سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Liku Jalan Mendakwahi Keluarga
Oleh: Ust. Ahmad Sabiq Lc.
Dakwah menyeru umat menuju jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah perbuatan yang sangat mulia. Inilah tugas warisan dari para Nabi dan Rasul. Di antara keutamaannya:
Pertama: Dakwah merupakan salah satu ciri yang hakiki bagi siapa saja yang mengaku menjadi pengikut Nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’ (QS. Yusuf: 108)
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Maksud dari ayat ini, yaitu aku berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashirah, begitu pula dengan orang-orang yang mengikutiku, mereka juga berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashirah. Ayat ini juga menunjukkan bahwa orang-orang yang mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi was salam, ialah para da’i yang menyeru kepada Allah di atas bashirah. Maka barangsiapa yang tidak termasuk di antara mereka, dia bukanlah pengikut Nabi secara hakiki, melainkan hanya sebatas penyandaran dan pengakuan belaka.”
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji para da’i yang menyeru kepada kebaikan, firman-Nya,
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)
Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini, meriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, bahwa beliau membaca ayat tersebut kemudian berkata, “Inilah kekasih Allah, inilah wali Allah, inilah manusia pilihan Allah, inilah penduduk bumi yang paling Allah cintai. Allah telah menerima dakwah mereka, mereka pun menyeru manusia kepada hal-hal yang Allah ridhai, dan mereka beramal shalih, serta berkata ‘Sesungguhnya kami hanyalah termasuk dari golongan orang-orang muslimin,’ inilah khalifah Allah.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)
Ketiga: Orang-orang yang berdakwah kepada Allah adalah orang yang beruntung. Sebagaimana yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala gambarkan sendiri dalam surat al-‘Ashr ayat 1-3. Bahwa di antara ciri orang yang beruntung ialah yang menyeru kepada kebenaran dan kesabaran.
Keempat: Pahala dakwah menuju jalan Allah akan terus-menerus mengalir, selama Allah berkehendak, dan tidak terputus dengan kematian da’i. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, maka amalnya akan terputus melainkan tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kepadanya.” (HR. Muslim)
Maka ilmu yang disebarkan oleh seorang da’i dalam rangka menyeru kepada Allah, baik melalui majelis ta’lim atau ketika bergaul dengan manusia, pahalanya akan senantiasa mengalir dan memberikan manfaat hingga hari kiamat kelak.
Kelima: Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan seluruh makhluk di langit dan bumi, semua memohonkan ampun bagi para da’i, sampai ikan-ikan di laut. Inilah ganjaran atas amal mereka menyebarkan ilmu warisan para Nabi, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam:
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, semua penduduk langit dan bumi sampaipun semut di liangnya serta ikan-ikan di dasar laut turut memohonkan ampun bagi orang yang mengajarkan kebaikan pada manusia.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi)
Keenam: Allah menetapkan pahala bagi para da’i yang besarnya semisal dengan mereka yang meneladani para da’i tersebut dalam kebaikan, tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa yang memulai melakukan kebaikan dalam Islam maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelahnya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang memulai melakukan kejelekan dalam Islam maka dia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang melakukannya, tanpa dikurangi dari dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)
Dalam kesempatan lain Abu Mas’ud al-Anshari Radhiallahu ‘anhu mengisahkan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنِّى أُبْدِعَ بِى فَاحْمِلْنِى فَقَالَ « مَا عِنْدِى ». فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ أَنَا أَدُلُّهُ عَلَى مَنْ يَحْمِلُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ ».
“Ada seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam. Dia berkata, ‘Ya Rasulullah, saya kecapekan, tolong bawalah saya ikut serta.’ Rasulullah menjawab, ‘Saya tidak memiliki sesuatu untuk membawamu.’ Maka ada seseorang yang berkata, ‘Ya Rasulullah, saya akan menunjukkan orang yang akan membawanya.’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa yang menunjukkan pada kebaikan, niscaya dia mendapatkan pahala yang melakukannya.’” (HR. Muslim)
Dari semua keutamaan inilah maka wajar jika pahala dakwah sangat besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu:
(فَوَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Demi Allah, sesungguhnya jika Allah menunjuki seseorang melalui dakwahmu maka itu lebih baik bagimu daripada mendapat unta merah.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Ibnu Hajar al-‘Asqalani ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Unta merah adalah kendaraan yang sangat dibanggakan oleh orang Arab saat itu.”[1]
Dakwah kepada keluarga
Dengan keutamaan di atas, alhamdulillah, siapa pun bisa menggapainya. Sesuai dengan kapasitas masing-masing, terutama bagi seorang da’i. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas orang, juga para da’i, banyak terkuras di luar rumah untuk mencari nafkah dan berbagai kegiatan lainnya. Adapun bagi da’i, karena minumnya jumlah mereka dan kebutuhan umat terhadap bimbingan mereka, hal itu sering mengharuskan da’i banyak menghabiskan waktu untuk umat di luar rumah. Ini sebenarnya ibadah yang agung, tetapi ada satu hal yang sangat perlu dipahami, bahwa keluarga harus mendapatkan porsi yang cukup dalam dakwah.
