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan, “Adapun bagi siapa yang objektif dan kebenaran jelas sebagai tujuannya, maka tidak akan mendustakan hari akhir, karena Allah telah menegakkan padanya dalil-dalil yang pasti dan bukti-bukti yang jelas, sehingga menjadikannya benar-benar menjadi keyakinan di hati-hati mereka, seperti matahari yang terlihat mata. Berbeda bagi siapa yang berusaha menutupi hatinya dan tertutupi oleh perbuatan maksiatnya, maka dia akan terhalang dari kebenaran. Oleh karena ini dia dibalas dengan terhalangnya dari Allah sebagaimana hatinya di dunia terhalang dari ayat-ayat Allah.”[4]

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari Rabb mereka.

Ibnu Katsir menafsirkan,[5] “Yaitu bagi mereka pada hari kiamat akan menduduki suatu tempat yang bernama Sijjin, kemudian bersama itu juga mereka terhalang dari melihat Allah pencipta mereka.”

Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Kemudian, dikatakan (kepada mereka), “Inilah adzab yang dahulu selalu kamu dustakan.”

Ath-Thabari menafsirkan,[6] “Kemudian mereka akan mendatangi neraka dan tenggelam di dalamnya. Kemudian Allah berkata kepada para pendusta hari akhir, ‘Inilah adzab yang kalian sekarang berada di dalamnya. Dialah adzab yang kalian dahulu di dunia dikabari bahwa kalian akan merasakannya, lalu kalian mendustakan dan mengingkarinya. Maka rasakanlah sekarang, dan kalian sudah benar-benar berada di dalamnya.”

 

Faedah ayat:

  • Maksiat penyebab tidak dapat memahami al-Qur’an.

Orang yang terkotori hatinya dengan kemaksiatan akan jauh dari al-Qur’an dan susah mendapatkan hidayah. Karena kemaksiatan akan mempersulit seseorang untuk memahami isi kandungan al-Qur’an dan hatinya telah tertutup untuk mendapatkan cahaya kebenaran.

Kebalikan dari ini semua, bahwa orang yang mensucikan hatinya dengan keimanan akan mudah memahami makna al-Qur’an. (QS. al-Anfāl: 2-3)

  • Perbuatan dosa akan menutup hati.

Waspadailah perbuatan dosa dan maksiat, karena akan merusak hati dan akan menutupnya sedikit demi sedikit. Sehingga semakin lama akan memadamkan cahaya hati, akalnya mati, dan berbalik semua keadaannya. Ia akan melihat kebatilan sebagai kebenaran dan kebenaran sebagai kebatilan. Ini semua sebagai hukuman dari perbuatan maksiat.

Oleh karena itu, banyak dari kaum muslimin pada zaman sekarang yang kacau amaliahnya dan bertindak tanpa petunjuk yang benar dalam urusan sehari-hari mereka. Itu semua disebabkan dosa dan maksiat yang mereka lakukan. Sungguh, sangat benar yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

(Dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun. (QS. an-Nūr: 40)

  • Orang mukmin akan melihat Allah di akhirat.

Ibnu Katsir mengatakan, “Berkata Imam Abu Abdillah asy-Syafi’I, ‘Ayat ini sebagai dalil, bahwa orang mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat.’”

Dan yang dikatakan oleh Imam Syafi’i ini adalah kebenaran. Beliau mengambil pemahaman dari yang dapat dipahami dalam ayat 15 dari surat di atas. Yaitu, jika Allah menutupi dirinya dari pandangan orang kafir di hari kiamat, maka Allah akan membuka hijab-Nya bagi orang-orang yang beriman. Karena antara orang yang beriman dan orang yang kafir tidaklah sama.

Sebagaimana juga yang terdapat dalam hadits-hadits shahih yang mutawatir, bahwa orang mukmin akan bisa melihat Allah di hari kiamat dengan mata mereka sendiri di padang kiamat dan di dalam surga yang mewah.[7]

Inilah kepercayaan Ahlu Sunnah wal Jamaah. Orang mukmin akan merasakan lezatnya melihat Allah daripada yang lain, dan ini merupakan anugerah yang sangat besar bagi orang mukmin di akhirat.

  • Akibat buruk bagi pelaku maksiat adalah Jahannam.

Merupakan celaan dan kehinaan bagi orang-orang kafir yang selalu bermaksiat dan menolak kebenaran sehingga ia dimasukkan ke dalam neraka dan mendapatkan adzab yang pedih sebagai imbalan atas kedustaannya ketika di dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

(Bukan demikian), yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah: 81)

Wallahu A’lam.

[1] Tafsir Ibnu Katsir 8/350.

[2] Tafsir as-Sa’di: 915.

[3] Tafsir Ibnu Katsir 8/350.

[4] Tafsir as-Sa’di: 915.

[5] Tafsir Ibnu Katsir 8/351.

[6] Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an 24/290.

[7] Tafsir Ibnu Katsir 8/351.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.