Etika Terhadap Pemimpin

Oleh: Ust. Abu Bakr

 

Suatu masyarakat haruslah ada pemimpinnya, baik itu seorang yang pantas maupun tidak pantas untuk memimpin. Hal itu karena adanya pemimpin akan sangat berpengaruh kepada keamanan rakyat dan stabilitas negara. Jika bangsa aman, maka rakyat akan dapat beribadah dengan tenang. Oleh karenanya para salaf mengatakan, “Tujuh puluh tahun berada di bawah pemimpin yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.”

Namun sering kali jika yang memimpin tidak sesuai dengan kehendak, kemudian terasa berat untuk menaatinya, sekalipun dalam hal yang ma’ruf. Maka sikap ini tidaklah sesuai dengan etika Islam. Karena itu hendaknya setiap muslim mengetahui adab terhadap pemimpin agar menjadi rakyat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara adab tersebut ialah:

  1. Mendoakan pemimpin.

Imam al-Barbahari berkata, “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan bagi penguasa maka ia adalah pengikut hawa nafsu, dan bila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut sunnah.” (Syarhus Sunnah, hal. 328)

Imam Ahmad mengatakan, “Saya selalu mendoakan penguasa siang dan malam agar diberikan kelurusan dan taufik, karena saya menganggap itu suatu bentuk kewajiban.” (As-Sunnah al-Khallal, hal. 82-83)

  1. Menghormati dan memuliakannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Penguasa adalah naungan Allah di bumi. Barangsiapa yang memuliakannya maka Allah akan muliakan orang itu, dan barangsiapa yang menghinakannya, maka Allah akan hinakan orang tersebut.” (HR. Ahmad 5/42, at-Tirmidzi: 2225, ash-Shahihah 5/376)

Sahl bin Abdillah at-Tusturi berkata, “Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka memuliakan penguasa dan ulama, karena jika dua orang ini dimuliakan maka akan baik dunia dan akhirat mereka, dan jika keduanya diremehkan maka akan rusak dunia dan akhirat mereka.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi 5/260)

Thawus mengatakan, “Termasuk sunnah, memuliakan empat orang: orang alim, orang yang sudah tua, penguasa, dan kedua orang tua.” (Syarhus Sunnah al-Baghawi 13/41)

  1. Mendengar dan taat.

Perintah untuk menaati pemimpin sangat banyak, sekalipun pemimpin tersebut sewenang-wenang. Di antaranya hadits Abdullah bin Umar, bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat tatkala senang maupun benci. Jika disuruh kepada maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat.” (Muttafaq ‘alaih)

Umar bin Khaththab mengatakan, “Tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan pemimpin, dan tidak ada pemimpin kecuali harus ditaati.” (Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 1/62)

  1. Menasihati dan meluruskan pemimpin dengan rahasia.

Etika ini hendaknya diperhatikan bagi yang ingin menasihati pemimpin, sebagaimana Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin maka janganlah ia memulai dengan terang-terangan, namun hendaknya ia ambil tangannya, kemudian bicara empat mata. Jika diterima maka itulah (yang diharapkan), jika tidak maka ia telah melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/303, ath-Thabrani 17/367, dishahihkan oleh al-Albani)

Imam Malik mengatakan, “Merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang telah diberikan ilmu oleh Allah dan pemahaman untuk menemui penguasa, menyuruh mereka dengan kebaikan, mencegahnya dari kemungkaran, dan menasihatinya. Sebab, seorang alim menemui penguasa hanya untuk menasihatinya, dan jika itu telah dilakukan maka termasuk keutamaan di atas keutamaan.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah fi Bayani Haqqi ar-Ra’i war Ra’iyyah, hal. 66)

Tapi janganlah ia menceritakan kepada khalayak bahwa ia telah menasihati pemimpin, karena itu termasuk ciri riya’ dan lemahnya iman. (Ar-Riyadhun Nadhirah 49-50)

Rakyat wajib membantu pemimpinnya dalam kebaikan, sekalipun haknya dikurangi. Karena menolongnya akan membuat agama dan kaum muslimin menjadi kuat, lebih-lebih jika ada sebagian rakyat ingin meneror dan memberontak kepadanya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi kalian, ingin mematahkan kekuatan kalian atau memecah-belah jamaah kalian, sedangkan kalian mempunyai pemimpin, maka bunuhlah.” (HR. Muslim: 1852)

  1. Banyak beristighfar tatkala diberikan pemimpin yang tidak baik.

Ketahuilah, bahwa urusan kekuasaan, kedudukan, dan kerajaan adalah milik Allah. (QS. Āli ‘Imrān: 26) Allah juga menyebutkan, bahwa keadaan rakyat itulah yang menentukan siapa pemimpin mereka. Dia Subhanahu wa Ta’ala mengatakan (yang artinya):

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. (QS. an-Nūr: 55)

Rahasia dari semua itu, bahwa baik atau tidaknya pemimpin, tergantung sejauh mana rakyatnya berpegang kepada syariat Islam. Muhammad Haqqi menjelaskan dalam “Tafsirnya”, “Jika kalian adalah ahli ketaatan, maka kalian akan dipimpin oleh orang yang penuh rahmat. Jika kalian adalah ahli maksiat, kalian akan dipimpin oleh orang yang suka menindas.”

Kondisi rakyat yang rusak agama dan akhlaknya, sangat berpengaruh kepada keadaan penguasanya. Ubadah bin Shamit Radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam keluar untuk memberitahukan orang-orang tentang Lailatul Qadar, kemudian ada dua orang muslim bertengkar. Nabi bersabda, ‘Saya keluar untuk memberitahukan tentang Lailatul Qadar, kemudian si fulan dan fulan bertengkar. Dan ilmu tentang itu sudah diangkat, dan bisa jadi itu baik bagi kalian.’” (HR. al-Bukhari: 1919)

Dari seseorang yang pernah ikut shalat Shubuh bersama Rasulullah, lalu beliau ragu-ragu pada suatu ayat. Setelah salam beliau berkata, “Sesungguhnya telah dirancukan kepadaku al-Qur’an, karena ada beberapa orang di antara kalian yang ikut shalat bersama kita tidak menyempurnakan wudhunya.” (HR. Ahmad: 15914, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib: 222)

Perhatikanlah, bagaimana Nabi dilupakan oleh Allah ta’ala suatu ilmu yang sangat agung, yaitu tentang Lailatul Qadar gara-gara ada sahabat yang bertengkar, beliau pun kacau bacaannya sebab makmumnya ada yang tidak menyempurnakan wudhu!

Bagaimana lagi jika rakyat akidahnya rusak, ibadahnya jauh dari sunnah, kemudian rakyat ingin pemimpin yang shalih?! Bukankah bani Isra’il diubah menjadi kera ketika dipimpin oleh manusia terbaik (Nabi Musa) dan belum dikutuk tatkala dipimpin oleh Fir’aun?!

Di satu sisi, itulah hukuman bagi mereka. Sedangkan bagi rakyat yang shalih itu termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya:

Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. al-Anfāl: 25)

Jika mereka bersabar maka itu akan menghapus dosa yang telah lalu. Al-Baji (Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa: 615) mengatakan, “Terkadang sekelompok orang melakukan perbuatan dosa yang hukumannya akan merembes di dunia kepada orang lain yang tidak melakukan dosa tersebut. Adapun di akhirat, seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain.” Wallahul musta’an.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.