Lihatlah, bagaimana Allah mengingatkan kepada kita semua:
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka. (QS. at-Tahrim: 6)
Karenanya, awal dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam dimulai dari keluarganya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang dekat. (QS. asy-Syu’ara’: 214)
Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini beliau menyebutkan beberapa riwayat, di antaranya:
Dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata, “Saat turun ayat ini Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam naik bukit Shafa seraya menyeru, ‘Siaga pagi ini!’ Sehingga Quraisy pun berkumpul menuju beliau Shallallahu ‘alaihi was salam lalu bertanya, ‘Ada apa denganmu?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi was salam menjawab, ‘Bagaimana pendapat kalian jika aku kabarkan bahwa ada musuh yang akan menyerang kalian pagi-pagi begini atau pada sore hari, apakah kalian akan membenarkanku?’ Mereka menjawab, ‘Ya. Tentu.’ Nabi lalu berkata, ‘Sungguh, aku mengingatkan kalian agar waspada dari adzab (Allah) yang keras!’ Sehingga Abu Lahab berucap, ‘Celakalah kamu! Apakah untuk hal ini kamu mengumpulkan kami?’ Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘Celaka kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar celaka.’” (QS. al-Masad) (HR. al-Bukhari: 4523)
Aisyah Radhiallahu ‘anha juga mengisahkan,
لَمَّا نَزَلَتْ وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «يَا فَاطِمَةُ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ، يَا صَفِيَّةُ ابْنَةَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا سَلُونِي مِنْ مَالِي مَا شِئْتُمْ»
“Tatkala turun ayat, ‘Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang dekat.’ (QS. asy-Syu’ara’: 214) maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam berkata, ‘Wahai Fatimah putri Muhammad, wahai Shafiyah putri Abdul Muththalib, wahai bani Abdul Muththalib, saya tidak memiliki apa pun atas kalian dari (hukum) Allah, tapi bila hartaku, silakan minta semau kalian.’” (HR. Muslim)
Cara berdakwah kepada keluarga
Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam berdakwah kepada keluarga, di antaranya:
- Mengajarkan ilmu kepada mereka. Ilmu adalah kunci kebaikan, karena dengan ilmu seseorang akan bisa mengetahui bagaimana seharusnya dia menjalani hidup ini di bawah ridha Ilahi. Maka bagi seorang da’i hendaknya memperhatikan penanaman ilmu syar’i kepada keluarganya. Baik dia sendiri yang mengajarkannya maupun lewat lembaga-lembaga pendidikan syar’i atau berbagai media syar’i yang dia percaya bisa mengajarkan ilmu untuk keluarganya. Di antara ilmu yang sangat perlu ditanamkan kepada keluarga adalah akidah yang shahih. Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam mengajarkan akidah yang benar mengenai isti’anah, kewajiban berdoa hanya kepada Allah, serta masalah takdir kepada sepupu beliau, Abdullah bin Abbas tatkala mereka berdua berboncengan menaiki kendaraan. (Shahih, HR. at-Tirmidzi: 2516, dan lainnya) Demikian juga dengan masalah ibadah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam, “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat saat mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah kalau mereka tidak shalat saat sudah berumur sepuluh tahun serta pisahkan tempat tidur mereka.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Tak kalah penting juga adalah mengajarkan hukum halal haram, sehingga dapat diperhatikan oleh keluarga da’i. Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu mengisahkan,
أَنَّ الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ أَخَذَ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ ، فَجَعَلَهَا فِى فِيهِ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْفَارِسِيَّةِ « كَخٍ كَخٍ ، أَمَا تَعْرِفُ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ »
“Bahwa Hasan bin Ali mengambil sebiji kurma sedekah lalu dimasukkan di mulutnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam berkata, ‘Kihk…! Kihk…! (Keluarkanlah…!) Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh makan sedekah?!’” (HR. al-Bukhari, Muslim)
Demikian juga tentang ilmu akhlak dan adab, sebagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam mengajari anak tirinya, Umar bin Salamah tentang adab dan etika makan. (HR. al-Bukhari, Muslim)
