Waspadai, Fenomena Istidraj Yang Dianggap Nikmat

Waspadai, Fenomena Istidraj yang Dianggap Nikmat[1] 
Oleh: Abu Usamah al-Kadiri

Melihat kembali berbagai hal dalam keseharian kita pada zaman sekarang, dapat kita ketahui bahwa banyak sekali fenomena-fenomena janggal yang terjadi.Di antaranya ialah ukuran standar kebahagiaan dan kesuksesan yang diterapkan oleh kebanyakan manusia sekarang.

Banyak sekali sesuatu yang bersifat lahiriah dijadikan sebagai tolok ukur, tak terkecuali dalam permasalahan menilai sebuah perkara sebagai nikmat ataukah adzab.Padahal, tak semua bentuk kesenangan dan ‘kesuksesan’ yang nampak oleh mata juga berarti nikmat di sisi Allah dan ridha.Karena di antara arti nikmat dan adzab yang nampak oleh mata, ternyata terdapat istidrajyang diketahui oleh orang-orang yang berilmu saja.

Makna istidraj

Istidraj, disebutkan oleh Imam ath-Thabari v\ dalam Tafsir-nya (13/287), “Dan asal makna istidraj adalah, tertipunya seseorang (yang durhaka) dengan kelembutan orang yang membiarkannya.Yaitu (seakan) terlihat orang yang memberikan sikap lembut terhadap pendurhaka(benar-benar) telah berbuat baik kepadanya, sampai pada akhirnya ia memberikan keburukan padanya.”

Jadi, istidraj adalah cara dari Allah untuk menghukum seorang hamba yang durhaka secara perlahan. Setiap kali hamba tersebut berbuat dosa, maka Allah akan tambah ‘nikmat’-Nya, sehingga ia lupa untuk bertaubat. Dengan itu hamba yang durhaka tersebut perlahan-lahan didekatkan kepada siksa yang sebenarnya, hingga ketika telah sangat dekat, Allah pun akantimpakan padanya adzab yang pedih secara tiba-tiba.(Lihat kembali dalam: QS. al-Qalam: 44-45)

Sayangnya, istidraj ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang kafir semata.Bahkan ia pun berlaku bagi orang-orang muslim sebagaimana berlaku bagi orang-orang kafir. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat yang datang dari sahabat Uqbah bin Amir a\, dari Nabi ﷺ bersabda,

 (إِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ، ثُمَّ تَلا رَسُولُ اللهِ صلىاللهعليهوسلم : ))فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ((

Jika dirimu melihat Allah tengah memberi seorang hamba apa saja yang dia inginkan dari dunia lantaran maksiatnya, sesungguhnya itu hanyalah istidraj.” Kemudian Rasulullah membaca firman Allah (artinya): Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.[QS. al-An’am: 44](HR. Ahmad 4/145 dan yang lainnya. Dinilai shahih karena banyak penguatnya oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 1/700)

Ibnul Qayyim v\ menjelaskan (Madarij as-Salikin 1/171-172 [Syamilah]), “Membedakan antara nikmat dan ujian: Hendaknya dibedakan antara nikmat yang dapat dilihat kebaikan dan kelembutan (Allah ) di dalamnya serta dapat membantu dalam memperoleh kebahagiaannya yang abadi, dan antara nikmat yang dalamnya terdapat istidraj. Betapa banyak orang yang dijebak dalam istidraj dengan berbagai kenikmatan tanpa disadari, diuji dengan pujian orang-orang bodoh terhadapnya, serta tertipu oleh perbuatan Allah yang selalu memenuhi kebutuhan dirinya dan menutupi aibnya!”

 Salah kaprah, istidrajyang disangka nikmat

Sebagaimana disinggung di muka, bahwa banyak manusia yang salah kaprah menganggap istidraj sebagai sebuah nikmat dan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba. Nyatanya, istidraj itu banyak macamnya, di antaranya:

  1. Tertipu dengan kepintaran. Lihatlah seorang yang bernama Haman dan Qarun yang hidup di zaman Nabi Musa p\. Haman merupakan salah satu cendekiawan dan ilmuwan yang selalu dimintai pendapatnya oleh Fir’aun. Namun, keilmuannya tak memberikan manfaat, bahkan ia bersama Fir’aun sepakat untuk menentang dakwah Nabi Musa dengan cara membangun menara yang tinggi untuk membuktikan bahwa Allah yang disembah oleh bani Isra’il dan Musa p\ tidaklah ada wujudnya. (Lihat: QS. al-Qashash: 38)
  2. Tertipu dengan harta dan kekayaan. Cukuplah sebagai pengingat kita bahwa Qarun diadzab oleh Allah secara tiba-tiba karena tak dapat membedakan antara nikmat dan istidraj. Allah berfirman (artinya):

Makakeluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, “Kecelakaan yang besarlah bagimu! Pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidaklah diperoleh pahalaitu, kecuali oleh orang-orang yang sabra.” Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya kedalam bumi.Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya dari adzab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu, berkata: “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya dan menyempitkannya. Kalua saja Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (QS. al-Qashash: 79-82)

