Rambu-Rambu Wanita Saat Mencari Rezeki

Oleh: Abu Sakiinah Syahrul Fatwa bin Lukman.

 

Pada asalnya, mencari rezeki, menafkahi keluarga adalah kewajiban laki-laki atau suami. Namun, dalam satu kondisi, seorang wanita atau istri harus mengais rezeki. Bagaimana patokan Islam jika wanita atau istri harus bekerja? Ikutilah ulasan ringkas berikut ini. Allahul muwaffiq.

Kewajiban suami dalam menafkahi keluarga

Suami adalah kepala rumah tangga bagi istri dan anak-anaknya. Kebutuhan hidup mereka menjadi tanggung jawab penuh seorang suami. Kewajiban ini telah ditetapkan dalam Islam berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan hadits. Di antaranya:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. ath-Thalaq: 7)

Berdasarkan ayat ini, menafkahi keluarga diwajibkan bagi suami sesuai kemampuan dan keluasannya. Nafkah orang yang susah lebih sedikit dari nafkah orang yang mampu.[1] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan hak istri atas kalian adalah menafkahi mereka dan memberi pakaian kepada mereka dengan cara yang baik.”[2]

Imam an-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat keterangan akan wajibnya menafkahi istri dan memberi pakaian mereka, dan hal itu telah tetap berdasarkan kesepakatan ulama.”[3]

Dalam hadits yang lain juga, ketika ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apa hak istri kami yang wajib kami tunaikan kepadanya?” Rasulullah menjawab,

 

أَنْ يُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمَ وَأَنْ يَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَى وَلاَ يَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ يُقَبِّحْ وَلاَ يَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

“Hendaknya memberi makan kepadanya jika dia makan. Memberi pakaian kepadanya jika dia berpakaian. Janganlah memukul wajahnya dan jangan pula menjelekkannya dan janganlah mendiamkannya kecuali di dalam rumah.”[4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Imam ath-Thabari mengatakan, bahwa menafkahi keluarga hukumnya wajib. Orang yang menunaikannya akan diberi pahala sesuai dengan niatnya.”[5]

Saat wanita harus bekerja

Terkadang satu kondisi menuntut seorang wanita harus bekerja mencari rezeki demi membantu ekonomi keluarganya. Kondisi ini sebenarnya terpaksa, tak diinginkan oleh seorang muslimah. Namun, tuntutan yang menjadikannya harus mengais rezeki. Bagaimana etika wanita ketika mencari rezeki?

  1. Luruskan niat. Syaikhul Islam berkata, “Hendaklah seseorang ketika mengambil hartanya dengan jiwa yang baik dan jauh dari keinginan yang besar untuk menjadikan dunia tujuan utama, agar dia diberkahi dengan hartanya tersebut. Janganlah dia mengambilnya secara berlebihan dan terlalu semangat dalam mengumpulkannya.”[6]
  2. Pilih jenis pekerjaan yang halal. Pekerjaan dan usaha yang halal, walaupun hasilnya sedikit, akan membawa keberkahan dan lebih dicintai Allah daripada hasil usaha haram yang menghasilkan banyak untung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pernah bersabda kepada Ka’b bin ‘Ujrah:

يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ وَدَمٌ نَبَتَا عَلىَ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Wahai Ka’b, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging dan darah yang tumbuh dari harta haram, neraka lebih berhak baginya.”[7]

  1. Izin suami. Wanita yang ingin mencari rezeki hendaklah meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya jika sudah menikah, dan kepada walinya jika dia belum menikah.
  2. Memakai hijab. Muslimah wajib menutupi tubuhnya dengan hijab ketika keluar rumah, tidak terkecuali saat mencari rezeki. Pakailah pakaian yang menutup aurat dan sesuai dengan aturan syar’i. Imam al-Qurthubi mengatakan, “Jika wanita ada kebutuhan hingga membutuhkan keluar, maka hendaklah dia keluar dengan memakai pakaian yang menutupi secara lengkap.”[8]
  3. Tidak memakai minyak wangi. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda;

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِقَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Wanita mana saja yang memakai parfum, kemudian lewat suatu kaum agar mereka mendapati wanginya, maka dia adalah seorang wanita pezina!”[9]

  1. Tinggalkan tabarruj. Imam adz-Dzahabi berkata, “Jika terpaksa keluar rumah untuk mengunjungi orang tuanya, saudaranya, atau untuk menunaikan hajat yang harus ditunaikan, maka hendaklah meminta izin kepada suaminya, tidak tabarruj, dan menundukkan pandangannya. Jika dia tidak melakukan ini semua, maka dia telah berbuat maksiat.”[10]
  2. Tawakal kepada Yang Mahamemberi rezeki. Tawakal kepada Allah termasuk pintu pembuka rezeki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلىَ اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

“Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung. Pergi pagi hari dengan kantong kosong, pulang dengan perut kenyang.”[11]

  1. Jangan lupa akhirat. Bagi para pencari rezeki, hendaklah jangan terlalu mengutamakan dunia hingga lupa kampung akhirat. Luangkan waktumu untuk belajar ilmu agama, beramal shalihlah sebagai bekal menuju kampung abadi. Ingat, bahwa kenikmatan dan manisnya dunia hanyalah kesenangan sementara. Syaikhul Islam mengatakan, “Hendaklah harta itu diumpamakan sebagai tempat buang hajat yang dia butuhkan tanpa ada keterikatan hati padanya. Dia berusaha terhadap harta sebagaimana dia butuh terhadap tempat buang hajat.”[12]

Allahu a’lam.

[1] Ahkam al-Qur’an 5/361 oleh Imam al-Jashshash

[2] HR. Muslim: 1218

[3] Syarah Shahih Muslim 8/253

[4] HR. Abu Dawud: 2142, Ibnu Majah: 1850, Ahmad: 19511, Hakim: 2/204, Ibnu Hibban: 9/482. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ 1/602.

[5] Fathul Bari 9/409.

[6] Al-Washiyyah ash-Sughra hal.304, Syarah wa Tahqiq Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.

[7] HR. Ahmad 3/321, Ibnu Hibban: 5567, Hakim 4/141. Syaikh al-Albani berkata: Hadits shahih lighairih, lihat Shahih at-Targhib: 867.

[8] Tafsir al-Qurthubi 14/164, Tafsir Ibnu Katsir 3/490.

[9] HR.Abu Dawud: 4173, Tirmidzi: 2786, Ahmad 4/414, Nasai 8/153, Hakim 2/396, Ibnu Khuzaimah: 1681, Ibnu Hibban: 1474. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hal.137

[10] Al-Kaba’ir: 125.

[11] HR. Ahmad 1/30, Tirmidzi 2344, Ibnu Majah 4164, al-Baghawi 4108, Ibnu Hibban 730, al-Hakim 4/318. Dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 310.

[12] Al-Washiyyah ash-Sughra: 307. Lihat pula kalimat yang senada dalam al-‘Ubudiyyah hal.102.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.