- Amar ma’ruf nahi mungkar dijalankan di tengah keluarga. Dalam keluarga muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar harus ditegakkan, agar keluarga kita terdidik senantiasa di atas kebaikan dan terhindar dari kemaksiatan. Sebagaimana dua hadits di atas, bagaimana Rasulullah juga melarang keluarganya, meski masih kecil, dari berbuat hal yang haram. Dan itu juga dilakukan oleh beliau sampai keluarganya dewasa. Lihatlah kisah menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu yang menceritakan kejadian bersama sang mertua, “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam suatu malam membangunkannya dan Fatimah. Beliau berkata, ‘Tidak shalatkah kalian berdua?’ Saya menjawab, ‘Nyawa kami di tangan Allah, jika Dia berkehendak untuk membangunkan kami, niscaya (Dia) akan membangunkan kami.’ Mendengar jawabanku, beliau segera berpaling tak berkomentar apapun. Beliau menepuk pahanya sambil membaca firman Allah:
« ( وَكَانَ الإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَىْءٍ جَدَلاً ) »
Dan manusia paling banyak membantahnya.” [QS. al-Kahfi: 54] (HR. al-Bukhari, Muslim)
Keicintaan kepada keluarga tak mengharuskan kita mendiamkan perbuatan yang haram. Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersikap terhadap istri tercinta beliau, Aisyah Radhiallahu ‘anha Radhiallahu ‘anhu ketika dirinya merasa cemburu terhadap Shafiyah Radhiallahu ‘anha dan berkata tentangnya, “Cukuplah engkau dengan Shafiyah, bahwa dia itu pendek.” Maka Rasulullah langsung mengatakan, “Engkau baru saja mengatakan sebuah kalimat, yang seandainya dicelupkan ke lautan niscaya akan berubah (karenanya).” (Shahih, Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan kata beliau: Hasan Shahih)
- Jadilah figur dan contoh bagi keluarga. Jika ingin sukses mendidik keluarga, jadilah panutan dan contoh bagi mereka. Bagaimana mungkin pendidikan dan dakwah akan berhasil terhadap keluarga, kalau ternyata mereka setiap hari disuguhi sesuatu yang berlawanan dengan yang akan mereka dengar darinya. Karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam keras, bagi yang hanya bisa berkata tanpa bisa mengamalkan. (QS. ash-Shaff: 2,3)
- Menjauhkan keluarga dari berbagai hal yang melalaikan agama. Hidup di zaman gadget adalah tantangan tersendiri bagi keluarga muslim; bagaimana dia harus mendidik keluarganya. Saat gadget tidak bisa dihindari, maka kita harus benar-benar selektif untuk memasukkan alat-alat tersebut ke Perlu dipertimbangkan dengan matang, antara maslahat dan mafsadahnya. Hindari semua alat yang bisa merusak, atau minimalnya mafsadahnya lebih banyak dari maslahatnya, seperti TV dan yang lainnya. Adapun jaringan internet di rumah, maka sangat perlu dilihat lagi, antara kebutuhan dengan dampak yang akan muncul. Jika tidak sangat butuh, kami pribadi lebih cenderung bagi setiap muslim untuk menghindarinya. Ingatlah, bahwa hati manusia itu lemah, sedang fitnah syubuhat sangat kuat menyambar. Dan di ujung pembahasan ini, saya ingin mengatakan:
- Jangan cepat–cepat ingin melihat hasil. Bagi muslim, tugas dakwah adalah perjalanan hidup abadi, sepanjang hayat dikandung badan. Sampaipun dalam berdakwah kepada keluarga. Masing-masing dengan kapasitas yang dimiliki. Yang perlu diingat, bahwa tugas seseorang hanya mengajak serta memberikan te Adapun hasilnya, maka serahkan kepada Allah yang mengatur dan mengawasi alam semesta. Lihatlah Nabi Nuh ‘Alaihis salam yang selama 950 tahu berdakwah, ternyata anaknya sendiri malah menentang beliau. Nabi Luth ‘Alaihis salam juga tidak mampu memberikan hidayah kepada istrinya, Nabi Ibrahim ‘Alaihis salam tak berdaya melawan ego bapak beliau. Tidak ingatkah kita, bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pun tidak mampu mengislamkan pamannya sendiri, Abu Lahab dan Abu Thalib. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. al-Qashash: 56) Ini merupakan salah satu hikmah Allah, agar manusia sadar, bahwa tugas manusia hanya berusaha, adapun hasil hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menentukan. Agar kita tidak ujub dan takabur jika berhasil, dan tak putus asa jika gagal. Oleh karena itu jangan lupa, doakan kebaikan untuk anak-anak kita, karena doa adalah senjata orang mukmin.
[1] Disadur dengan gubahan dari Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf, Syaikh Ali bin Yahya al-Haddadi.