سُبْحَانَ اللهِ , اَلْحَمْدُ لِلهِ , اَللهُ أَكْبَرُ “Maha Suci Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar.” Bacaan tasbih, tahmid dan takbir tersebut bisa…
Menundukkan Jiwa
Menundukkan Jiwa
Oleh: Abu Bakr
Dalam jiwa manusia terdapat penyakit yang menghancurkan seperti sombong, ujub, senang pujian dan sanjungan. Apabila dibiarkan dan dituruti segala kemauannya maka akan membinasakan agama seseorang. Bagaimana tidak?! Ia selalu mendorong untuk mengikuti segala keburukan dan kejelekan. Maka orang yang mengenali dirinya akan berusaha untuk menundukkannya dan menghinakannya.
Urgensi menundukkan jiwa
Berkata Ibnul Qayyim, “Membenci jiwa dan menundukkannya karena Allah ﷻ termasuk sifat ash-Shiddiqin dan seorang mendekat kepada Allah dengan cara seperti itu berlipat-lipat kali lebih baik daripada ia mendekat kepada-Nya dengan amalannya.” (Ighatsatul Lahafan 1/155)
Berkata Abu Muslim al-Haulani, “Bagaimana pendapatmu jika suatu jiwa itu aku muliakan, aku biarkan dan aku senangkan dia tetapi nanti ia mencelaku di sisi Allah ﷻ, sedang suatu jiwa yang aku hinakan, tegakkan dan aku paksakan beramal namun nanti ia memujiku di sisi Allah?” (Shifatu ash–Shafwah 4/429)
Al-Imam adz-Dzahaby menjelaskan, bahwa salah satu penyakit akut para penuntut ilmu adalah ujub dengan ilmunya. Beliau berkata, “Kesombongan yang paling buruk adalah menyombongkan diri terhadap orang lain dengan ilmunya dan merasa agung dengan keutamaannya. Hal ini akan membuat ilmunya tidak bermanfaat baginya. Barangsiapa yang mencari ilmu untuk akhirat maka ia akan semakin menunduk, hatinya takut dan jiwanya menjadi tenang. Ia selalu mengoreksi jiwanya dan tidak pernah lelah melakukannya, bahkan setiap waktu senantiasa menginstropeksinya.” (Al–Kaba’ir hal. 192)
Berkata as-Siriy as-Siqhti, “Tidaklah aku melihat sesuatu yang paling menghapus amalan, paling merusak hati, paling cepat membuat seorang celaka, paling langgeng kesedihannya, paling dekat dengan kemurkaan dan paling serasi dengan kecintaan kepada riya’, ujub dan ambisi dari sedikitnya seseorang mengenal dirinya sendiri dan memandang aib-aib orang lain.” (Ath-Thabaqatul Kubra hal. 73)
Dalil-dalil tentang menundukkan jiwa
Allah ﷻ berfirman (yang artinya):
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. (QS. al-Mu’minun: 60)
Yakni mereka dengan kebaikannya, imannya, amal shalihnya namun mereka takut kepada Allah ﷻ dan khawatir dari makar-Nya kepada mereka. (Ibnu Katsir 5/480)
Nabi Ibrahim p\ berkata dalam doanya, “Ya Rabbku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih.” (QS. asy-Syu’ara’: 83)
Nabi Yusuf p\ juga berdoa, “Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih.” (QS. Yusuf: 101)
Berkata asy-Syarbini, “Beliau mengucapkannya sebagai bentuk menundukkan jiwanya dan menampakkan rasa butuh kepada karunia Allah.” (As-Sirajul Munir 2/184)
Tatkala ada seseorang yang pernah menghadap Nabi ﷺ dengan tubuh gemetaran karena takut, Nabi ﷺ berkata kepadanya, “Aku bukanlah raja, aku hanyalah anak seorang wanita Quraisy yang memakan daging kering.” (As-Silsilah ash-Shahihah: 1876)