  1. Tertipu dengan kesehatan. Disebutkan bahwa Fir’aun tak pernah sakit. Pada zaman Rasulullah hidup, ada seorang badui yang bangga karena dia tak pernah sakit, demam maupun pusing. Maka ketika orang itu pergi, Rasulullah mengatakan, “Barangsiapa yang mau melihat lelaki yang akan menjadi penghuni neraka, silakan melihat kepada orang ini.” (HR. Ahmad no. 8376, dihasankan oleh Syu’aib al-Arnaut sanadnya)
  2. Tertipu dengan kekuatan. Allah mengisahkan tentang kaum ‘Ad yang terkenal dengan kekuatan mereka, namun mereka juga termasuk orang-orang yang sering menindas bangsa selainnya. Allah berfirman (artinya): Adapun kaum ‘Ad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?!” Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah Yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami.Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksa akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan. (QS. Fushshilat: 15-16)
  3. Tertipu dengan banyaknya anak dan keluarga. (Baca kisah pemilik kebun yang pongah lagi kafir hingga Allah hancurkan kebun yang ia miliki. QS. al-Kahfi ayat 32-43, serta kisah tiga orang bani Isra’il; si botak, si kusta, si buta, yang keluarga dan harta dua orang pertama dihancurkan oleh Allah karena mereka tak lekas sadar telah terperangkap dalam istidraj)
  4. Tertipu dengan banyaknya pengikut dan selalu dielu-elukan. Bacalah surat al-‘Alaq ayat 6 hingga akhir. Niscaya kita akan menemukan ancaman Allah kepada orang yang telah sombong dan merasa paling hebat saat dia menentang dakwah Rasulullah di Makkah pada awal masa periode Islam. Benar, dialah Abu Jahal yang berkata, “Wahai Muhammad, dengan apa engkau mengancamku?! Padahal aku ini benar-benar orang yang paling banyak golongannya di lembah ini.” (Ar-Rahiq al-Makhtum: 96) Lalu Allah menjawab dalam QS. al-‘Alaq ayat 15-18 (artinya),

Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya.(Yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya).Kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah.”

Adapun pada zaman kita sekarang, pernahkah kita mengalami hal-hal di atas?Diberi kenikmatan oleh Allah namun nikmat tersebut tak dapat membantu kita untuk dapat bersyukur dan taat terhadap perintah-Nya.Bertambah kaya, namun semakin lupa dengan Allah dan pelit bersedekah. Bertambah kuasa, akan tetapi bersamaan dengan itu juga semakin zalim. Semakin pintar, namun semakin pula merendahkan orang lain dan selalu menggunakan ilmunya untuk membela diri dan bersilat lidah demi kepentingan pribadi. Dan seterusnya.

Jika benar, maka berhati-hatilah, bahwa itu semua adalah bentuk istidraj yang sangat berbahaya, walaupun banyak orang menyangka sebagai nikmat, karamah serta kemuliaan yang Allah berikan atas dasar cinta dan ridha.

Sebuah renungan

Saudaraku, tak selamanya yang enak-enak itu adalah nikmat yang diridhai oleh Allah dan balasan bagi kebaikan seorang hamba yang diridhai pula. Lihat saja dampak dari sebuah nikmat atau ujian terhadap diri seseorang. Jika ia berdampak baik, maka itu adalah sebuah kebaikan dari Allah , walaupun dilihat jelek oleh umumnya manusia. Sebaliknya, jika ia malah berdampak jelek, sesungguhnya itu adalah istidraj yang sebentar lagi akan mengantarkan kepada kebinasaan.

Mari coba kita renungkan sebuah riwayat dari Abdullah bin Mughaffal a\ di bawah berikut:

أَنَّ رَجُلاً لَقِيَ امْرَأَةً كَانَتْ بَغِيًّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَجَعَلَ يُلاعِبُهَا حَتَّى بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ الْمَرْأَةُ: مَهْ فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ ذَهَبَ بِالْجَاهِلِيَّةِ وَجَاءَنَا بِالإِسْلامِ، فَوَلَّى الرَّجُلُ فَأَصَابَ وَجْهَهُ الْحَائِطُ فَشَجَّهُ ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صلىاللهُعليهوسلم فَأَخْبَرَهُفَقَالَ: (أَنْتَ عَبْدٌ أَرَادَ اللهُ بِكَ خَيْرًا، إِذَا أَرَادَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِعَبْدٍ خَيْرًا، عَجَّلَ لَهُ عُقُوبَةَ ذَنْبِهِ، وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدٍ شَرًّا، أَمْسَكَ عَلَيْهِ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ عَيْرٌ)

Ada seorang lelaki yang bertemu dengan satu wanita nakal pada zaman jahiliah. Lelaki itu pun segera merayunya hingga tangannya terbentang untuk menjamahnya. Wanita itu lantas berkata, ‘Apa-apaan ini?!Sesungguhnya Allah Ta’ala sudah menghapus masa jahiliah dan menggantinya dengan Islam.’Lelaki itu langsung berbalik pergi, lalu wajahnya menabrak tembok hingga robek. Kemudian ia mendatangi Nabi dan mengabari beliau kisahnya. Maka Nabi bersabda, ‘Engkau adalah seorang hamba yang diinginkan kebaikan bagimu. Jika Allah berkehendak baik kepada hamba-Nya, Dia akan menyegerakan hukuman dari dosa seorang hamba. Namun jika Dia berkehendak jelek terhadap seorang hamba, Allah biarkan dia dan dosanya hingga dibalas secara penuh dengan sebab dosanya kelak pada hari kiamat, seakan-akan itu adalah gunung ‘Air (gunung di Madinah).’” (HR. Ahmad no. 16852, IbnuHibbanno. 2900. Al-Albani berkata, bahwa hadits ini shahih secara marfu’. Syaikh Syu’aib al-Arnaut juga menyebutkan, bahwa riwayat Imam Ahmad di atas adalah shahih lighairihi)

Wallahu a’lam.


[1] Pembahasan ini dirangkum dari:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.