Jarir bin Abdillah al-Bajali

Ketika banyak rombongan Arab datang ke kota Madinah menyatakan keislaman mereka, terselip nama Jarir bin Abdillah al-Bajali  di sela-sela para rombongan itu. Ia berasal dari Yaman, dan berasal dari suku Bajilah. Banyak para penyair menyatakan, bahwa jikalau bukan karena Jarir (setelah takdir Allah), niscaya kabilah Bajilah tak pernah diperhitungkan.

Tak ada yang bisa memastikan, kapan sebenarnya Jarir bin Abdillah al-Bajali masuk Islam. Bahkan semisal Imam Ibnu Abdil Barr di dalam al-Isti’ab, beliau menyatakan, keislaman Jarir hanya berjarak 40 hari sebelum Rasulullah ﷺ wafat. Namun perkataan ini kurang dapat diterima, karena kabar Jarir telah berinteraksi dengan Rasulullah dan para sahabat telah tetap sebelum peristiwa Haji Wada’.

Kendati keislaman Jarir yang datang di akhir kehidupan Rasulullah, hubungan dirinya dengan baginda Nabi sangatlah baik. Dan telah masyhur, Rasulullah sangat menyukai orang-orang dari daerah Yaman.

Jarir a\ mengatakan, “Semenjak aku masuk Islam Rasulullah tak pernah menolak kunjunganku, dan tidaklah beliau melihatku kecuali pasti akan tertawa.”

Keutamaan Jarir bin Abdillah al-Bajali

Jarir bin Abdillah berkun-yah dengan nama Abu ‘Amr. Disebutkan dalam beberapa literatur biografi, bahwa tinggi beliau adalah enam hasta dan beliau memiliki wajah yang amat rupawan. Rupanya tak hanya Dihyah al-Kalbi yang memiliki tampang rupawan, namun Jarir bin Abdillah sempat dikatakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab a\ sebagai Yusuf-nya umat ini.

Sebelum kedatangan Jarir bin Abdillah, Rasulullah ﷺ tengah menyampaikan khotbah kepada manusia. Ketika Jarir telah menambatkan kendaraannya, memakai pakaian rapinya, kemudian ia mulai memasuki masjid. Tiba-tiba semua hadirin memandanginya dengan saksama. Setelah kejadian itu Jarir lalu bertanya kepada orang yang ada di sampingnya, “Wahai hamba Allah, apakah Rasulullah menyebut sesuatu tentang diriku?” Temannya menjawab, “Ya. Beliau menyebutmu dengan sebaik-baik penyebutan. Ketika beliau di tengah-tengah khotbah, beliau menyelainya dengan berkata, ‘Sesungguhnya akan masuk ke tempat kalian dari pintu sebelah sini, dia di antara sebaik-baik penduduk Yaman. Dan ketahuilah, bahwa di wajahnya terdapat (bekas) usapan Malaikat.’” Kemudian Jarir pun mengucapkan tahmid lantaran rasa gembira dan syukurnya kepada Allah ﷺ.[2]

Rasulullah pernah mengutus Jarir bin Abdillah bersama 150 rombongan pasukan untuk menghancurkan berhala yang ada di Yaman. Berhala itu telah dianggap orang-orang sebagai Ka’bah-nya Yaman, bernama Dzu al-Khalashah. Rasul ﷺ berkata kepada Jarir, “Apakah engkau mau melegakan hatiku dari Dzu al-Khalashah, pundennya kabilah Khats’am?” Jarir pun mengiyakan. Ia berkata, “Maka kami hancurkan (Dzu al-Khalashah) atau kami bakar sehingga kami meninggalkannya seperti unta kudisan.”

Dalam peristiwa itu pula Jarir mendapatkan doa Rasulullah ﷺ, “Ya Allah, jadikanlah Jarir seorang penunjuk yang (selalu) ditunjuki (kepada kebenaran).[3]

Berjihad di tanah Persia

Kendati keislamannya yang tergolong baru, namun Jarir membuktikan bahwa semangat keislamannya tak pernah mau kalah dengan para sahabat yang masuk Islam lebih dahulu.

Hal itu dibuktikannya dengan bersegera mendaftarkan diri dan kaumnya memenuhi panggilan jihad ke tanah Persia semasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab a\. Ia bersama kaumnya dari kabilah Bajilah bersama-sama berjihad di bawah komando Sa’d bin Abi Waqqash a\. Kemenangan yang gemilang di Qadisiyah dan pertempuran lainnya telah menjadi saksi kepahlawanan serta keberanian Jarir bin Abdillah al-Bajali dan kawan-kawan.

Hubungan pribadi Jarir dengan Sa’d bin Abi Waqqash pun amat baik. Hal itu amat nampak ketika Khalifah Umar meminta keterangannya mengenai sosok Sa’d bin Abi Waqqash yang bertugas sebagai Gubernur Irak.

Untuk masa selanjutnya, beliau memutuskan bertempat tinggal di Kufah, kemudian menghabiskan masa tuanya di Qarqisiya, di pinggiran sungai Eufrat.

Meninggalkan fitnah hingga maut menjemput

Tatkala masa pemerintahan Khulafa’ Rasyidun mendekati batas akhirnya, banyak terjadi kerusuhan yang nyala apinya disulut oleh para pemberontak semisal Saba’iyyah. Suasana antara Khalifah Ali bin Abi Thalib a\ dan sahabat Mu’awiyah a\ selaku Gubernur Syam memanas. Banyak yang terfitnah dengan keadaan ini, sehingga sebagian bergabung dengan blok Ali, sebagiannya lagi bergabung dengan blok Mu’awiyah. Terlepas dari semua niatan masing-masing kelompok. Namun Jarir bin Abdillah tetap bergeming melihat situasi yang sangat sulit seperti itu.

Ibnu Sa’d mengatakan, bahwa Jarir bin Abdillah a\ senantiasa mengasingkan diri dari Khalifah Ali a\ dan Mu’awiyah  di sekitar daerah al-Jazirah (Asia Minor).

Dikisahkan, bahwa suatu ketika Jarir didatangi oleh utusan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan mengajaknya bergabung bersama pasukan beliau. Akan tetapi Jarir bin Abdillah menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ mengutusku ke Yaman untuk memerangi mereka sehingga mereka semua mengucapkan Laa Ilaaha illallah. Jika mereka mengucapkannya maka darah dan harta mereka menjadi haram. Maka, aku tidak akan membunuh orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah.”

Allahu Akbar….!!! Sungguh amat benar jalan yang telah dipilih oleh sahabat Jarir bin Abdillah. Dan demikianlah seharusnya jalan yang dipilih oleh setiap muslim ketika menjumpai fitnah –na’udzubillah– yang terjadi di antara sesama muslim.

Demikian terus keadaan beliau hingga maut menjemput pada tahun 51 atau 54 Hijriah. Semoga Allah meridhaimu, wahai sahabat Rasul. Semoga Allah ﷺ mengumpulkan kita semua dalam surga-Nya yang dipenuhi kebahagiaan. Amin


[1] Disarikan dari; al-Ishabah 1/475, al-Isti’ab 1/70-71, Siyar A’lam an-Nubala’ 2/530 dan yang setelahnya.

[2] Sebagaimana tertera dalam hadits riwayat Imam Ahmad dalam al-Musnad 4/364 dan yang lainnya.

[3] HR. Ahmad 4/360, al-Bukhari 7/99, Muslim no. 2476.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.