Potret salaf dalam menundukkan jiwa
Berkata Abdullah Ibnu Mas’ud, “Seandanya kalian tahu tentang diriku sebenarnya maka kalian akan menaburkan debu di atas kepalaku.” (Shifatu ash-Shafwah 1/186)
Berkata Ibrahim an-Nakha’i, “Aku berbicara padahal aku tidak suka membicarakannya, sesungguhnya zaman di mana aku menjadi Faqih-nya kota Kufah adalah zaman yang buruk.” (Shifatu ash-Shafwah 3/51)
Berkata Mutharrif Ibnu Abdillah, “Tidaklah seseorang memujiku melainkan aku merasa diriku sangat hina.” (Shifatu ash-Shafwah 3/158)
Berkata Muhammad Ibnu Wasi’, “Seandainya dosa-dosa itu ada baunya maka kalian tidak akan mampu mendekati saya karena bauku yang menyengat.” (Shifatu ash-Shafwah 3/192)
Berkata Malik Ibnu Dinar, “Seandainya ada Malaikat berada di pintu masjid kemudian ia berkata, ‘Hendaknya keluar orang yang paling jelek di dalam masjid!’ Maka kalian akan bersegera mengeluarkan saya.” (Shifatu ash-Shafwah 3/200)
Bisyr Ibnul Harits berkata, “Seseorang pernah berkata kepada Malik bin Dinar, ‘Hei, orang riya’!’ Maka Malik berkata, ‘Kapan engkau mengetahui namaku itu (yaitu si Riya’)? Memang tidak ada yang mengetahui namaku selain engkau.’” (Shifatu ash-Shafwah 3/204)
Subhanallah… padahal beliau adalah ulama tabi’in yang terkenal dengan wara’ dan ikhlasnya…
Dari ‘Imran Ibnu Abdillah ia berkata, “Sungguh Sa’id Ibnul Musayyib merasa jiwanya lebih hina di sisi Allah daripada lalat.” (Tahdzib al-Hilyah 1/344)
Berkata Fudhail Ibnu ‘Iyadh, “Wahai miskin, engkau sering berbuat kejelekan sementara engkau menganggap dirimu orang baik, engkau jahil sementara engkau menganggap dirimu alim, engkau pelit sementara engkau merasa mulia, engkau bodoh sementara engkau merasa pintar, ajalmu tinggal sebentar sedangkan angan-anganmu sangat panjang.” Berkata adz-Dzahabi, “Demi Allah, beliau (Fudhail) berkata benar. Engkau zalim namun engkau merasa dizalimi, engkau memakan yang haram sementara engkau merasa orang wara’, engkau fasik namun merasa adil, engkau menuntut ilmu karena dunia namun engkau menganggap dirimu menuntutnya karena Allah…??!!” (Tahdzib as–Siyar 2/779)
Berkata Sufyan Ibnu ‘Uyainah, “Sesungguhnya aku sangat membenci diriku tatkala melihat kalian mendatangiku. Tidaklah mereka mendatangiku kecuali karena menduga suatu kebaikan pada diriku.” (Tahdzib al–Hilyah 2/434)
Seorang penduduk Khurasan pernah berkata kepada Imam Ahmad, “Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakanku dapat melihatmu.” Beliau berkata, “Duduklah! Apa-apaan ini??! Memangnya saya siapa??!!” (Tahdzib as-Siyar 2/930)
Dari al-Hasan ia berkata, “Tatkala Abdullah Ibnul Mubarak berada di Kufah, dibacakanlah kepada beliau kitab al-Manasik, sampai kepada suatu hadits (dan ada komentar tertulis di sana), “Berkata Abdullah (Ibnul Mubarak):….. dan itulah pendapat yang kami pegang.” Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “Siapa yang menulis bahwa ini pendapat saya?!” Aku menjawab, “Penulis kitab ini yang menulisnya.” Maka beliau merobek kitab tersebut sampai rusak seraya berkata, “Siapa saya sampai perkataan saya ditulis…??!!” (Shifatu ash-Shafwah 4/372)
Wallahul Muwaffiq.